Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru.
Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longgar? Sesuatu yang nyaman? Kenapa harus pakaian yang seperti ini?" lanjutnya, suaranya terdengar lirih, nyaris memelas. Pikirannya melayang sejenak, membayangkan mengenakan streetwear longgar yang biasa dipadukannya dengan hijab. Tapi ia segera menggeleng, tahu itu hanya angan-angan yang tidak mungkin terwujud dalam acara seperti ini. Ketukan pintu memecah lamunannya. Tak lama, Sulistyo masuk dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja hitam elegan, dipadukan dengan peci sederhana. Penampilannya santai, kontras dengan Aisyah yang tampak begitu terbebani. "Aisyah, sudah siap?" tanyanya dengan nada datar, seolah tidak peduli dengan gelisah yang terpancar dari wajah istrinya. Aisyah berbalik, menatapnya dengan mata yang mulai memerah. "Lihat aku, Sulistyo. Aku... aku bahkan tidak bisa bernapas lega di pakaian ini. Terlalu ketat, terlalu menekan perutku. Aku merasa tidak nyaman sama sekali." Suaranya melemah di akhir kalimat, lebih seperti permohonan daripada keluhan. Sulistyo menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ia menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada yang dingin, "Aisyah, ini acara kenegaraan. Semua orang akan memperhatikan kita. Penampilanmu bukan hanya soal dirimu, tapi juga mencerminkan keluarga dan posisiku." "Tapi..." Aisyah mencoba membantah, tapi Sulistyo segera memotongnya. "Cukup, Aisyah. Cepat bersiap. Jangan buat masalah," katanya tegas, sebelum berbalik dan menutup pintu tanpa menunggu jawaban. Aisyah terpaku di tempatnya, kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia kembali menatap cermin, merasa semakin asing dengan bayangan dirinya sendiri. Matanya menelusuri setiap detail kebaya yang membungkus tubuhnya, sementara perutnya terasa semakin tertekan. Dengan hati-hati, ia menyentuh konde di kepalanya, lalu mengusap perutnya yang membuncit pelan. "Maaf ya, Nak... Ibu cuma ingin kau baik-baik saja." Ucapannya lembut, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, di balik kata-kata itu, tersimpan sesak yang sulit ia sembunyikan. Di luar kamar, Sulistyo melangkah menuju aula utama, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Namun, dalam hati ia menggerutu, "Wanita itu selalu membuat hal kecil jadi rumit. Padahal ini hanya masalah pakaian. Mengapa harus dipermasalahkan?" Istana yang megah dan penuh kemewahan kini terasa dingin dan penuh ketegangan. Di tengah gemerlapnya acara kenegaraan, hati beberapa penghuninya justru diliputi badai kecil yang terus menggerogoti. Detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden akhirnya tiba. Aula megah itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai tamu undangan yang datang dari berbagai penjuru negeri. Di atas podium, Sulistyo Nugroho berdiri dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, ia telah menjadi calon wakil presiden termuda dalam sejarah. Di sampingnya, Haryanto Kartanegara, calon presiden berusia 70 tahun, berdiri dengan postur tegap yang masih mencerminkan kedisiplinan militer yang pernah membesarkan namanya. Wajahnya penuh wibawa, sebuah simbol kekuatan dan pengalaman yang tak tergoyahkan. Sementara semua mata terpaku pada mereka, Aisyah berdiri di sudut aula, jauh dari sorotan. Ia mengenakan kebaya emas yang serasi dengan kain canting, namun ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang berlangsung di depan. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang kini sudah mati, baterainya habis tanpa ia sadari. "Diam di sini saja ponselku sampai sekarat," pikirnya, mendesah kecil. Selama prosesi berlangsung, ia lebih memilih mendengarkan musik melalui earphones bluetooth yang tersembunyi di balik rambutnya yang sengaja sedikit digerai untuk menyembuhkan keberadaan earphones di telinganya. Ia telah memutar hampir semua genre—rock, R&B, bahkan akustik, hanya untuk menghindari kebosanan mendengar pidato-pidato panjang yang baginya tak ada artinya. Ketika tepuk tangan kembali membahana, Aisyah terpaksa ikut bertepuk tangan, meski hanya sekadar mengikuti kerumunan. Wajahnya tetap datar, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak tahu pidato apa yang baru saja selesai. Baginya, semua ini hanyalah formalitas membosankan yang jauh dari dunianya. Saat prosesi pelantikan selesai, Aisyah mencabut earphones dari telinganya dan memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan malas. Pandangannya sempat tertuju pada Sulistyo yang sedang tersenyum lebar, melambaikan tangan kepada para undangan. Sebuah ironi, pikirnya. "Mereka semua mengaguminya, tapi tak satu pun dari mereka tahu wajah aslinya di balik topeng itu." Ia menarik napas panjang, lalu berjalan perlahan meninggalkan aula, membiarkan keramaian di belakangnya. Di tengah gemerlap pesta kekuasaan itu, ia merasa lebih seperti bayangan—tidak terlihat, tidak dianggap, dan tidak peduli. Aisyah berjalan-jalan di sekitar istana negara, mencoba menjauh dari keramaian. Niatnya sederhana: mencari tempat tenang untuk menarik napas sejenak. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar keributan di dekat pagar depan. "Ada apa di sana?" gumamnya, alisnya berkerut. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menghampiri sumber suara. Di sana, seorang pria paruh baya dengan kaos oblong lusuh sedang berteriak-teriak, wajahnya kusam dan penuh amarah. Ia memaksa masuk, mengabaikan penjaga berseragam lengkap yang berusaha menahannya. "Biarkan saya masuk! Saya ini mertua wakil presiden kalian!" teriak pria itu dengan nada memaksa. "Maaf, pak. Saat ini sedang berlangsung acara pelantikan presiden dan wakil presiden. Anda tidak bisa masuk tanpa undangan. Kami sarankan Anda membuat janji terlebih dahulu," ucap salah seorang penjaga, suaranya tetap tenang meski tegas. Aisyah membeku di tempatnya, matanya membelalak. "Ayah?" bisiknya, nyaris tak percaya. Pria itu menoleh, dan begitu melihat Aisyah, raut wajahnya berubah penuh otoritas. "Putriku! Biarkan ayah masuk sekarang!" titahnya dengan nada yang lebih seperti perintah daripada permintaan. Penjaga kembali menahannya. "Maaf, pak, selain tamu undangan—" Sebelum kalimat itu selesai, Aisyah melangkah keluar gerbang dengan cepat, memotong pembicaraan. "Tidak apa-apa, pak. Saya akan bicara dengannya di luar. Ayah, ikut aku!" Ia menarik tangan pria itu, memaksanya menjauh dari pagar. Tatapan Aisyah dingin, tapi ia tetap memasang wajah tenang di depan para penjaga. Baru setelah cukup jauh, ia membiarkan emosinya menguasai pikirannya. "Apa yang dia lakukan di sini? Apa lagi yang pria tua ini inginkan dari hidupku?" gumamnya dalam hati. Firasat buruk menjalari tubuhnya, tetapi ia tidak mengucapkannya. Bagi Aisyah, ayah tirinya selalu membawa lebih banyak masalah daripada jawaban. Setelah menjauh dari gerbang, Aisyah membawa ayah tirinya ke tempat yang cukup sepi di sudut taman. Ia berhenti, berbalik menghadap pria itu dengan tatapan tajam. "Ayah, katakan saja. Apa yang ayah inginkan kali ini?" Mustofa, pria dengan pakaian lusuh dan bau keringat yang menyengat, menyeringai. Senyumnya tidak pernah menyenangkan bagi Aisyah. "Wah, lihatlah putriku. Kau semakin cantik. Pakaianmu mewah, wajahmu bersih terawat. Aku hampir tidak mengenalimu," katanya sambil mengulurkan tangan, menyentuh pipi Aisyah dengan ujung jarinya. Aisyah mundur cepat, ekspresinya berubah jijik. "Jangan sentuh aku. Langsung ke intinya saja, ayah ingin apa?" Mustofa tertawa kecil, suara parau yang membuat bulu kuduk Aisyah meremang. Dengan santai, ia mengangkat tangannya, menunjukkan gestur meminta uang. "Apa lagi kalau bukan ini?" Aisyah menatapnya tanpa emosi, sudah memahami arah pembicaraan ini. "Aku tidak punya uang." Mustofa mendengus marah, wajahnya mengeras. "Kau pikir aku bodoh? Kau istri wakil presiden sekarang! Mana mungkin kau tidak punya uang?" "Aku tidak pernah diberi uang tunai," jawab Aisyah dengan suara dingin. "Semua kebutuhanku disediakan dalam bentuk barang. Percaya atau tidak, itu urusanmu." Kemarahan meledak di wajah Mustofa. "Jangan bohong padaku, Aisyah!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. "Percaya atau tidak, aku tidak peduli," balas Aisyah, tetap tenang meski jantungnya berdebar. Mendengar jawaban itu, Mustofa tidak lagi bisa menahan amarahnya. "Dasar anak durhaka!" teriaknya sebelum mengayunkan kakinya dengan brutal, menendang perut Aisyah yang tengah mengandung. Aisyah terjatuh dengan keras ke tanah. Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya, membuatnya tercekik dan tak mampu bernapas sesaat. Ketika ia menyentuh perutnya, darah mulai merembes melalui kain cantingnya. Air mata membasahi wajahnya. Pandangannya kabur, tetapi ia masih bisa melihat Mustofa berdiri di sana, matanya penuh kebencian yang tidak pernah ia mengerti. Kerumunan mulai berlari mendekat, suara panik terdengar di mana-mana. Namun, bagi Aisyah, dunia terasa semakin jauh. Di dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa untuk keajaiban, untuk nyawa yang kini terancam dalam kandungannya.Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me