Share

Bab 4

"Nduk, kamu baru pindah ya?" tanya wanita paruh baya itu dengan kedua matanya yang tampak berbinar.

Esmeralda tidak langsung menyahuti. Ia menatap wanita yang telah dipenuhi dengan kerutan wajahnya itu dengan tatapan heran. Kedua alisnya tampak sedikit mengerut.

"Ibu siapa ya?" tanyanya hendak memastikan.

"Nama ibu, Valentina. Rumah ibu ada di ujung sana!" sahutnya sambil menunjuk ke arah sebuah jalan yang cukup jauh dari rumah mertua Esmeralda.

Wanita itu menoleh sebentar, menatap ke arah yang ditunjuk oleh Bu Valentine.

"Oh!" Esmeralda manggut-manggut. Pandangannya kembali ia alihkan pada wanita paruh baya itu yang masih berdiri di hadapannya.

"Kamu baru pindah ya? Datang dari mana, nduk?" Bu Valentine kembali mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab oleh Esmeralda.

"Saya datang dari kota, Bu," sahut wanita itu dengan nada suara yang terdengar lembut sambil mengulas senyuman tipis di bibirnya yang sedikit tebal.

"Kamu masih gadis? Atau sudah menikah?" tanya Bu Valentine lagi. Kali ini pertanyaan yang diajukannya membuat Esmeralda sedikit tidak nyaman. Ia pikir, untuk apa wanita itu bertanya demikian? Apakah hal itu sangat penting?

"Memangnya kenapa ya, Bu?" Esmeralda kembali tersenyum. Kali ini ia memperlihatkan barisan giginya yang putih.

"Sebaiknya kamu pasang bambu kuning di depan pintu, nduk. Terlebih lagi jika kamu masih gadis," ucap wanita paruh baya itu dengan nada yang terdengar sedikit memperingati.

"Oh! Saya sudah menikah, Bu," sahut Esmeralda masih mengulum senyuman di bibirnya.

"Nggak apa-apa, nduk. Pasang saja bambu kuning di depan pintu, supaya lebih aman."

"Lebih aman dari apa ya, Bu?" Kedua alis Esmeralda tampak mengerut. Ia terlihat penasaran menunggu jawaban dari wanita yang masih berdiri di hadapannya itu.

Bu Valentine hanya tersenyum tipis. "Kalau kata orang kampung sini, lakukan saja apa yang tetua katakan, nggak usah banyak tanya." Wanita itu menepuk-nepuk bahu Esmeralda dengan perlahan, masih mengulum senyuman di bibirnya.

"Ibu permisi dulu ya, nduk. Ibu masih ada urusan. Ibu mau cepat-cepat pergi ke pasar sebelum malam," ucap wanita itu lagi sebelum ia beranjak pergi dari hadapan Esmeralda yang masih tampak terbengong menatap punggungnya yang semakin hilang dalam pandangannya.

***

"Esme!" Suara teriakan Bu Edith terdengar sangat keras dari luar kamar.

Wanita itu terperanjat. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, dan bergegas keluar kamar untuk menemui ibu mertuanya yang berada di dapur.

"Iya, Bu?" sahutnya dengan nada suara yang terdengar cukup lembut. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah ibu mertuanya terlalu lama.

"Sedang apa kamu di kamar? Tidur? Enak banget ya jadi kamu? Tidur paling cepat, bangun juga siang!" cerocos Bu Edith dengan nada yang sedikit membentak.

Esmeralda semakin menundukkan pandangannya. Ia tidak berani menjawab sepatah kata pun pada ibu mertuanya.

"Tuh! Bersihkan ikan yang aku beli di pasar! Ingat ya, sampah bekas ikan langsung buang ke depan! Jangan ditumpuk di sini! Nanti bau busuk. Kalau sudah selesai, masukkan ikannya ke freezer supaya nggak rusak!" ucap wanita tua itu memberi perintah dengan nada yang tegas.

"Baik, Bu." Esmeralda menganggukkan kepalanya pelan. Ia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat wanita tua itu yang berlalu pergi dari hadapannya.

