Share

Bab 5

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-11-18 12:25:07

Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.

“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.

Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.

Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.

Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”

Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya tak menunjukkan emosi apapun, tapi sorotan mata dari orang-orang di sekitarnya terasa menelanjangi dirinya.

Sulistyo akhirnya berbicara, dengan nada pelan dan wajah menunduk. “Saya minta maaf... Saya terlalu bersemangat saat malam pertama kami, sampai tanpa sadar melukai istri saya.” Ekspresi menyesal tergambar jelas di wajahnya, nyaris meyakinkan siapa saja yang melihatnya.

Aisyah menatap Sulistyo dengan tatapan kosong, nyaris muak. Dalam hatinya, ia bergumam, "Keluarga ini benar-benar berbakat. Selain jadi politikus, mereka juga cocok menjadi aktor. Aktingnya terlalu sempurna untuk dipercaya."

Ratri menghela napas panjang, seolah ingin mencairkan suasana. “Yang penting tidak ada yang serius. Kami akan lebih hati-hati ke depannya, Dok,” ucapnya dengan nada lembut yang terasa terlalu dibuat-buat.

Aisyah menatap Ratri sebentar, lalu kembali bersandar di ranjang tanpa berkata apa-apa. Hatinya penuh amarah yang ia sembunyikan di balik senyuman tipis. Dalam benaknya, satu hal yang jelas: kebohongan ini akan berlanjut, dan ia akan menjadi penontonnya yang paling dingin.

Aisyah duduk bersandar di ranjang, wajahnya datar, tetapi matanya menyiratkan kelelahan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Setelah beberapa saat hening, ia menghela napas perlahan, lalu berbicara. Suaranya tenang, namun setiap kata yang keluar membawa beban besar.

“Kenapa saya bisa langsung hamil hanya karena diperkosa satu kali?” tanyanya, nadanya penuh ironi, tajam namun lelah.

Ruangan mendadak sunyi. Dokter menatapnya, mencoba memahami, sebelum akhirnya menjawab dengan nada profesional yang hati-hati.

“Kehamilan tidak bergantung pada seberapa sering hubungan dilakukan,” katanya perlahan. “Jika terjadi saat masa subur, satu kali saja sudah cukup untuk memungkinkan pembuahan. Kadang, hanya dibutuhkan satu sperma yang berhasil mencapai sel telur. Itulah mengapa kehamilan bisa terjadi, bahkan dalam situasi yang...” Ia ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan lebih lembut, “...tidak diinginkan.”

Aisyah mendengarkan tanpa reaksi, hanya mengangguk kecil. Tatapannya kosong, seolah memandang ke ruang hampa. Namun, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang sulit ia kendalikan. Ia menarik napas panjang, lalu menunduk, jemarinya meremas selimut. Suaranya, meskipun pelan, terdengar jelas di ruangan yang hening itu.

“Kehamilan...” ia bergumam, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi nadanya sarat emosi yang tertahan. “Hal yang paling misterius di dunia ini.”

Semua mata tertuju padanya, tetapi ia tidak peduli. Aisyah melanjutkan, lebih kepada pikirannya sendiri daripada kepada orang lain.

“Banyak orang yang menginginkannya, berusaha bertahun-tahun dengan harapan... tetapi tetap gagal.” Ia tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, melainkan getir. “Di sisi lain, ada juga yang tiba-tiba hamil... karena sesuatu yang tidak pernah mereka inginkan.”

Kalimatnya menggantung, menyisakan keheningan yang berat.

Sulistyo berdiri di pojok ruangan, mengalihkan pandangannya dengan gelisah. Ratri hanya mendengus, sementara Jatmiko tampak terdiam, alisnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.

Aisyah menutup matanya sejenak, menahan napas yang terasa berat di dadanya. Ketika ia berbicara lagi, suaranya hampir seperti bisikan, tetapi setiap kata menusuk tajam.

“Ironis, bukan?” gumamnya akhirnya.

Tidak ada yang menjawab. Ruangan tetap sunyi, hanya dihuni oleh emosi yang tertahan dan beban yang tidak terkatakan.

Ratri menatap dokter dengan sorot mata yang tajam, rasa penasaran dan ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya. “Tapi, Dok...” katanya, suaranya mencela. “Kenapa hasil diagnosa menunjukkan Aisyah sudah hamil empat minggu? Sedangkan putra saya bilang dia baru melakukan hubungan itu sekitar dua minggu lalu.” Ia menyipitkan mata, lalu melanjutkan dengan nada sinis, “Apa benar ini anak putra saya? Jangan-jangan ini anak pria lain sebelum berhubungan dengan putra saya.”

Sulistyo, yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan, akhirnya angkat bicara. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, senyum jahat tersungging di wajahnya. “Itu benar,” katanya dingin. “Bagaimana dia bisa hamil empat minggu kalau saya baru menyentuhnya dua minggu lalu?”

Ruangan mendadak hening. Kata-kata itu jatuh seperti petir di tengah badai, membelah suasana menjadi tegang. Aisyah, yang duduk di ranjang, hanya diam. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya tetap tajam. Ia tidak bereaksi, tidak juga membela diri.

Ratri membuka mulut seolah ingin melontarkan lebih banyak tuduhan, tetapi tidak ada kata yang keluar. Matanya menatap Aisyah dengan curiga, sementara Sulistyo memalingkan wajah, seakan enggan mengakui sesuatu yang tidak ia inginkan.

Dokter, yang sedari tadi memerhatikan dengan tenang, akhirnya berbicara. Suaranya lembut, tetapi cukup tegas untuk memecah kebisuan. “Cara menghitung usia kehamilan sedikit berbeda dari apa yang Anda bayangkan,” ujarnya, matanya bergeser dari Ratri ke Sulistyo. “Usia kehamilan dihitung sejak hari pertama haid terakhir, bukan dari waktu hubungan seksual. Jadi, jika haid terakhir Aisyah adalah empat minggu lalu, maka kehamilannya memang berusia empat minggu, meskipun hubungan baru terjadi dua minggu lalu.”

Ratri mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud dokter apa? Bukankah itu tidak masuk akal?”

Dokter menatapnya dengan sabar. “Proses pembuahan baru terjadi sekitar dua minggu setelah haid terakhir, tetapi penghitungan usia kehamilan dimulai lebih awal. Ini sudah menjadi standar medis. Jadi, tidak ada yang aneh dengan kehamilan Aisyah.”

Ratri tampak tertegun. Mulutnya terbuka, tetapi kali ini tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya melirik Sulistyo, berharap ada penjelasan lain yang lebih mendukung kecurigaannya.

Sulistyo menggeram pelan, wajahnya memerah. Namun, alih-alih membalas, ia hanya menundukkan kepala, memalingkan wajah dari Aisyah.

Aisyah akhirnya membuka suara. Dengan nada yang tenang tetapi dingin, ia berkata, “Kalian ingin menyalahkan siapa? Menuduh apa lagi? Semua sudah jelas. Masih kurang puas? Tes DNA saja sekalian kalau bayinya sudah lahir! Awas saja menuduhku yang tidak-tidak!"

Ratri tidak menjawab. Hanya keheningan yang tersisa, menyesakkan, seakan semua kata-kata telah ditelan oleh ketegangan yang membebani ruangan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status