Share

Halalkan Aku Saat Hilal
Halalkan Aku Saat Hilal
Penulis: Mizu Chan

Chapt 1

Suara klakson bersahutan, asap hitam mengepul dari masing - masing kendaraan yang tengah berlalu lalang. Matahari pun sangat menyengat hingga menusuk kulit.

Tangan yang diarahkan keatas oleh wanita berkerudung biru tua tak mampu menutupi wajahnya dari terik matahari. Mazaya, begitu lah sapaan akrab wanita itu. Kerap kali ia melirik jam dipergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh lima menit. Yang artinya lima belas menit lagi jam istirahatnya telah berakhir.

"Taksi..." Seru Mazaya saat sebuah Taxi berwarna kuning berjalan lambat didepannya.

"Waduh, kenapa ada dua orang begini?" Mendengar perkataan Sopir Taxi itu, sontak membuatnya menoleh kearah kanan. Seorang pria yang juga memberhentikan Taxi tersebut.

"Duh Pak saya sudah telat, Kantor saya deket kok dari sini."

"Dimana kantor nya Neng?"

"Tinggal lurus aja kira - kira dua ratus meter, kiri jalan."

"Oh Perusahaan Tambang Emas ya Neng?"

"Iya betul."

"Terus Mas nya mau kemana?"

"Rumah Sakit didaerah dekat Kantor Mbak ini."

"Kalo gitu naik semua aja, masalah cargo bisa saya atur sesuai penghitungan kok."

Mazaya menimang ide sopir taxi tersebut, namun disaat ia tengah berpikir keras. Pria disebelahnya sudah lebih dulu membuka pintu depan dan masuk kedalam taxi.

"Gimana Neng? Jadi gak? Masnya udah masuk duluan nih." suara sopir taxi memecahkan lamunannya.

"Eh iya Pak jadi." Katanya sembari membuka pintu taxi.

Tidak memakan waktu lama untuk sampai di Tempat ia bekerja, Taxi itu berhenti tepat didepan pintu masuk Perusahaan. Ia merogoh satu lembar uang lima puluh ribuan untuk diberikan kepada Sopir taksi tersebut, namun ternyata justru ditolak oleh sang Sopir.

"Kenapa Pak?"

"Katanya Mas ini yang mau bayar sekalian Neng."

"Haduh lebih baik jangan. Saya bayar cargo saya sendiri."

"Menolak rejeki gak baik." Ujar pria itu.

"Maaf bu--"

"Mbaknya sudah terlambat kan? Bayar ganti kalo suatu saat kita ketemu saja." Katanya.

"Baik, anggap saja saya berhutang sama mas. Terima kasih."

"Sama - sama."

Satu Minggu setelahnya..

Mazaya menikmati sore hari diteras Rumah, hari sabtu membuatnya ingin sekali bermalas - malasan di Rumah dan tidak ingin keluar Rumah sekalipun berbelanja atau hanya sekedar cuci mata di Mall. Usianya yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun, ia memiliki jiwa jompo sehingga membuatnya sangat malas untuk sekedar membuang waktu dengan teman - temannnya. Terlebih hampir semua sahabatnya sibuk dengan Rumah tangga nya masing - masing, bahkan saudara kembarnya saja sudah memiliki seorang anak laki - laki berusia empat tahun.

"Tante Zaya." Panggil seorang anak laki - laki berusia empat tahun yang baru saja author bahas. Abi, begitu sapaan anak laki - laki itu.

"Ya ganteng." Zaya menoleh kearah suara itu terdengar.

"Tadi Abi ketemu sama Om Wibi waktu lagi jalan - jalan sama Mama Papa."

"Abi, ayo siap - siap buat ngaji." Seorang pria berusia tiga puluh tiga tahun, Liam - Kakak Ipar sengaja mengalihkan topik pembahasan Putra semata wayangnya.

"Ih Papa, Abi cuma mau kasih tau Tante Zaya kalo Abi --"

"Abi gak mau denger apa kata Papa?" Kali ini bukan Liam yang mengingatkan putra semata wayangnya, tapi Mafaza - Ibu Abi yang merupakan saudara kembar Mazaya.

"Iya - iya Abi dengerin." Kata anak laki - laki itu dengan bibir mengerucut. Sedangkan Mazaya hanya tersenyum tipis melihat interaksi Abi bersama Orang tuanya.

sehari - hari Mazaya disuguhkan drama Orang tua dan anak tersebut, pasalnya Mafaza beserta putra semata wayangnya tinggal bersama Kedua orang tuanya. Sedangkan sang suami bekerja diluar kota, dan hanya hari jum'at sore ia akan pulang kerumah mertuanya. Sebenarnya mereka sudah memiliki rumah, namun Mafaza enggan untuk menempati ketika tidak ada suami didekatnya.

