Share

Chapt 2

Masih hari Minggu, tanggal merah tak membuatnya bermalas - malasan bergelung dibawah selimut tebal. Mazaya setiap harinya rutin bangun pagi - pagi sekali untuk menunaikan ibadah shalat shubuh dan berolahraga. Seusai melaksanakan kegiatan rutinnya, ia turun menapaki anak tangga dan menuju kearah Dapur. Haus, tenggorokan kering. Itu lah yang ia rasakan saat ini, terlebih ia harus ke area samping rumah untuk berolahraga menggunakan treadmill serta olahraga ringan lainnya.

"Dor!" Kebiasaan itu lah yang akan ia lakukan ketika bertemu dengan Asisten Rumah Tangga paling muda di Kediaman Orang Tuanya.

"Dor! Ehh Dor! Dor! Dor! Mbak Zaya kenapa bisa disini? Eh iya Eh ini Rumah Mbak." Mazaya berdecak dan bergeleng ketika Asih - Asisten Rumah Tangga Kediamannya latah seperti itu.

"Zaya antar Bunda sama Mbok ke Pasar dong. Persediaan Dapur sudah menipis." Farida - Sang Ibu berjalan mendekatinya yang tengah menuang air kedalam gelas.

"Pasar mana?" Jawabnya sembari menyesap segelas air putih ditangannya.

"Pasar segar aja, katanya kalau jam segini semuanya pada baru dateng."

"Baik Nyonya, Zaya ganti baju dulu. Kita naik apa Bun?"

"Bawa mobil lah, ya kali kamu ngajakin naik motor. Mau akrobat? Kamu ada - ada aja pertanyaannya."

"Gak apa - apa naik motor Bun, biar ketilang krn bonceng tiga. Siapa tau polisi yang nilang masih muda ganteng biar bisa dijodohin sama anak Bunda satu itu." Celetuk Mafaza saat tidak sengaja mendengar percakapan Sang Ibu dan Saudara kembarnya.

"Gue single juga happy kali."

"Alah kemarin waktu Abi bahas Wibi juga elo udah mulai galau lagi."

"Ehhh sudah - sudah, kalian ini sudah berumur kok masih berantem aja to Nduk."

"Benar apa kata Mafaza Bun, meski bukan polisi yang nilang. Siapa tau di Pasar nanti dia dapet jodohnya." Kali ini Burhan - Sang Ayah baru saja pulang dari Mushala ikut dalam pembahasan tersebut. Mafaza dan sang Ayah terkikik saat melihat Mazaya mngerucutkan bibirnya.

"Ayah ini kok ya ikut - ikutan. Nanti kalau Zaya gak mood terus Bunda gak diantar ke Pasar gimana."

"Iya! Zaya udah gak mood. Kalo mau buat mood bagus, Ayah harus nemenin Zaya main Tenis, kita tanding di Lapangan Tenis Komplek.

"Oke siapa takut!" Burhan menyanggupi.

"Deal ya, sepulang dari pasar kita tanding Tenis."

"Oke! Deal!" Burhan dan putri bungsunya bersalaman, kemudian ia mengusap puncak kepala Mazaya dan memeluk putri bungsunya meski sudah menjadi wanita dewasa.

"Huuu.. Anak kesayangan." Ledek Mafaza dan ikut berhamburan dipelukan sang Ayah.

"Ish ikut - ikutan, sana meluk suaminya." Mazaya menimpali.

"Iri ya karena gak punya suami? Haha gak bisa dipeluk suami bisanya dipeluk sama Ayah."

"Sudah Faza. Meskipun kamu Faza sudah menikah dan Kamu Zaya nantinya akan menyusul saudaramu untuk menunaikan ibadah terpanjang. Tapi kalian berdua tetap putri kesayangan Ayah, dimana pun dan kapanpun jika kalian butuh pelukan Ayah pasti Ayah akan suka rela merentangkan kedua tangan Ayah untuk kalian anak - anak Ayah tak terkecuali Eran meski dia anak tertua dan seorang pria."

"Uuu so sweet, udah ah cosplay Teletubbies nya. Kamu buruan ganti baju Nduk." Perintah sang Ibu.

***

Mazaya telah memarkirkan mobil miliknya, ia bergegas keluar dan menyusul Sang Ibu dan Mbok Darmi - Asisten Rumah Tangga tertua di Kediamannya. Saat menemani belanja kedua wanita paruh baya itu, ia akan ikut serta memilih bahan makanan segar yang akan dikonsumsi oleh Keluarganya. Saat sibuk dengan sayur - sayuran didepannya dan sesekali melempar candaan pada Mbok Darmi, ia samar - samar mendengar sang Ibu tengah berbicara sangat akrab dengan seorang wanita bersuara lembut dibelakangnya.

"Ke Pasar sama siapa Mbak Farida?"

"Biasa sama Mbok Darmi dan Anak bungsuku, nanti siapa yang nyetirin kesini kalo bukan Anak bungsuku."

"Aku selalu dengar cerita tentang Putri bungsu Mbak tapi belum pernah ketemu. Waktu itu Mbak dijemput sama Putri bungsu Mbak tapi dia cuma didalam mobil saja."

"Itu didepanmu Putri bungsuku, sebentar aku panggilkan. Dia lagi fokus milih sayuran. Maklum dia paling bawel kalau soal bahan makanan yang kita konsumsi, terutama sama Ayah nya." Kekeh Farida.

"Nduk, kamu fokus banget. Belakang kamu ada teman Bunda sama Putranya." Farida mengusap pergelangan tangan Putri bungsunya.

"Eh Bun, Astaghfirullah ngagetin aja."

"Gini nih kalo sudah fokus, ini ada teman Bunda." Mazaya membalikkan tubuhnya. Bukan teman sang Ibu yang ia perhatikan, namun seorang Pria yang dua kali bertemu dengannya. Dan ini kali ketiga mereka bertemu.

"Nduk, ini lho Ustadzah Maryam teman Bunda. Beliau ini pemilik Yayasan Al - Fattah, Sekolah dan tempat Ngaji Abi." Mendengar penjelasan sang Ibu, ia membulatkan bibirnya dan kemudian tersenyum ramah dan mencium tangan wanita paruh baya didepannya.

"Maa shaa Allah, putri bungsu Mbak cantik sekali."

"Ahem.. Umi saya ada janji dengan seseorang." Suara berat yang tak lagi asing ditelinganya mengingatkan sang Ibu.

"Ah ya, Umi sampai lupa. Yasudah Mbak Farida dan si Cantik, maaf gak bisa ngobrol lama. Lain kali kita sambung ya."

"Iya gak apa - apa, jangan buat putranya menunggu."

"Iya Mbak, aku duluan ya. Assalamu'alaikum." Maryam mengusap lembut pergelangan tangan Mazaya.

"Wa'alaikum salam." Jawab Mazaya dan sang Ibu kompak.

"Saya pamit dulu Bu, maaf mengganggu waktu ngobrol anda dengan Umi saya. Assalamu'alaikum." Pria itu mencium telapak tangan Farida dan mengangguk saat menatap kearah Mazaya.

"Gak apa - apa Nak. Wa'alaikum salam, hati - hati dijalan."

Farida dan Mazaya menatap punggung Maryam dan Putranya hingga mereka menghilang ditengah kerumunan orang - orang berlalu lalang didalam Pasar.

"Denger - denger Putra Ustadzah Maryam seumuran Eran, tapi dia masih single."

"Iya Bu, mana ganteng. Eh dia juga Ustad di Yayasan Al - Fattah lho Bu." Celetuk Mbok Darmi.

"Oh ya? Mbok Darmi tau darimana?"

"Tuh denger dari para Asisten Rumah Tangga di Komplek, katanya waktu anter anak juragannya ngaji sama sekolah ada yang ketemu sama Pemuda itu."

"Kenapa pada ngegosip disini ya? Mau belanja apa gosip?"

"Kamu gini amat Nduk. Pantesan gak nikah - nikah, orang kamunya aja cuek begini sama cowok."

"Emangnya dada Mbak Zaya gak bergetar kayak cerita - cerita di Novel gitu kalo ketemu sama yang bening - bening."

"Enggak. Ngapain bergetar, orang abis itu diminum."

"Ha? Kok diminum Mbak?"

"Yang bening air putih kan?"

"Aduh Anak gue!" Farida menepuk keningnya dan bergeleng pelan.

"Jangan sok - sok an bilang Gue Gue, Bunda kalo ngomong medok. Gak pantes!"

"Eh.. eh.. eh.. Gini - gini Bunda di Jakarta sudah puluhan tahun lho."

"Ya tapi masih aja medok, gak ada perubahan gitu aksennya."

"Bu.. Mbak.. Maaf, jadinya kita milih sayur yang mana aja? Matahari udah mulai muncul lho."

"Oh iya sampai lupa. Gara - gara kamu sih Nduk, Bunda jadi kelupaan tujuan kita kesini buat belanja."

"Dih pake segala nyalahin Zaya lagi, jelas - jelas yang mulai ngledekin Zaya kan Bunda."

"Sudah Mbak, nanti gak selesai - selesai kita belanjanya."

"Hhh.. yasudah, Zaya beli Daging disebelah situ. Bunda sama Mbok Darmi milih sayur dulu deh."

"Yasudah,sekalian beli ikan ya Nduk. Nih catetannya." Farida memberikan secarik kertas pada Zaya dan dibalas anggukan oleh wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status