Suara klakson bersahutan, asap hitam mengepul dari masing - masing kendaraan yang tengah berlalu lalang. Matahari pun sangat menyengat hingga menusuk kulit.
Tangan yang diarahkan keatas oleh wanita berkerudung biru tua tak mampu menutupi wajahnya dari terik matahari. Mazaya, begitu lah sapaan akrab wanita itu. Kerap kali ia melirik jam dipergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh lima menit. Yang artinya lima belas menit lagi jam istirahatnya telah berakhir."Taksi..." Seru Mazaya saat sebuah Taxi berwarna kuning berjalan lambat didepannya."Waduh, kenapa ada dua orang begini?" Mendengar perkataan Sopir Taxi itu, sontak membuatnya menoleh kearah kanan. Seorang pria yang juga memberhentikan Taxi tersebut."Duh Pak saya sudah telat, Kantor saya deket kok dari sini.""Dimana kantor nya Neng?""Tinggal lurus aja kira - kira dua ratus meter, kiri jalan.""Oh Perusahaan Tambang Emas ya Neng?""Iya betul.""Terus Mas nya mau kemana?""Rumah Sakit didaerah dekat Kantor Mbak ini.""Kalo gitu naik semua aja, masalah cargo bisa saya atur sesuai penghitungan kok."Mazaya menimang ide sopir taxi tersebut, namun disaat ia tengah berpikir keras. Pria disebelahnya sudah lebih dulu membuka pintu depan dan masuk kedalam taxi."Gimana Neng? Jadi gak? Masnya udah masuk duluan nih." suara sopir taxi memecahkan lamunannya."Eh iya Pak jadi." Katanya sembari membuka pintu taxi.Tidak memakan waktu lama untuk sampai di Tempat ia bekerja, Taxi itu berhenti tepat didepan pintu masuk Perusahaan. Ia merogoh satu lembar uang lima puluh ribuan untuk diberikan kepada Sopir taksi tersebut, namun ternyata justru ditolak oleh sang Sopir."Kenapa Pak?""Katanya Mas ini yang mau bayar sekalian Neng.""Haduh lebih baik jangan. Saya bayar cargo saya sendiri.""Menolak rejeki gak baik." Ujar pria itu."Maaf bu--""Mbaknya sudah terlambat kan? Bayar ganti kalo suatu saat kita ketemu saja." Katanya."Baik, anggap saja saya berhutang sama mas. Terima kasih.""Sama - sama."Satu Minggu setelahnya..Mazaya menikmati sore hari diteras Rumah, hari sabtu membuatnya ingin sekali bermalas - malasan di Rumah dan tidak ingin keluar Rumah sekalipun berbelanja atau hanya sekedar cuci mata di Mall. Usianya yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun, ia memiliki jiwa jompo sehingga membuatnya sangat malas untuk sekedar membuang waktu dengan teman - temannnya. Terlebih hampir semua sahabatnya sibuk dengan Rumah tangga nya masing - masing, bahkan saudara kembarnya saja sudah memiliki seorang anak laki - laki berusia empat tahun."Tante Zaya." Panggil seorang anak laki - laki berusia empat tahun yang baru saja author bahas. Abi, begitu sapaan anak laki - laki itu."Ya ganteng." Zaya menoleh kearah suara itu terdengar."Tadi Abi ketemu sama Om Wibi waktu lagi jalan - jalan sama Mama Papa.""Abi, ayo siap - siap buat ngaji." Seorang pria berusia tiga puluh tiga tahun, Liam - Kakak Ipar sengaja mengalihkan topik pembahasan Putra semata wayangnya."Ih Papa, Abi cuma mau kasih tau Tante Zaya kalo Abi --""Abi gak mau denger apa kata Papa?" Kali ini bukan Liam yang mengingatkan putra semata wayangnya, tapi Mafaza - Ibu Abi yang merupakan saudara kembar Mazaya."Iya - iya Abi dengerin." Kata anak laki - laki itu dengan bibir mengerucut. Sedangkan Mazaya hanya tersenyum tipis melihat interaksi Abi bersama Orang tuanya.sehari - hari Mazaya disuguhkan drama Orang tua dan anak tersebut, pasalnya Mafaza beserta putra semata wayangnya tinggal bersama Kedua orang tuanya. Sedangkan sang suami bekerja diluar kota, dan hanya hari jum'at sore ia akan pulang kerumah mertuanya. Sebenarnya mereka sudah memiliki rumah, namun Mafaza enggan untuk menempati ketika tidak ada suami didekatnya.Flashback.."Zay, Mama Papaku terus menerus desak aku buat nikah." Kata Wibi sembari