Bu Edith masuk ke dalam kamar, dan membanting pintu dengan cukup keras, yang telah membuat Esmeralda tersentak hingga kedua bahunya secara spontan terangkat.

Wanita itu menarik nafas panjang, kemudian ia menghela nafasnya lagi dengan kasar.

Esmeralda menatap ikan beku itu dengan enggan. Ia mulai bergerak mengambil pisau untuk membersihkan sisik dari tubuh ikan.

Setelah mencuci bersih ikan yang telah ia keluarkan insang dan perutnya, Esmeralda memasukkan ikan tersebut ke dalam wadah, dan meletakkannya di freezer.

Wanita itu membersihkan sampah ikan, dan mengumpulkannya menjadi satu ke dalam sebuah kantong berwarna hitam.

Sebelum melangkah keluar, Esmeralda menatap jam yang tergantung di dinding kayu, yang berada di ruang tamu. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sepuluh menit.

Esmeralda mematung selama beberapa saat di depan pintu. Ia menatap gagang pintu dengan tatapan kosong. Ia sedikit ragu-ragu untuk membukanya.

Meskipun berkali-kali ia meyakinkan hatinya bahwa tidak ada apa-apa di depan sana, tapi tetap saja jantungnya berdetak kencang seolah akan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Esmeralda menarik nafas panjang. Ia menghembuskan kembali nafasnya dengan perlahan.

Setelah mengatur nafasnya yang mulai memburu, Esmeralda dengan penuh percaya diri membuka pintu rumahnya.

Baru satu langkah ia keluar dari rumah, ia menatap ke sekeliling yang tampak gelap dan sepi. Pada halaman depan hanya diterangi lampu yang tampak temaram, yang seolah tidak ada fungsinya. Bahkan meskipun lampu itu ada atau tidak ada, tidak merubah apa-apa. Halaman tetap tampak gelap.

Dengan perlahan, Esmeralda menuruni anak tangga.

"Nggak ada apa-apa di sana," ucapnya berulang kali seolah ia sedang berusaha melenyapkan perasaan takut yang mulai menguasai dirinya.

Esmeralda berjalan dengan cepat membuang sampah bekas ikan di lubang sampah yang berada di halaman depan rumah. Jaraknya hanya beberapa meter saja dari pohon beringin yang selama ini ia takutkan.

Setelah membuang sampah, Esmeralda buru-buru masuk ke dalam rumahnya.

Ia berlari menuju ke rumah panggung, tanpa menoleh lagi ke belakang.

Tapi anehnya, meskipun ia sudah berlari kencang, ia tidak kunjung sampai ke rumah yang ia tuju. Padahal jarak antara rumah dan tempat sampah di halaman depan, tidak terlalu jauh.

"Ada apa ini? Kok nggak sampai-sampai?" Esmeralda yang mulai merasa capek, menghentikan langkahnya.

Kresek!

Sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakang wanita itu, telah membuatnya mematung selama beberapa saat. Ia melirik ke belakang tanpa menolehkan wajahnya. Ia tidak bisa melihat apapun.

"Bukan apa-apa! Mungkin saja itu suara anjing liar yang menginjak ranting pohon," gumamnya mencoba meyakinkan pada dirinya sendiri.

Saat Esmeralda hendak melangkahkan kedua kakinya untuk meninggalkan tempat itu, ia merasa bahwa kedua kakinya tidak bisa bergerak.

Seketika wanita itu menjadi panik.

Hembusan semilir angin yang tiba-tiba membelai belakang leher Esmeralda, yang terasa dingin menusuk tulang, semakin membuat kengerian di hati wanita itu.

"Esme...." Terdengar suara bisikan lirih yang tiba-tiba muncul memanggil nama wanita itu.

Esmeralda mulai gemetar ketakutan. Ia memejamkan kedua matanya, berusaha mengalihkan pikirannya bahwa apa yang ia dengar itu hanyalah halusinasi saja.

"Esme...." Sekali lagi, suara itu kembali terdengar lirih seperti sebuah bisikan.

Wanita itu menarik nafas panjang, lalu ia hembuskan secara perlahan. Ia berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa selain dirinya.

Saat ia menoleh, kedua matanya membelalak dengan lebar.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status