Share

Chapt 3

Sepanjang perjalanan pulang dari Pasar segar, Daffa Khafid Irsyad atau yang biasa dikenal dengan nama Daffa atau Khafid tengah duduk dibalik kemudi sembari mendengarkan ocehan sang Ibu.

"Putri bungsu Mbak Farida maa shaa Allah cantik, dengar - dengar karirnya bagus. Siapa tadi namanya?"

"Bu Farida gak nyebut nama Putrinya Umi."

"Oh iya sayang sekali, kamu sih buru - buruin Umi."

"Maaf Umi, Daffa ada janji sama pasien hari ini."

"Tanggal merah loh Daf, kenapa masih saja kerja. Lagi pula kamu ini aneh, pengurus Yayasan tapi ambil jurusan Kedokteran dan Spesialis Kejiwaan."

"Abi dan Umi hidup untuk menolong orang, dengan cara menyekolahkan mereka yang tidak mampu dan menampung mereka para anak terlantar serta yatim piatu dengan membuat panti sosial. Daffa juga ingin menolong orang seperti Abi dan Umi meski dengan cara berbeda."

"Umi tau tujuan kita selalu sama tapi cara kita yang berbeda. Kamu ini pria dewasa, sudah sangat matang, ustad, tampan dan mendedikasikan hidup untuk menolong orang. Apa iya tidak ada wanita yang dekat sama kamu Nak?"

"Umi, Daffa cuma mau fokus sama karir. Nanti kalau sudah ada jodohnya pasti Daffa bakal mikir kearah situ kok."

"Jadi selama ini kamu belum ada kepikiran kearah sana?"

"Sudah, tapi tidak dalam waktu dekat Mi. Daffa mau fokus dulu sama yang didepan Daffa saat ini."

"Hhh.. kamu normal kan Nak?"

"Astaghfirullah pemikiran Umi kejauhan Mi."

"Alhamdulillah kalau kamu ngerti maksud Umi. Eh tapi siapa tau Putra bungsu Mbak Farida tadi jodohmu."

"Hus, masa istri orang jadi jodoh Daffa."

"Istri orang? Memangnya dia sudah menikah?"

"Umi tau Abiyan?"

"Kenapa jadi bahas Abiyan? Ya Umi jelas tau, dia kan cucu Mbak Farida."

"Mi, wajah Abi sangat mirip wanita tadi. Dan Abi itu adalah Putra semata wayang wanita tadi Mi."

"Ah masa sih? Siapa tau itu Putra dari Putra pertama Mbak Farida."

"Kemarin Daffa ketemu Abi diantar wanita itu, dan guru ngaji di Yayasan sepertinya sangat mengenal siapa Ibu Abi."

"Jadi kamu sudah pernah bertemu dengan wanita itu?" Abi mengeratkan pegangan tangan diatas kemudia, kemudian ia mengangguk pelan.

"Yah sayang sekali."

Didalam benaknya, Daffa mengiyakan apa yang dikatakan sang Ibu. Ia juga berfikir sangat menyayangkan jika wanita yang selalu saja ia temui secara tidak sengaja sudah memiliki seorang suami dan putra kecil berusia empat tahun.

Diawal pertemuan dengan wanita itu saat memberhentikan Taxi yang sama, ia menatap lekat dalam diam wanita yang terus saja nyerocos bersama Sopir Taxi tersebut. Hingga akhirnya mereka berdua didalam mobil yang sama, rasa canggung menyelimuti suasana didalam mobil tersebut. Andai saja Mobil miliknya tidak dipinjam oleh rekannya sesama Dokter, pasti ia tidak akan bertemu dengan wanita itu. Astaghfirullah, ia tersadar baru saja mengatakan kata Andai yang sudah jelas kata larangan.

Jangan pula mengatakan: "Andaikan aku berbuat demikian tentu tidak akan terjadi demikian namun katakanlah: Ini takdir Allah, dan apapun yang Allah kehendaki pasti Allah wujudkan karena berandai-andai membuka tipuan setan." (HR. Muslim 2664)

Sedangkan Maryam sang Ibu, sedari tadi menatap Putra sulungnya. Pria dibalik kemudi itu tengah menggelengkan kepalanya beberapa kali dan membuatnya mendengus pelan.

"Daf abis ini belok kanan." Maryam mengingatkan.

"Iya Umi, masa Daffa gak inget sama Rumah sendiri."

"Soalnya kamu dari tadi melamun setelah kita ngobrol. Kenapa? Mikirin Putri Mbak Farida? Iling dia sudah menikah Daf."

"Astaghfirullah Umi, dari tadi mikirnya jelek terus sama Daffa." Maryam tidak tersinggung dengan perkataan Putra sulungnya, ia justru terkekeh mendengarnya.