mengemudikan kendaraan roda empatnya."Mas, udah berapa kali aku bilang kalo --""Kalo kamu belum siap nikah? Kamu mau nunggu apa lagi sih Zay? Karir? Posisimu ditempat kerja juga udah enak Zay, kamu Manajer Personalia lho. Calon suami juga udah ada, terus apalagi yang bikin kamu ragu buat nikah?""Mas..""Zay, bilang sama aku apa yang buat kamu ragu." Wibi menepikan kendaraan roda empat kepinggir jalan."Kamu mas.. Gak tau kenapa rasanya aku belum yakin buat nikah sama kamu. Menikah sekali seumur hidup, dan aku harus bener - bener mentepin hati aku.""Hhh.." Wibi memukul setir kemudi, terlihat jelas kemurkaan tampak diwajah pria itu."Kalo emang Mama Papa minta mas nikah cepet, aku gak apa - apa kok. Lebih baik kita akhiri sekarang." sontak membuat pria itu menatap Zaya lekat."Hubungan kita udah jalan dua tahun dan kamu mau akhiri gitu aja? Enggak Zay, bahkan aku belum dapet --" Wibi menghentikan perkataannya, sedangkan Mazaya memicingkan matanya penuh selidik."Belum dapet apa Mas? Apa yang sebenernya kamu incar dari aku?""Enggak. Aku antar kamu pulang."Flashback berakhir..***"Ngelamunin apa lo?" Suara wanita yang hampir mirip dengannya terdengar ditelinga sebelah kiri."Kepo!""Udah gak usah dipikirin lagi, biarin Wibi bahagia sama keluarga barunya. Do'ain Rumah tangganya Sakinah Mawaddah Warahmah. Kan elo juga yang gak mau dinikahin sama dia.""Hmmm.. Gue gak mikirin itu, wasting time!""Tapi nih ya, kalian kan baru putus dua bulanan. Kenapa cepet banget ya sebar undangannya?""Cowok emang paling cepet move on nya.""Kalo elo paling susah move on nya? Baru juga Abi bilang abis ketemu Wibi, elo nya udah galau setengah idup.""Ish, siapa yang galau. Enggak deh!""Kalo gak galau, anterin anak gue ngaji gih.""Kan? Kan? Kan?""Ikan! Buruan ih, keburu telat anak gue.""Udah nyuruh, ngeburu - buruin lagi."Mazaya meraih kunci motor matic miliknya, kemudian ia mengemudikan kendaraan roda dua yang tampak besar tersebut. Roda terus berputar, tidak jauh dari komplek dan mereka berdua sudah sampai."Lho.. Tumben Abi diantar Mama hari sabtu gini, biasanya Papa yang antar.""Ini bukan --" Mazaya memberi peringatan Abi untuk tidak melanjutkan perkataannya."Iya ustadzah, Papa nya masih repot sama kerjaan tadi.""Oh begitu, Oiya kemarin saya lupa buat simpan lembar SPP di tas Abi Bu.""Saya bayar sekarang saja Bu, berapa?" Ustadzah didepannya sontak dibuat bingung dengan pertanyaan Mazaya."Lima puluh ribu ya Bu? Maaf saya tadi kelupaan.""Iya Bu lima puluh ribu. Lupa itu hal wajar, saya juga sering lupa." kekeh Ustadzah itu.Ditengah transaksi pembayaran kedua wanita dewasa itu, seorang pria melewati keduanya dan berhenti tepat disebelah Ustadzah Wati."Assalamu'alaikum." Suara pria dengan suara berat menjadi atensi Mazaya untuk mencari suara tersebut."Kayak pernah kenal sama ini suara." Batinnya."Wa'alaikum salam. Kebetulan Pak Khafid disini, tadi Ibu Maryam bilang kalau anda sudah datang diminta menemui beliau.""Baik Bu, saya cari beliau dulu.""Pak Ustad.. Pak Ustad.." Seru Abi."Ya Abi, ada apa?""Abi besok evaluasi kenaikan tingkat. Setelah itu Abi ngaji nya sama Bapak ya.""Kalo kamu mau ngaji sama Bapak, evaluasinya harus dapat nilai A ya." Pria tersebut mengembangkan senyumnya dan kemudian melirik kearah Mazaya untuk menyapa wanita itu dengan anggukkan dan dibalas anggukan pula oleh Mazaya."Karena sudah selesai, saya pamit dulu Bu. Abi ngaji yang pintar.""Baik Bu.