Share

Bab 2

Sebuah tepukan halus di bahu Esmeralda, telah membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, menatap Franky telah berdiri di belakangnya sambil memandangi wanita itu dengan tatapan yang sedikit aneh.

"Dek, kamu ngapain magrib-magrib begini duduk di depan pintu? Masuk, yuk!" ucapnya menegur dengan suara yang terdengar lembut.

Esmeralda tak menyahuti suaminya. Ia menatap sebentar ke arah lelaki itu yang telah melenggang masuk ke dalam rumahnya.

Pandangan Esmeralda beralih pada pohon beringin yang berada di seberang rumah mertuanya. Ia berusaha mencari sosok yang cukup jelas ia lihat, meskipun hanya sekelebatan saja.

"Dek, kamu belum masuk?" Suara teriakan Franky dari dalam rumah, telah membuat wanita itu tersadar. Ia segera beranjak dari tangga depan untuk menghampiri pemilik suara.

"Mas..." Suara Esmeralda terdengar lirih saat ia berdiri di samping Franky yang kini telah berada di dalam kamarnya. Lelaki itu terlihat berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku.

Kehadiran Esmeralda telah membuat perhatiannya tersita. Ia menoleh menatap wanita yang raut wajahnya tampak sedikit gelisah.

"Ada apa, Dek?" Kedua alis Franky tampak mengerut. Ia menutup buku bacaan yang sedang ia baca.

Esmeralda tidak langsung menjawab. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan mata yang sama sekali tidak beralih dari suaminya.

"Mas tahu pohon beringin yang ada di seberang rumah?" tanya Esmeralda hendak memastikan. Raut wajahnya tampak serius menatap lelaki yang membenahi sandaran bantal di punggungnya.

Franky menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Memangnya kenapa dengan pohon beringin itu, dek?" Lelaki itu tampak menunggui jawaban istrinya dengan penasaran.

"Aku merasa ada yang aneh dengan pohon itu, mas," sahut Esmeralda lirih. Ia terdiam selama beberapa saat untuk menunggu reaksi dari suaminya.

Franky hanya mengerutkan kedua alisnya. "Aneh bagaimana, dek?"

"Tadi aku lihat ada sekelebat bayangan hitam di sana," sahut wanita itu dengan antusias.

"Ah! Mungkin itu hanya perasaanmu saja, dek. Atau mungkin itu pemilik kebun yang sedang melihat-lihat kebunnya," sanggah Franky dengan datar.

"Tapi, mas...." Belum sempat Esmeralda melanjutkan ucapannya, lelaki itu telah lebih dulu memotongnya. "Sudahlah, dek! Jangan terlalu memikirkan hal aneh. Apa yang kamu pikir ada di pohon beringin itu? Hantu? Hantu itu tidak ada, dek. Hanya sugesti kita saja. Kalau kamu berpikir negatif terus, kamu yang nantinya ketakutan sendiri," ucap Franky dengan panjang dan lebar.

Esmeralda hanya terdiam. Ia tidak pernah bisa membantah ucapan suaminya.

"Kamu belum makan malam kan? Makan dulu sana! Kalau tidak mau makan, kamu bersihkan meja makan, dan cuci piring kotor. Nggak enak sama ibu kalau dia lihat ruang makan masih berantakan," ucap lelaki itu lagi yang telah menyadarkan lamunan Esmeralda.

"Iya mas," sahutnya dengan lirih sambil beranjak dari dalam kamar.

Franky yang telah melihat kepergian istrinya, hanya geleng-geleng kepala. Ia kembali melanjutkan aktivitas bacanya yang sempat terganggu oleh wanita itu.

***

Klontang!

Sebuah suara yang cukup keras, yang berasal dari luar kamar, telah membangunkan Esmeralda dari tidur nyenyaknya.

Wanita itu mengusap kedua matanya dengan perlahan, menatap jam di dinding kayu yang baru menunjukkan pukul empat pagi lewat lima belas menit.

"Siapa ya?" gumam Esmeralda sambil membuka selimut tebalnya, dan beranjak keluar dari kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan suaminya.

Esmeralda termangu selama beberapa saat ketika ia melihat Bu Edith sedang mencuci piring di dapur. Wanita itu seperti sengaja membuat kegaduhan agar dirinya bangun.

Esmeralda menghela nafasnya dengan kasar. Ia menghampiri ibu mertuanya yang segera menyadari kehadirannya.