Flashback..

"Zay, Mama Papaku terus menerus desak aku buat nikah." Kata Wibi sembari mengemudikan kendaraan roda empatnya.

"Mas, udah berapa kali aku bilang kalo --"

"Kalo kamu belum siap nikah? Kamu mau nunggu apa lagi sih Zay? Karir? Posisimu ditempat kerja juga udah enak Zay, kamu Manajer Personalia lho. Calon suami juga udah ada, terus apalagi yang bikin kamu ragu buat nikah?"

"Mas.."

"Zay, bilang sama aku apa yang buat kamu ragu." Wibi menepikan kendaraan roda empat kepinggir jalan.

"Kamu mas.. Gak tau kenapa rasanya aku belum yakin buat nikah sama kamu. Menikah sekali seumur hidup, dan aku harus bener - bener mentepin hati aku."

"Hhh.." Wibi memukul setir kemudi, terlihat jelas kemurkaan tampak diwajah pria itu.

"Kalo emang Mama Papa minta mas nikah cepet, aku gak apa - apa kok. Lebih baik kita akhiri sekarang." sontak membuat pria itu menatap Zaya lekat.

"Hubungan kita udah jalan dua tahun dan kamu mau akhiri gitu aja? Enggak Zay, bahkan aku belum dapet --" Wibi menghentikan perkataannya, sedangkan Mazaya memicingkan matanya penuh selidik.

"Belum dapet apa Mas? Apa yang sebenernya kamu incar dari aku?"

"Enggak. Aku antar kamu pulang."

Flashback berakhir..

***

"Ngelamunin apa lo?" Suara wanita yang hampir mirip dengannya terdengar ditelinga sebelah kiri.

"Kepo!"

"Udah gak usah dipikirin lagi, biarin Wibi bahagia sama keluarga barunya. Do'ain Rumah tangganya Sakinah Mawaddah Warahmah. Kan elo juga yang gak mau dinikahin sama dia."

"Hmmm.. Gue gak mikirin itu, wasting time!"

"Tapi nih ya, kalian kan baru putus dua bulanan. Kenapa cepet banget ya sebar undangannya?"

"Cowok emang paling cepet move on nya."

"Kalo elo paling susah move on nya? Baru juga Abi bilang abis ketemu Wibi, elo nya udah galau setengah idup."

"Ish, siapa yang galau. Enggak deh!"

"Kalo gak galau, anterin anak gue ngaji gih."

"Kan? Kan? Kan?"

"Ikan! Buruan ih, keburu telat anak gue."

"Udah nyuruh, ngeburu - buruin lagi."

Mazaya meraih kunci motor matic miliknya, kemudian ia mengemudikan kendaraan roda dua yang tampak besar tersebut. Roda terus berputar, tidak jauh dari komplek dan mereka berdua sudah sampai.

"Lho.. Tumben Abi diantar Mama hari sabtu gini, biasanya Papa yang antar."

"Ini bukan --" Mazaya memberi peringatan Abi untuk tidak melanjutkan perkataannya.

"Iya ustadzah, Papa nya masih repot sama kerjaan tadi."

"Oh begitu, Oiya kemarin saya lupa buat simpan lembar SPP di tas Abi Bu."

"Saya bayar sekarang saja Bu, berapa?" Ustadzah didepannya sontak dibuat bingung dengan pertanyaan Mazaya.

"Lima puluh ribu ya Bu? Maaf saya tadi kelupaan."

"Iya Bu lima puluh ribu. Lupa itu hal wajar, saya juga sering lupa." kekeh Ustadzah itu.

Ditengah transaksi pembayaran kedua wanita dewasa itu, seorang pria melewati keduanya dan berhenti tepat disebelah Ustadzah Wati.

"Assalamu'alaikum." Suara pria dengan suara berat menjadi atensi Mazaya untuk mencari suara tersebut.

"Kayak pernah kenal sama ini suara." Batinnya.

"Wa'alaikum salam. Kebetulan Pak Khafid disini, tadi Ibu Maryam bilang kalau anda sudah datang diminta menemui beliau."

"Baik Bu, saya cari beliau dulu."

"Pak Ustad.. Pak Ustad.." Seru Abi.

"Ya Abi, ada apa?"

"Abi besok evaluasi kenaikan tingkat. Setelah itu Abi ngaji nya sama Bapak ya."

"Kalo kamu mau ngaji sama Bapak, evaluasinya harus dapat nilai A ya." Pria tersebut mengembangkan senyumnya dan kemudian melirik kearah Mazaya untuk menyapa wanita itu dengan anggukkan dan dibalas anggukan pula oleh Mazaya.

"Karena sudah selesai, saya pamit dulu Bu. Abi ngaji yang pintar."

"Baik Bu."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status