Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus.
"Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan. Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar. "Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa." Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu jadi iri." Sulistyo tiba-tiba masuk dan duduk di kursi makan. "Aisyah, ayo duduk. Makanlah," katanya sambil menyendok makanan, menyuapkan langsung ke mulut Aisyah. Dengan enggan, Aisyah menerima suapan itu dan duduk di kursinya. Matanya melirik ke arah Sulistyo dan Ratri yang terlihat lebih lembut dari biasanya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka semua berubah sejak hasil pemeriksaan dokter tiga bulan lalu. Seolah-olah bayi dalam kandunganku adalah segalanya bagi mereka. Mungkinkah mereka melakukan semua ini hanya agar bayinya lahir dengan sehat?" Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang semakin membesar. Sebuah senyum tipis terlintas di wajahnya, meski rasa curiga tetap mengganjal di pikirannya. "Bayi ini berkembang dengan sangat baik... tapi apakah semua kebaikan ini hanya sementara? Apa yang akan terjadi setelah dia lahir?" Hening melingkupi meja makan, namun pikiran Aisyah bergolak dengan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Ratri memecah keheningan dengan nada lembut, "Aisyah, kenapa diam saja? Apa makanannya tidak enak? Kau tidak suka makanan khas Suryaloka?" Aisyah tersenyum lebar, tetapi di balik senyum itu tersimpan kepalsuan. "Tidak, Ibu... Aku hanya merasa sangat senang hingga tidak tahu harus berkata apa. Kalian semua memperlakukanku dengan begitu baik. Aku jadi terharu..." Ratri mendekat, memeluk Aisyah dengan erat. Pelukan itu, bagi Aisyah, lebih terasa seperti jerat daripada kehangatan. "Ayolah, Nak... Kau sudah ibu anggap seperti putri ibu sendiri. Ibu sangat menyayangimu," ucap Ratri dengan nada manis, yang bagi Aisyah terdengar seperti peringatan tersembunyi. Aisyah terkekeh pelan, namun kekehannya terdengar jelas penuh kepalsuan, seperti seseorang yang terpaksa bermain peran dalam sandiwara yang melelahkan. Sulistyo, yang duduk di seberang meja, hanya sesekali melirik tajam ke arah Aisyah. Matanya memancarkan kejenuhan, seolah berpura-pura baik di depan Aisyah adalah tugas yang memberatkan baginya. Aisyah tahu, di balik semua keramahan ini, kebencian mereka terhadapnya belum benar-benar hilang—dan mungkin takkan pernah hilang. Malam perlahan merayap, membawa keheningan yang menusuk. Aisyah diarahkan ke kamar oleh seorang pelayan yang mengenakan senyum kaku, seolah sekadar menjalankan tugas. “Istrimu perlu istirahat lebih awal, demi kesehatannya dan bayi di kandungannya,” ujar pelayan itu dengan nada formal. Tanpa sepatah kata, Aisyah mengikuti. Ia tahu keramahan ini hanya kedok, sekadar protokol untuk menjaga citra. Saat memasuki kamar, hawa dingin langsung menyergap, menggantikan rasa hangat yang mestinya hadir di sebuah rumah. Dinding-dinding mewah itu tampak seperti sangkar emas—indah, tapi mencekam. Aisyah berdiri di tengah ruangan, memandang ranjang besar yang tampak terlalu megah untuk seseorang yang merasa begitu kecil di dalamnya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir beban yang menyesakkan dadanya. “Sudahlah,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. “Tidak peduli mereka tulus atau tidak. Yang penting aku bisa makan enak dan tidur nyenyak tanpa harus memikirkan omong kosong mereka... setidaknya untuk malam ini.” Aisyah duduk di tepi ranjang, membiarkan tubuhnya yang lelah tenggelam di atas seprai yang terasa dingin. Ia memandang ke luar