Share

Bab 8

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-11-30 18:59:58

Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah.

Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan.

"Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya.

"Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan.

"Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya.

"Benar! Dasar lemah! Hanya terjatuh sedikit, tapi sampai keguguran. Memalukan!" Prasetyo, adik Sulistyo, menimpali dengan nada tajam, menambah luka di hati Aisyah.

Tatapan Aisyah teralih pada Sulistyo yang berdiri di sudut ruangan. Tidak ada simpati di matanya, hanya kebencian dingin yang begitu menusuk. Ia diam, namun tatapannya berbicara lebih keras dari kata-kata.

"Gagal sudah," ucap Jatmiko, ayah Sulistyo, menggelengkan kepala dengan kecewa. "Rencana membangun politik dinasti benar-benar hancur sekarang."

"Sudahlah, Ayah," ujar Prasetyo, mencoba menenangkan. "Kak Sulistyo bisa buat anak lagi. Bukan masalah besar, kan, Kak?" katanya dengan nada ringan, seolah hidup Aisyah tidak berarti.

Sulistyo akhirnya membuka mulut, suaranya rendah namun penuh penghinaan. "Aisyah, kau sudah mengecewakan kami semua. Kau istri yang payah dan tidak berguna!"

Kata-kata itu menusuk hati Aisyah seperti belati. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, namun rasa sakit itu terlalu dalam. Ia menatap Sulistyo dengan mata berkilauan oleh air mata, tubuhnya bergetar menahan marah dan sedih.

"Yang mau jadi istrimu siapa?" suaranya tiba-tiba pecah, tinggi dan penuh kemarahan. "Yang mau diperkosa siapa? Yang mau keguguran siapa? Tidak ada yang menginginkan semua ini!"

Air mata jatuh tanpa henti di wajahnya. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal di atas selimut putih yang menutupi tubuh lemahnya. Kata-katanya menggantung di udara, namun tak satu pun dari mereka menunjukkan rasa bersalah.

Aisyah merasa terisolasi dalam dunia yang penuh dengan kebencian, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa tidak berharganya dirinya di mata mereka.

Jet pribadi melesat di udara, membawa keluarga Sulistyo kembali ke istana negara. Di dalamnya, suasana begitu sunyi bagi Aisyah, namun terasa ramai dengan obrolan tak peduli dari keluarga suaminya. Rasa sakit fisik dan emosional yang masih menggerogoti dirinya seolah tak dihiraukan oleh siapa pun.

Prasetyo, adik Sulistyo, sibuk dengan ponselnya. "Kak, lihat! Model ini cantik, kan?" katanya sambil menyodorkan foto seorang wanita muda dengan penampilan glamor.

Sulistyo hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tabletnya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Jatmiko, ayah mereka, menyela dengan nada penuh penekanan. "Kau ini! Kakakmu seharusnya menikah saja dengan anak pejabat. Lebih cocok dan menguntungkan keluarga."

"Benar, Ayah!" Ratri, ibu Sulistyo, menambahkan dengan nada yang dibuat-buat. Ia sengaja mengeraskan suaranya, memastikan Aisyah mendengar setiap kata-katanya. "Istri Sulistyo haruslah wanita sejati. Yang bisa memasak, mengurus rumah tanpa keluhan, dan yang terpenting... bisa memberi keturunan! Tidak seperti seseorang yang bahkan tidak mampu mempertahankan bayi di kandungannya."

Setiap kata itu seperti duri yang menusuk hati Aisyah. Ia menunduk, mencoba mengendalikan diri. Jemarinya meraba tas, mengambil earphones bluetooth yang selalu ia bawa. Dengan tangan gemetar, ia memasangnya di kedua telinganya dan memutar lagu, berharap suara musik bisa menenggelamkan hinaan yang terus berputar di telinganya.