Wanita itu menoleh, menatap wajah Esmeralda dengan sorot mata yang tajam.

"Jangan dibiasakan hidup di kota, Esme! Sebagai menantu seharusnya kamu malu karena bangun lebih lambat dari ibu mertuamu," cerocos Bu Edith dengan kasar. "Ini juga! Kenapa tempat nasi nggak langsung dicuci? Kenapa harus direndam-rendam segala? Kalau kerja itu jangan setengah-setengah!" lanjutnya mengomel panjang dan lebar yang membuat Esmeralda semakin jengah.

"Iya, Bu. Aku minta maaf!" sahutnya dengan datar.

"Maaf, maaf! Entah pelet apa yang kamu gunakan untuk anak bungsuku? Kenapa dia bisa memilih kamu, dari pada wanita pilihan ibunya sendiri? Wanita mandul, pemalas, dan nggak tahu sopan santun!" Wanita tua itu terus mengoceh sambil tetap mencuci tempat nasi.

Sementara Esmeralda masih berdiri mematung di sampingnya, dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Ngapain kamu masih di sini? Sana! Sapu halaman depan! Harus disuruh saja, nggak punya inisiatif sendiri," teriak wanita tua itu memberikan perintah. Ia beranjak dari wastafel untuk mengambil beras yang berada di kolong kompor.

Esmeralda bergegas pergi dari hadapan wanita itu. Ia duduk di tangga depan rumahnya sambil menangis terisak.

Kata-kata yang diucapkan oleh ibu mertuanya, telah melukai hati wanita itu. Padahal sebelum menikah dengan Franky, karirnya cemerlang. Ia menjadi sekretaris di Perusahaan Berlian yang sangat terkenal di Kota. Dengan gaji puluhan juta. Tapi setelah menikah, semuanya berubah. Ia harus rela melepaskan karirnya yang sudah berada di puncak. Karena dokter mengatakan bahwa ia tidak boleh terlalu capek, jika ingin memiliki anak.

Pengorbanan besar Esmeralda seolah tidak berarti sama sekali di mata ibu mertuanya.

"Disuruh menyapu halaman malah duduk di sini!" Teriakan yang muncul secara tiba-tiba dari arah belakang Esmeralda, telah membuat wanita itu tersentak.

Ia buru-buru mengusap kedua matanya yang basah sambil beranjak dari tempat ia duduk.

"Kamu kenapa? Menangis?" Bu Edith memperhatikan kedua mata Esmeralda yang masih menyisakan airmata. "Nggak usah lebay! Dinasehati sedikit, menangis. Nanti mengadu yang bukan-bukan sama Franky. Terus dia tegur aku sebagai ibu yang telah melahirkannya," lanjut wanita tua itu dengan ketus.

"Nggak, Bu. Aku nggak pernah bilang apa-apa ke Mas Franky," sahut Esmeralda menjelaskan kesalahpahaman pada ibu mertuanya.

"Sudahlah! Jangan banyak drama! Cepat sapu halaman depan sebelum langit terang!" tukas Bu Edith sebelum ia berlalu dari hadapan Esmeralda yang masih memperhatikan langkahnya, yang semakin hilang dalam pandangannya.

Wanita itu menghela nafasnya dengan kasar. Ia beranjak dari depan pintu, menuruni anak tangga, mengambil sapu lidi yang berada di bawah panggung.

Halaman rumah yang ia tinggali, cukup luas. Terdapat pohon rambutan yang memiliki banyak daun, sehingga daun-daun kering yang berjatuhan, terlihat berserakan di mana-mana.

Esmeralda mulai menyapu dari ujung ke ujung, mengumpulkan sampah daun di tengah-tengah.

Suasana di Kampung Sukameneng masih sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat lewat, sejauh mata memandang. Langit yang masih gelap, menambah kengerian yang dirasakan oleh wanita itu.

Saat Esmeralda telah selesai mengumpulkan daun-daun yang berserakan di halaman depan rumahnya, perhatiannya tak sengaja beralih ke arah pohon beringin besar yang berada cukup dekat di hadapannya.

Kedua mata Esmeralda membelalak dengan lebar. Ia sangat jelas melihat sosok tinggi besar dan kekar berwarna hitam legam dengan sorot mata yang tajam berwarna merah menyala. sosok itu seolah menatap Esmeralda yang mulai gemetar ketakutan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status