jendela, menatap bulan yang tampak redup di balik awan kelabu. Dalam keheningan itu, ia berusaha mengumpulkan kekuatan, berpegang pada apa pun yang tersisa dalam dirinya. “Aku akan bertahan,” bisiknya pelan, seperti janji pada diri sendiri. Sementara malam terus melaju, kamar itu menjadi saksi diam dari seorang wanita yang mencoba berdamai dengan ketidakpastian hidupnya. Di ruang tengah, Sulistyo bersandar pada kursi dengan wajah penuh kejengkelan. Ia melirik ibunya dan berbisik, suaranya dipenuhi frustrasi. "Berapa lama lagi kita harus bertahan seperti ini, Bu? Berpura-pura baik padanya benar-benar melelahkan!" Ratri, yang tengah menata ulang kain selendangnya, hanya menghela napas berat. "Minimal sampai anak itu lahir," jawabnya singkat, nada suaranya mengisyaratkan kebosanan. "Kau kira ibu menikmatinya? Ibu juga muak harus melayani gadis itu seperti dia seorang ratu." Ia meletakkan kainnya di meja, menatap Sulistyo dengan raut wajah penuh tekanan. "Ayahmu dan adikmu sudah kembali ke ibu kota untuk mengurus pekerjaan mereka. Ibu ditinggalkan sendiri di sini untuk mengurus semua ini. Jangan pikir ibu tidak kesal." Sulistyo mendengus tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran. "Kenapa dia tidak cepat melahirkan saja? Semua ini sudah membuatku gila!" Ratri menatap putranya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi memilih diam. Hanya keheningan yang tersisa, dipecah oleh suara jam dinding yang berdetak pelan. Di dalam bangunan megah itu, rasa benci dan beban berpura-pura terus bertumpuk, menunggu saat segalanya akan meledak. Keheningan di ruang tengah yang tegang akhirnya dipecahkan oleh langkah cepat seorang pria berpakaian serba hitam. Ia berlutut di hadapan Ratri dan Sulistyo, suaranya penuh kehati-hatian. “Tuan... Nyonya...” katanya, seolah memilih kata dengan hati-hati. Sulistyo menatapnya tajam, frustrasi membara di wajahnya. “Bagaimana? Rekaman CCTV aman? Masih tidak ada yang berani menyebarkan video itu, kan?” Ratri, dengan nada lebih tajam, menyusul, “Pastikan rekaman itu benar-benar lenyap. Jangan sampai menghancurkan nama baik keluarga kami!” Pria itu menunduk lebih rendah. “Kami sudah menginterogasi operator CCTV dan admin istana. Semua rekaman telah dihapus, saya jamin tidak akan bocor ke mana pun.” Sulistyo tersenyum tipis sementara Ratri menghela napas lega. Namun, pria itu melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Namun, saya menemukan sesuatu yang lain, Tuan.” Sulistyo menyipitkan mata. “Penemuan apa?” Pria itu mengeluarkan sebuah tablet dan memutar rekaman CCTV dari dapur. Dalam video itu, seorang koki tampak memasukkan sesuatu ke makanan Sulistyo. “Apa-apaan ini?!” Sulistyo menggertakkan gigi, tatapannya tajam seperti belati. “Pantas saja waktu itu aku merasa pusing luar biasa! Siapa yang berani melakukan ini?” Pria itu menggeleng dengan ekspresi gelisah. “Kami sudah memeriksa koki istana, tapi pelaku bukan salah satu dari mereka. Menurut kesaksian, ada koki baru yang bekerja saat upacara kemerdekaan. Namun, setelah itu, dia menghilang tanpa jejak.” Sulistyo bangkit dengan amarah meluap, genggamannya di sisi meja begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. “Siapa yang mengirim orang itu?!” Ratri menatapnya dalam diam, lalu menutup matanya, mencoba menenangkan diri. “Jika ini ulah orang luar, ini bukan sekadar pengkhianatan kecil. Ini konspirasi besar. Kita harus waspada.” Sulistyo terjatuh ke kursinya, tubuhnya lemas. Matanya kosong, dikuasai bayangan kehancuran yang perlahan menyelimuti hidupnya.Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me