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam."Masih hari Minggu, tanggal merah tak membuatnya bermalas - malasan bergelung dibawah selimut tebal. Mazaya setiap harinya rutin bangun pagi - pagi sekali untuk menunaikan ibadah shalat shubuh dan berolahraga. Seusai melaksanakan kegiatan rutinnya, ia turun menapaki anak tangga dan menuju kearah Dapur. Haus, tenggorokan kering. Itu lah yang ia rasakan saat ini, terlebih ia harus ke area samping rumah untuk berolahraga menggunakan treadmill serta olahraga ringan lainnya."Dor!" Kebiasaan itu lah yang akan ia lakukan ketika bertemu dengan Asisten Rumah Tangga paling muda di Kediaman Orang Tuanya."Dor! Ehh Dor! Dor! Dor! Mbak Zaya kenapa bisa disini? Eh iya Eh ini Rumah Mbak." Mazaya berdecak dan bergeleng ketika Asih - Asisten Rumah Tangga Kediamannya latah seperti itu. "Zaya antar Bunda sama Mbok ke Pasar dong. Persediaan Dapur sudah menipis." Farida - Sang Ibu berjalan mendekatinya yang tengah menuang air kedalam gelas."Pasar mana?" Jawabnya sembari menyesap segelas air putih ditang
Sepanjang perjalanan pulang dari Pasar segar, Daffa Khafid Irsyad atau yang biasa dikenal dengan nama Daffa atau Khafid tengah duduk dibalik kemudi sembari mendengarkan ocehan sang Ibu. "Putri bungsu Mbak Farida maa shaa Allah cantik, dengar - dengar karirnya bagus. Siapa tadi namanya?""Bu Farida gak nyebut nama Putrinya Umi.""Oh iya sayang sekali, kamu sih buru - buruin Umi.""Maaf Umi, Daffa ada janji sama pasien hari ini.""Tanggal merah loh Daf, kenapa masih saja kerja. Lagi pula kamu ini aneh, pengurus Yayasan tapi ambil jurusan Kedokteran dan Spesialis Kejiwaan." "Abi dan Umi hidup untuk menolong orang, dengan cara menyekolahkan mereka yang tidak mampu dan menampung mereka para anak terlantar serta yatim piatu dengan membuat panti sosial. Daffa juga ingin menolong orang seperti Abi dan Umi meski dengan cara berbeda." "Umi tau tujuan kita selalu sama tapi cara kita yang berbeda. Kamu ini pria dewasa, sudah sangat matang, ustad, tampan dan mendedikasikan hidup untuk menolong
Satu pasien telah ia atasi, hanya pria itu lah yang memiliki janji konsultasi dengannya. Selebihnya tidak ada, karena setiap hari Senin, Sabtu dan Minggu ia tidak mengisi Praktek di Rumah Sakit tersebut. Waktu luangnya ia gunakan untuk membantu Yayasan milik Kedua Orang Tuanya dan mengajar Mengaji setiap sorenya serta melakukan pengecekan Manajemen saja.Drrrrttt...Ponsel diatas meja bergetar, ia melirik siapa yang mengirim pesan untuknya. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, masih belum terlalu terik untuk mengiyakan ajakan si pengirim pesan tersebut. Ia melepas Jas putih kebanggaannya, kemudian meninggalkan Rumah Sakit tempat ia bekerja.Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai karena jalanan cukup senggang, mungkin karena hari libur dan masih terbilang pagi. Sehingga sebagian orang memilih untuk berdiam diri dengan aktivitas mereka masing - masing didalam Rumah. "Akhirnya datang juga Atlet kita." Seru seorang pria berusia diatasnya dan menyambut kedatangannya."Apa kabar
Didalam Sebuah Rumah berlantai dua bergaya modern dengan cat berwarna putih dipadukan coklat serta cream menambah kesan mewah meski tidak masuk kategori rumah mewah pada umumnya. Seorang wanita paruh baya tampak cemas ketika sang Suami dan Putri Bungsunya belum juga pulang kerumah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tidak seperti biasanya mereka pulang terlambat dan tidak memberikan kabar sama sekali, bahkan ponsel milik sang Suami dan Putri bungsunya tidak dapat dihubungi. Lebih tepatnya tidak memberikan jawaban pada panggilannya.Saat ini wanita paruh baya tersebut tengah berada di Rumah hanya bersama dua Asisten Rumah Tangga dan Sopir merangkap tukang kebun di Rumah tersebut. Sedangkan Mafaza beserta Suami dan Anak semata wayangnya berada di Cabang Restaurant yang belum lama mereka dirikan. Ponsel berdering nyaring, tertulis nama "ERAN" pada layar ponsel tersebut. Sedikit kecewa rasanya ketika membaca nama Putra sulungnya, bukan Eran yang ia harapkan untuk meng
