Share

Hamil Anak Genderuwo
Hamil Anak Genderuwo
Penulis: Rainie

Bab 1

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu yang cukup keras, telah menyita perhatian Esmeralda yang sedang memasak di dapur, untuk makan malam suaminya.

Wanita yang memiliki rambut panjang dan sedikit ikal itu bergegas mematikan kompor. Ia setengah berlari menuju ke pintu depan sambil menguncir rambutnya.

Saat Esmeralda membuka pintu, ia sedikit terkejut saat melihat wanita bertubuh gemuk yang sudah sangat familiar baginya.

"Bu Hilda? Hehe, ada apa ya Bu bertamu malam-malam?" tanya wanita itu hendak memastikan. Ia tampak tersenyum kaku.

"Esme, kamu nggak lupa kan? Hari ini sudah jatuh tempo untuk bayar kontrakan," sahutnya dengan nada yang tegas.

"Maaf ya, Bu! Suami saya belum pulang. Nanti kalau sudah pulang, uangnya saya antar ke rumah ya, Bu?" ucap Esmeralda berusaha untuk negosiasi pada si empu pemilik kontrakan, tempat tinggalnya selama beberapa tahun ini.

Wanita itu tidak langsung menyahuti. Ia tampak berpikir dengan serius.

"Masa ibu nggak percaya sama saya? Saya sudah lama lho tinggal di kontrakan ibu, dan nggak pernah nunggak bayar," ucapnya lagi mencoba meyakinkan wanita yang masih berdiri di hadapannya.

"Baiklah, saya tunggu kamu ke rumah," sahut wanita itu sebelum ia beranjak dari hadapan Esmeralda yang terlihat menghela nafas lega.

Ia memperhatikan sebentar langkah Bu Hilda yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia pun kembali menutup pintu dengan raut wajah yang tampak lesu.

Esmeralda telah kehilangan semangatnya untuk menyiapkan makan malam. Ia duduk di sofa berwarna cream yang berada di ruang tamu dengan pikiran yang gelisah.

Sesekali ia menatap jam yang tergantung di dinding. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam kurang lima belas menit.

"Mas Franky ke mana sih? Tumben banget jam segini belum pulang." Esmeralda mendengus merasa kesal.

Baru saja ia hendak beranjak dari sofa, terdengar suara ketukan pintu yang nyaring.

Esmeralda cepat-cepat membuka pintu rumahnya. Dan benar saja dugaannya. Suaminya telah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang tampak kusut.

"Mas Franky? Kok baru pulang? Gajinya masih belum turun ya, mas? Bu Hilda barusan datang menagih uang kontrakan," ucap Esme dengan panjang dan lebar.

Lelaki bertubuh gemuk itu seolah seperti tidak menggubris keluhan istrinya. Ia berjalan masuk melewati Esme yang tampak terbengong.

Lelaki itu duduk di sofa dengan wajah yang terlihat frustasi. Kepalanya ia sandarkan pada sofa sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Esme duduk di sebelah lelaki itu, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat bahwa situasinya tidak baik-baik saja.

"Ada apa, mas? apa ada masalah di kantor?" tanya wanita itu dengan penasaran. Pandangan matanya masih belum beralih dari wajah suaminya.

"Aku kena PHK, dek." Ucapan singkat itu telah membuat raut wajah Esme berubah. Kedua matanya tampak membelalak dengan lebar.

"Kok bisa, mas?"

"Perusahaan mengalami kebangkrutan dan mem-PHK karyawannya besar-besaran," sahutnya dengan lirih.

"Jadi, bagaimana dengan nasib kita, mas?"

Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia tampak menarik nafas panjang, dan menghembuskan secara perlahan.

Franky menatap wajah wanita yang masih duduk di sampingnya. Wanita yang telah ia nikahi selama lima tahun lebih.

"Kita pulang ke kampung mas, ya?" tanya lelaki itu meminta persetujuan dari istrinya yang terlihat mematung selama beberapa saat.

"Kenapa mas tidak mencoba mencari pekerjaan lain? Aku juga akan mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga kita, mas. Atau aku bisa meminta temanku untuk kembali memasukkan aku ke perusahaan lama tempat aku kerja dulu," ucap Esme dengan antusias.

Franky menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kamu lupa ya? Alasan mas dulu meminta kamu berhenti bekerja?" Lelaki itu menatap wajah Esme dengan tatapan mata yang dalam.

