Gila! Sungguh gila bagi Arkana, juga Devinta. Masing-masing dari mereka merasakan sengatan tak biasa. Rasa itu muncul, perlahan namun mampu membuat terus terpikir.Risa beranjak, pamit pulang bersama Raka dengan menggunakan taksi. Nadia menyalim kedua tangan tuan dan nyonya Bagas. Pun kepada Ratu juga suaminya. Dua kakak Arkana yang lain belum tau tentang status Nadia. Ratu masih ingin menutupi, ia belum menemukan jalan keluar yang tepat."Terima kasih untuk hari ini, Mbak Ratu," ucap Risa saat Ratu mengantar hingga keluar ruangan."Sama-sama, hubungi aku kalau butuh sesuatu, ya." Kemudian Ratu berbisik di telinga Risa. "Ada hadiah untuk kalian, sudah di rumah, aku mohon, gunakan dengan baik. Peluk untuk keponakanku ya, Risa, aku bahagia, walau Nadia tidak bisa ada bersama kami. Kamu tidak membunuhnya akibat kebejatan adikku." Ratu memundurkan wajah, tersenyum begitu tulus. Risa mengangguk, ia menggandeng tangan Nadia lalu Raka menunduk sopan untuk pamit kepada Ratu dan suaminya.Di d
Sesampainya di rumah, Raka tersenyum sinis menatap Risa yang baru tiba. Raka mengenakan kaos lengan buntung dengan celana pendek warna biru tua sepaha. Raka meminta Risa duduk. "Gimana?" tanyanya. "Ka, apa nggak keterlaluan. Kita jadi kayak merusak rumah tangga mereka?" Risa menatap takut. Raka tersenyum sambil mencubit gemas pipi Risa. "Jangan terlalu polos, Sa. Tanpa mereka sadari, sudah ada yang bermain api sejak lama. Hanya saja, pintar menutupi." Raka duduk menyilang kaki, Risa menghela napas panjang, duduk di sebelah Raka yang merangkul bahunya. "Kamu aku anggap seperti Kakakku, Risa, aku nggak akan jatuh cinta sama kamu, jadi ... kamu nggak perlu takut aku mendadak bersikap seolah aku cinta sama kamu. Ini bagian rencana." Risa menoleh cepat, menatap Raka. "Kamu ... suka sama Devinta?" "Nggak, ya ... nggak tau nantinya, tapi aku mau dia yang begitu. Aku hancurkan Devinta dengan cara yang nggak akan dia lupakan seumur hidup." Raka tersenyum sinis. Benar, di kamarnya, De
Arkana berjalan memasuki rumah sambil melepaskan dua kancing atas kemeja yang dikenakan, tatapannya memindah sekeliling, tak tampak orang-orang. Lalu langkahnya mengarah pada sumber suara yang sayup terdengar telinganya.Langkahnya terhenti saat ia melihat Deva tertawa riang bersama para pekerja di rumahnya, termasuk Risa yang sedang memeluk Deva erat, layaknya ibu mencintai anaknya dengan sepenuh hati, tanpa ada aturan ketat.Deva sendiri nyaman diperlakukan seperti itu, Nadia bahkan ikut memeluk Risa dari belakang, mencium pipi bundanya yang terpejam sambil tertawa. Di dalam dada Arkana ada gemuruh yang muncul, perasaan senang hingga membuat ulu hatinya terasa linu melihat hal itu.Kedua kakinya melangkah lebar, dengan kedua tangan ia masukan ke saku. CEO tampan, gagah, dengan bahu lebar, bibir merah karena bukan perokok, rambut hitam lebat ditambah bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang, membuatnya begitu sempurna menjadi sasaran empuk para pemburu suami. Iya, Arkana masuk k
Mereka begitu lihai, melanjutkan permainan 'kotor' demi membalaskan dendamnya. Raka tiba di salah satu tempat yang dulu sering dikunjungi mendiang kakaknya bersama Devinta. Jelas, Raka pura-pura tidak tau jika dulu Devinta sering ke sana. Wajah Devinta seketika pias, sedikit terkejut berakhir sendu. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, hawa dingin menusuk karena daerah itu berlokasi di komplek villa mewah tak jauh dari kota. "Kenapa kamu ajak aku ke sini?" Devinta menatap penuh curiga ke Raka yang baru saja menyandarkan tubuh di samping pintu mobil, menghadap ke pemandangan lampu-lampu pemukiman lain yang menerangi langit malam. "Mau ke sini aja, apa kamu nggak bosan, berada di kota?" jawabnya sambil melemparkan pandangan jauh ke depan. "Oh, maaf ... aku lupa panggil kamu dengan embel-embel Nyonya," lanjut Raka. Devinta memalingkan wajah, ia juga memindai sekeliling, hingga kedua matanya berhenti di satu bangunan villa yang dulu pernah dimiliki keluarganya, tapi kini sudah dij
"Selamat pagi anak cantik," bisik Raka di telinga Nadia yang sedang mengerjakan tugas menebalkan huruf. Perkembangan Nadia setelah mulai sekolah dalam hal pelajaran begitu pesat, ia anak pintar juga karena sudah dibekali ilmu sebelumnya oleh Risa. "Pagi Om, Raka," jawab Nadia sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Om punya ini buat kamu," ujar Raka sambil memberikan kotak kado ke hadapan Nadia. Wajah gadis kecil itu sumringah, ia segera membukanya. Terlihat sepasang sepatu baru lagi menjadi hadiah miliknya. Kali ini sepatu untuk bepergian, bukan untuk sekolah. Nadia segera memasang ke kedua kakinya. "Tuh, kan ... pas di kaki kamu, bagus. Tos dulu!" Raka mengangkat tangan ke udara. Mereka ber tos ria lalu Nadia tertawa riang. "Bunda mana?" "Lagi ke supermarket, belanja sama Nenek Sumi." "Oh ... gitu. Nadia, temenin Om ke dalam, yuk, Om mau tanya tengang bibit bunga ke Nyonya Devinta," pinta Raka. "Ayo," jawab Nadia semangat. Mereka berjalan bersama, rumah keadaan sepi di
Nadia merasa senang setelah dijelaskan tentang kehidupan binatang walau lewat buku. Risa yang menyadari sikap putrinya mengernyit bingung."Kamu kenapa, Nadia?" tanyanya sambil merapikan belanjaan ke dalam kabinet dan kulkas."Nggak papa, Bunda." Nadia tersenyum lalu ungkang-ungkang kaki di atas kursi yang ia duduki. "Hai Om Raka," sapa Nadia."Hai cantik," balasnya lalu menatap Risa. "Sa," panggilnya."Hm? Apa?""Termakan umpan dan masuk perangkap." Raka meneguk air mineral digelas yang ia pegang. Risa tak paham, ia mengangkat kedua bahu seolah tak acuh dengan kalimat Raka."Bu Sumi mau cuti, ada saudara nikah di kampung. Kamu nggak ikut?" Risa masih mondar mandir merapikan belanjaan."Nggak. Aku takut ada yang kangen kalau aku pergi," lalu Raka mengedipkan sebelah mata ke arah Risa yang dibalas keplakan dikepala dengan menggunakan satu ikat daun bawang yang Risa pegang.Raka meringis, tapi justru Nadia tertawa. Devinta mendadak muncul, lalu bicara dengan Risa tentang bekal makanan D
Risa sudah berpikir keras, semenjak ia tau jika Arkana berusaha dekat dengan Nadia, hatinya masih tak rela. Lain dengan Arkana, lelaki itu mengulur waktu untuk bicara dengan Devinta tentang siapa Nadia. Kepalanya sakit memikirkan hal itu, Devinta sendiri kini sibuk mengurus yayasan milik keluarganya yang membantu anak tidak mampu supaya bisa sekolah. Arkana merasa istrinya mulai sibuk dan hal itu ia sukai. "Devinta, kepala ku sakit, bisa kamu nggak pergi hari ini?" pinta Arkana yang masih merebahkan diri di ranjang. "Yah, Mas, maaf aku nggak bisa. Hari ini aku harus ketemu donatur yayasan. Penting banget, Mas. Nggak papa, ya, aku usahakan pulang cepat. Maaf, darling ... love you." Devinta mengecup kening Arkana lalu bergegas pergi meninggalkan kamar. Arkana mendengkus, ia memejamkan kedua mata. Terasa sepi walaupun televisi di kamar ia nyalakan. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, Deva juga sudah berangkat sekolah. Rasanya ia kesepian. Napas Arkana terasa hangat, sepertinya ia mu
Arkana meminta Risa tetap tinggal, sayangnya wanita itu hanga berekspresi datar dan tetap berjalan meninggalkan kamar mewah lelaki itu. Terdengar Arkana mendengkus, Risa tak acuh, ia tetap menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.Bu Sumi bilang, jika rasanya tak mungkin jika Risa melanjutkan rencana karena Devinta jauh lebih utama untuk dihancurkan. Rahasia Nadia anak Arkana tetap disembunyikan sementara. Setidaknya, mereka sudah membuat Arkana uring-uringan jika tak berdekatan dengan Nadia.Raka sendiri semakin hari semakin kuat untuk membalaskan kematian Rama, kakak yang begitu ia sayangi namun bodoh karena terlalu mencintai Devinta.Di tempat lain, Raka duduk termenung, ia sadari apa yang dilakukan terlampau nekat, tak peduli resikonya akan ia hadapi. Kedua tangannya saling menggenggam, dengan kedua siku menempel pada lengan kursi berbahan kulit mahal warna hitam pekat.Pemandangan di hadapan menunjukkan kokohnya bangunan bertingkat menjulang, Raka berdiri dari duduknya lalu