***

Seperti perkataannya pada sang Ibu bahwa ia memiliki janji dengan seseorang, saat ini ia sudah berada ditempat kerjanya. Rumah Sakit Bakti Wiyata, Rumah Sakit dibawah naungan Perusahaan Tambang Emas tempat Mazaya bekerja.

"Pagi Dok, ada janji dengan Pasien?"

"Pagi.. Iya Sus."

"Wah padahal hari libur lho Dok."

"Kebetulan beliau ada waktu hari ini sebelum melangsungkan pernikahan."

"Ooo begitu. Ngomong - ngomong bahas mengenai Pernikahan, kapan nih Dokter sebar undangan ke kita?"

"Kamu tunggu saja undangan dari saya." Katanya sembari tersenyum dan meninggalkan Unit Gawat Darurat. Pria itu bekerja sebagai Psikiater, namun ia memiliki kebiasaan untuk mengecek Unit Gawat Darurat ketika baru masuk kedalam Area Rumah Sakit dan membawakan para staf medis minuman berupa kopi hangat. Pasalnya bekerja dibagian itu tidak lah mudah, terlebih ketika ada kejadian kecelakaan beruntun atau insiden lainnya yang mengharuskan mereka menangani pasien dengan jumlah yang tidak ditentukan.

Saat ini ia sudah berada di Ruangan kerjanya, membaca riwayat pasien sembari menunggu pasien datang.

"Dokter sudah menunggu anda Pak." Terdengar suara wanita dari luar Ruangan kerjanya, tentu saja itu suara Asistennya.

Tak berselang lama ketukan berbunyi dan pintu terbuka, benar saja bahwa itu merupakan Asistennya bersama seorang Pria yang kalau dilihat - lihat pria itu seumuran dengannya.

"Selamat Pagi Dok, maaf mengganggu waktu libur anda bersama Keluarga." Ujar Pria tersebut.

"Selamat Pagi Pak Wibi, silahkan duduk. Tidak perlu sungkan Pak, saya belum memiliki Keluarga." Balasnya dengan senyum ramah.

"Oh maafkan saya, karena saya pikir kami seumuran."

"Tidak semua yang berusia matang siap untuk melangkah ke jenjang lebih serius Pak." Perkataan Daffa membuat raut wajah Pria didepannya berubah drastis.

"Maafkan saya jika perkataan saya tidak berkenan dihati Bapak, saya mengatakan hal ini karena situasi saya saat ini." Lanjutnya karena merasa tidak enak dengan perkataannya, terlebih Pasiennya saat ini mengidap Borderline Personality Disorder (BPD) yang merupakan salah satu dari jenis gangguan mental yang membuat penderitanya sulit mengendalikan emosi. Kondisi ini bisa mempengaruhi kehidupan sehari-hari pengidapnya, yang diakibatkan oleh mood yang tidak stabil, cemas yang berlebihan, dan kesulitan menjalani hubungan sosial.

"Tidak Dok, anda tidak salah. Hanya saja perkataan Dokter mengingatkan saya pada wanita yang saya ajak menikah dua bulan lalu. Dia belum siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius."

"Oh ya? Memang tidak semua orang ingin terburu - buru untuk menikah Pak."

"Saya tau Dok, dan akhirnya saya melepaskan wanita itu ketika ia memutuskan untuk mengakhirinya. Dari masalah itu emosi saya semakin tidak stabil dan tidak dapat terkondisikan lagi."

"Apa Bapak rutin mengkonsumsi Obat yang saya resepkan?"

"Rutin Dok, saya tidak pernah melalaikan kewajiban saya satu itu."

"Baik, jadi begini. Pemberian Obat kepada pasien BPD atau yang biasa kita kenal dengan Borderline Personality Disorder sangat efektif bila digunakan bersama dengan psikoterapi. Saya sudah berkali - kali menjadwalkan terapi untuk Bapak, namun Bapak selalu menolak."

"Maaf Dok, saya memang belum siap untuk melakukan terapi. Tapi sepertinya saya sangat membutuhkan itu, tolong jadwalkan terapi setelah pernikahan saya."

"Baik, satu minggu setelah pernikahan Bapak tolong berkunjung untuk melakukan terapi. Kalau perlu ajak Istri Bapak agar anda mendapat dampingan selama terapi berlangsung."

"Saya tidak janji Dok, karena Calon Istri saya emmm--"

"Di-- Dia hamil memasuki bulan kelima." Daffa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Hhh.. lagi - lagi balik ke pergaulan bebas, banyaknya orang yang tidak memiliki bekal ilmu agama cukup untuk menahan Iman dan Imron mereka.

"Saya mengerti. Datang sendiri tidak masalah jika memang seperti itu kondisinya. Saya resepkan Obat untuk satu minggu kedepan.

"Baik Dok. Terima kasih."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status