Esme mendadak bungkam. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Mas nggak mau kamu kecapean. Kita sudah sepakat kan? Kamu juga mau memiliki momongan kan?"

Esme menganggukkan kepalanya dengan lemah. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskan lagi secara kasar.

"Tapi situasinya berbeda, mas. Hanya sementara saja sampai mas mendapatkan pekerjaan pengganti," ucap wanita itu masih berharap mendapatkan persetujuan dari suaminya.

Franky kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak. Lebih baik kita pulang ke kampung mas saja, dek. Ibu sama bapak juga sudah mendengar kabar bahwa mas di PHK. Mereka meminta mas pulang ke kampung mengurusi usaha kelontong bapak. Kan kamu juga bisa bantu-bantu ibu di kampung. Apalagi dia sudah tua, dek."

Esme terdiam. Ia tak bisa lagi berkata-kata.

***

Perjalanan yang ditempuh sangat jauh. Kampung Franky berada di dalam hutan yang jauh dari kota.

Selama perjalanan, Esme menatap jalanan melalui jendela mobil travel yang ia naiki dengan tatapan mata yang kosong.

Ini bukan kali pertama Esme datang ke kampung halaman suaminya. Tapi sudah beberapa kali saat hari raya, juga saat Ibu mertuanya sakit, ia pulang untuk membantu suaminya mengurus ibu.

Di Kampung Sukameneng, jaringan internet tidak ada. Jangankan internet, sinyal untuk menelpon dan berkirim pesan lewat SMS pun tidak bisa karena tidak berada dalam jangkauan. Jadi percuma saja memiliki handphone di tempat seperti itu.

Bahkan untuk pergi ke pasar, harus keluar lewat hutan.

Suasana di kampung itu juga sangat sepi. Terlebih lagi setelah azan magrib. Tempat itu benar-benar seperti tempat yang tidak berpenghuni.

Mobil travel yang ditumpangi oleh Franky dan Esme berhenti di Pasar Sukameneng. Untuk masuk ke Kampung Sukameneng, mereka harus naik ojek melewati hutan-hutan.

Selama perjalanan, Esme tidak banyak berbicara. Ia hampir menyesal menikah dengan lelaki yang berasal dari kampung itu.

Setibanya di rumah panggung yang terbuat dari papan kayu, keduanya langsung disambut oleh ibu dan bapak Franky. Mereka terlihat sangat bersemangat saat anak bungsu mereka telah kembali ke rumah.

"Pasti capek kan? Yuk makan dulu, ibu sudah masak banyak untuk kalian," ucap Bu Edith sambil merangkul tubuh putranya, menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah yang tampak sederhana.

"Seharusnya ibu nggak perlu repot-repot begitu, Esme kan bisa masak untuk bapak sama ibu," sahut Franky merasa sungkan.

"Nggak apa-apa. Ayo duduk sini!" Wanita itu menempatkan Franky di kursi makan yang telah terhidang cukup banyak makanan.

Esme duduk di sebelah Franky dengan perasaan canggung.

"Kamu terlihat sangat kurus sekarang, nak!" ucap wanita itu lagi sambil menuangkan nasi ke piring Franky. "Makan yang banyak ya?"

"Iya, Bu." Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Ia merasa sikap ibunya sedikit berlebihan.

"Bagaimana istrimu? Apakah dia sudah hamil?" Pertanyaan yang tiba-tiba diajukan oleh wanita itu membuat keduanya tercengang. Baik Franky, maupun Esme, keduanya saling menatap satu sama lain.

"Kalian sudah menikah lebih dari lima tahun lho! Kenapa belum bisa memberikan ibu cucu?"

Esme terdiam membisu. Baru saja ia datang ke kampung itu, ia telah dibuat tidak nyaman dengan ibu mertuanya.

Selera makan Esme mendadak hilang. Ia segera beranjak dari kursi makan.

"Kamu mau ke mana, dek?" tegur Franky saat melihat istrinya meninggalkan ruangan.

"Mau ambil barang yang tertinggal di depan mas," sahut Esme berbohong.

Esme duduk di tangga depan rumah. Ia menopang dagu sambil melihat-lihat ke sekelilingnya yang mulai terlihat gelap.

Tiba-tiba saja Esme menangkap sekelebat bayangan yang lewat kebun kosong yang berada di seberang rumah mertuanya.

Pandangan Esme terpusat menatap sebuah pohon beringin paling besar yang baru pertama kali ia lihat. Seketika bulu kuduknya berdiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status