Dalam hati, Aisyah berbisik pahit, "Aku masih menjadi menantu keluarga ini, tapi mereka sudah terang-terangan merendahkan aku. Jika memang keberadaanku tidak lagi diinginkan, kenapa tidak menceraikan aku saja? Daripada membiarkanku terperangkap di dalam neraka ini?"

Ia menatap jendela jet, menyembunyikan air matanya di balik lagu yang tak sepenuhnya mampu menghapus rasa sakit itu. Di luar, langit terlihat tenang. Namun di dalam dirinya, badai terus menggulung.

Istana negara kembali ramai dengan langkah-langkah keluarga Sulistyo yang baru tiba. Ratri dan Jatmiko sibuk dengan barang-barang mereka, sementara Aisyah hanya berdiri di sudut, mencoba mengatur napas agar rasa sakitnya tak kentara.

"Sulistyo sayang," Ratri memulai, nadanya manis tapi penuh sindiran, "Selamat karena sudah dilantik menjadi wakil presiden! Maaf, ibu baru sempat mengucapkan ini karena, yah..." Ia melirik tajam ke arah Aisyah. "Kau tahu kan siapa yang membuat kita semua buru-buru pergi ke rumah sakit setelah momen pelantikan itu."

Sulistyo mengangguk kecil, tersenyum sopan. "Terima kasih, Ibu. Aku mungkin tidak akan sampai di titik ini tanpa dukungan Ibu."

"Ekhem!" Suara batuk yang disengaja memotong pembicaraan. Jatmiko berdiri dengan tangan disilangkan, menatap putranya.

"Oh, tentu saja," lanjut Sulistyo cepat, beralih kepada ayahnya. "Jabatan ini juga tak lepas dari bimbingan Ayah tercinta." Ia menjabat tangan Jatmiko dengan penuh hormat.

Jatmiko mendekatkan mulutnya ke telinga Sulistyo, berbisik penuh ambisi. "Ingat, Nak, ini hanya langkah awal. Tujuanmu adalah kursi presiden. Ketika pria tua itu mati, kau akan otomatis naik."

Sulistyo tersenyum tipis, membalas dengan nada rendah. "Tenang saja, Ayah. Itu sudah ada dalam rencanaku."

Tiba-tiba suara Prasetyo memecah percakapan rahasia itu. "Ketua partai sedang mengawasi!" candanya, membuat kedua pria itu tersentak kecil.

Jatmiko terkekeh ringan, menepuk bahu anak bungsunya. "Sabar, Nak. Akan ada giliranmu juga. Suatu saat kau juga bisa jadi presiden."

"Benarkah? Wah, asik!" Prasetyo bersorak riang, tak mempedulikan ketegangan yang sempat tercipta.

Aisyah, yang merasa tidak ada lagi urusannya di sana, berbalik untuk pergi. "Kalau tidak ada yang membutuhkanku, aku akan ke kamar."

Namun langkahnya terhenti ketika suara tajam Ratri memanggil. "Tunggu dulu!"

Aisyah menoleh perlahan, menahan desah kesal yang nyaris lolos. "Ada apa lagi?"

"Bantu para pelayan membereskan barang-barang kami," perintah Ratri tanpa basa-basi. "Aku dan ayahmu akan kembali ke Suryaloka menikmati masa pensiun. Cepat, jangan lamban!"

Aisyah menatap ibu mertuanya dengan dingin, tapi tak punya pilihan selain menurut. Ia memaksakan tubuhnya yang masih lemah untuk mengangkat koper-koper berat milik Jatmiko dan Ratri, di bawah tatapan merendahkan keluarga itu. Tidak ada yang memperlakukannya seperti menantu; ia lebih tampak seperti pelayan tanpa gaji.

Dalam hati, Aisyah bergumam getir, "Apakah aku tak lebih dari ini di mata mereka? Hanya budak yang bisa mereka perintah sesuka hati? Aku sudah kehilangan semuanya, bahkan harga diriku..." Namun ia tetap melangkah, menahan rasa sakit fisik dan emosional yang terus menggerogotinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status