2 Hari kemudian..Acara pernikahan mewah nan megah dengan dekorasi serba putih menghiasi Ballroom Hotel bintang lima. Banyaknya tamu undangan berlalu lalang, memberi ucapan, hingga menyantap hidangann yang telah disediakan. Tertulis pada papan berhias bunga segar "Welcome To Our Wedding Wibisana Dan Sahila" Kedua mempelai saling bertukar senyum menawan, bahkan pengantin wanita sangat anggun dengan Ball Gown berwarna putih yang ia kenakan."Om.. Tante.. Terima kasih sudah bersedia hadir di Acara pernikahan kami. Maafkan saya jika banyak salah sama kalian dan Zaya.""Kami yang seharusnya berterima kasih karena bersedia mengajak kami menikmati moment bahagia kalian. Semoga jadi Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, serta memberikan keberkahan pada ibadah terpanjang kalian." Ujar Burhan, yang saat ini tengah hadir ke acara pernikahan mantan dari putri bungsunya."Aamiin.. Terima kasih banyak atas do'a yang diberikan." Kemudian menjawab anggukan pelan dari kedua pasangan paruh baya itu
Hari ini Mazaya hanya diantar oleh Sopir pribadi sang Ayah untuk melakukan kontrol di Rumah Sakit. Ia menggunakan kursi roda yang disediakan oleh pihak Rumah Sakit dan didorong oleh Pak Kamim. Sesampainya di Loby, ia bertemu dengan Daffa. Jelas saja mereka bertemu, karena pria itu ada praktek hari ini. Daffa menghampiri Mazaya yang tengah mendaftar untuk pemeriksaan. Ia menawarkan diri untuk membantu melakukan pendaftaran dan pengambilan nomor."Apa Pak Dokter sibuk?" Tanya Pak Kamim."Tidak, saya hanya perlu menunggu satu pasien lagi. Ada apa Pak?""Bisa tolong temani Si Non dulu Pak? Perut saya mules." Katanya kemudian."Ah iya, toilet disebelah sana. Saya akan bantu melakukan pendaftaran dulu.""Baik Pak Dokter, Terima kasih.""Ada data diri atau apapun?""Saya pakai Asuransi, dan ini identitas saya." Katanya ditengah bergelutnya pemikiran Mazaya mengenai identitas."Ah ya Rumah Sakit ini milik Peru
Daffa menatap kearah jalan raya, ia menemukan sosok yang tidak asing baginya. Seorang wanita dewasa tengah membantu anak Anak laki - laki berusia empat tahun untuk turun dari Kendaraan roda empat.Wanita itu berjalan beriringan dengan anak laki - laki yang bersamanya, ia hanya menyapa Daffa sekedarnya. Meski hal itu membuat pria tersebut tampak sedikit terkejut, pasalnya wanita dewasa yang ia kenal dengan nama Mazaya bersikap seolah mereka tidak saling kenal. Dan ah ia baru saja ingat, bahwa Mazaya memiliki saudara kembar."Apa dia saudara kembar Zaya? Sepertinya memang benar wanita itu saudara Zaya." Batinnya sembari menatap Wanita tersebut."Istri orang lho Daf." Suara itu sontak memecahkan pikiran yang tengah berperang."Assalamu'alaikum Umi. Kenapa gak salam sih Mi?""Wa'alaikum salam.. Umi sudah salam tapi kamu asik merhatiin Istri orang, dosa lho Daf.""Bukan yang itu Mi, tapi saudara kembarnya.""Saudara kembarnya
Setelah menyelesaikan Pertemuan Tim dan mengemukakan keinginan atasannya, Mazaya saat ini tengah berada didepan Restaurant milik saudara kembarnya diantar oleh Pak Kamim."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam, Bu Faza ada diatas Ruang VIP Bu." Kata salah satu waiters di Restaurant tersebut."Terima kasih Jia." "Sama - sama Bu."Mazaya memasuki elevator kapsul di Restaurant itu, memang Restaurant di Pusat terdiri tiga lantai dengan rooftop dilantai paling atas."Menyusahkan, kenapa lantai dua sih." Gerutunya."Kan bisa pakai elevator." Kata seorang pria disebelahnya. Sontak membuatnya terjingkat kaget saat mendengar suara yang pernah ia kenali."Pak Ustad?""Assalamu'alaikum..""Wa'alaikum salam.""Silahkan masuk." Katanya saat pintu elevator terbuka."Lantai?""Oh saya dua.""Sama kalau begitu.""Hmmm.." "Bagaimana keadaan kaki kamu?""Seperti yang Pak Ustad lihat.""Sudah tidak bengkak lagi, jangan terlalu sering buat jalan dulu. Takutnya bengkak lagi." Sarannya."Terima kasih, saya