Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.
Tama setuju dengan pepatah tersebut. Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar. Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik. "Tama!" Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa." "Bagaimana keadaanmu?" "Seperti yang terlihat, aku baik." "Rumor tidak berbicara begitu." Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah tatapan penasaran beberapa siswa lain yang ikut melirik mereka dari kejauhan. "Ya, semoga saja kau tidak sarapan bunga pagi ini. Akan repot kalau sampai memuntahkannya di kelas." Raisa tertawa, menampilkan deretan gigi depannya yang kecil dan rapi. Tama menggeleng. "Aku memakannya agar terlihat selalu tampan." Senyum seringainya sukses membuat Raisa mendengus geli. "Tidak, sekarang aku serius. Apa yang terjadi? Maaf aku kemarin tidak bisa menunggumu sampai bangun dan bahkan aku tidak mendengar penjelasan dokter mengenai kondisimu." "Kau harus bekerja. Aku tau." Tama berusaha meredakan nada khawatir Raisa. Ia tidak ingin gadis itu merasa terbebani hanya karena dirinya. Sebenarnya, Tama tidak pernah berniat menyembunyikan penyakit yang perlahan menggerogotinya. Toh, cepat atau lambat semua akan terungkap, terutama bila ia kembali batuk bunga di tempat umum. Hanya saja, itu tidak berarti ia akan menceritakan semuanya pada Raisa. Lagipula… sejak kapan mereka sedekat ini? Setelah insiden ketika ia menyelamatkan Raisa dari gangguan Brian, gadis itu masuk ke dalam kelompoknya dan membaur begitu saja. “Aku baik-baik saja sekarang,” tambahnya singkat. Raisa mengangguk pelan. “Semoga begitu.” Mereka lalu melangkah bersama menuju kelas. *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ "Bagaimana dengan Vania?" Erwin mengusulkan nama seseorang ke dalam percakapan rahasia diantara mereka. Felisha bergumam. "Dia terlalu ramah pada siapa pun, aku rasa Tama tidak mungkin jatuh cinta padanya." "Mungkin saja, sekarang tidak ada yang tidak mungkin. Kita bahkan tidak tau kalau dia ternyata mencintai orang secara diam-diam, sebelum kemarin dia memuntahkan bunga." Erwin menyilangkan tangan ke dada. "Menurutku Safira. Seorang yang terbiasa dengan atensi orang-orang akan tertarik pada satu orang yang tersembunyi dan jauh dari perhatian orang-orang." Aldo mengangguk yakin dengan deduksinya. "Tama bahkan tidak mengenalnya, aku yakin." Felisha melambaikan tangan ke atas dan ke bawah menepis omongan Aldo yang terlalu banyak menonton drama. "Kalau begitu orangnya pasti Melodi! Populer, tinggi, pintar, dan yang terpenting dia cantik!" Erwin berseri-seri saat mengatakannya, sedikit membayangkan sosok Melodi yang sedang bersorak di pinggir lapangan sebagai salah satu dari cheerleaders. "Itu sih kau yang naksir." Kening Felisha berkerut. Matanya berotasi tampak bosan. "Semua yang punya mata juga akan menyukainya dengan sekali lihat,” Erwin mengangkat bahu, tidak merasa bersalah. “Bisakah kita kembali ke topik utama?” Aldo menghela napas, mencoba menarik kembali arah diskusi. "Menurut analisisku, seseorang seperti Tama, pastilah menyukai perempuan yang berani, berjiwa bebas, barbar. Seorang troublemaker seperti Astrid." Felisha menatap heran Aldo, dengan segala pemikirannya. Dia mendengus sebelum mengejek. "Aku khawatir mereka akan saling memukul jika menjalin kasih." "Jadi siapa? Apakah tidak ada siswi lain yang menonjol?" Erwin mengerang frustasi. "Mungkin guru matematika yang memiliki tu—" "Ah, singkirkan otak mesummu!" potong Felisha cepat, memukul lengan Aldo. Mengabaikan desisan kesakitan Aldo, Erwin mengusap dagu, berpikir."Biar kupikirkan, kalau aku jadi Tama, kira-kira siapa yang akan kusukai? Hm... aku tidak pernah melihatnya tertarik dengan perempuan. Kalau aku, bisanya aku menyukai perempuan yang cantik. " "Sayangnya perempuan yang cantik tidak menyukaimu." Felisha tersenyum menggoda. "Terimakasih atas informasinya. Untungnya kau juga tidak cantik,” balas Erwin enteng dengan senyum menyebalkan. “Apa maksudmu, dasar brengsek?!” Felisha menegakkan badan, siap melayangkan pukulan. “Ekhm.” Suara berat menyela. Mereka bertiga menoleh bersamaan. Tama berdiri di samping meja dengan ekspresi datar, tatapannya tajam seperti biasa. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Oh, Tama!" Aldo berseru, matanya membesar dramatis saat menyadari ada seseorang berjalan di sampingnya. “Dan… Raisa?!” Mereka bertiga segera merapat, membentuk lingkaran kecil yang hanya di isi Felisha, Aldo, dan Erwin. Mereka berbisik untuk mencegah orang lain mendengar pembicaraan ini. "Sudah kuduga. Orang itu Raisa." "Pasti Tama terlalu malu untuk mengakuinya kemarin." "Yang membuatku lebih terkejut, itu berarti Raisa tidak menyukai Tama?" "Aku kira Raisa yang menyukainya lebih dulu, ternyata tidak." Tama mengeraskan rahangnya, tangannya bercekak pinggang."Apa yang kalian bisikan di tempat dudukku?! Awas!" Aldo berdiri. "Jangan marah-marah terus. Hidupmu semakin pendek seperti sumbu." "Kau menyumpahiku?" Tama mendorong Aldo agar menyingkir dan duduk menggantikannya. Ketiga temannya masih mengepungnya, sedangkan Raisa sudah berjalan ke bangkunya sendiri. Aldo mengangkat bahu santai. “Tidak. Aku justru mengharapkan yang terbaik untuk kehidupanmu.” Erwin tiba-tiba merangkul pundak Tama dan mencondongkan kepala, nada suaranya diturunkan. “Sekarang jujur, yang kau sukai itu Raisa, kan?” Tama mendengus kesal, menunjukkan sikap defensif. “Kita sudah membahas ini kemarin.” Felisha menyilangkan tangan di dada, mencibir. "Tapi kau tidak jujur." "Raisa— “Apa?” Suara Raisa menyahut dari belakang, membuat mereka serempak terperanjat. Gadis itu berdiri dengan alis terangkat. “Aku mendengar namaku disebut.” "Raisa, sayang! Tama sedang sekarat dan hanya kau yang bisa menolongnya. Balas cintanya, hanya itu satu-satunya jalan." Felisha tiba-tiba memohon dengan mata memelas. "Eh?"Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya