Share

3. Cinta itu membuat sakit

Penulis: Lemonia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-21 16:33:19

Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya.

"Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."

Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.

Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?

Apakah dia sedang bermimpi sekarang?

Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”

"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.

Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.

Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya dia juga tidak percaya dengan apa yang menimpa adiknya. Ternyata penyakit seperti itu memang ada di dunia ini.

Di hadapan mereka, dokter yang sudah berusia setengah abad berdeham kecil. Garis halus di sekitar matanya tampak jelas saat ia menunduk sebentar, menata kalimat. "Perasaan manusia memang rumit,” ujarnya, nada suaranya penuh kesabaran. “Bahkan pemiliknya saja sering kali salah mengartikan. Kau memang masih muda, belum memahami dengan jelas arti cinta. Namun bukti adanya tumbuhan yang hidup pada paru-parumu, menandakan kau memiliki perasaan itu.”

Dengan ujung penanya, dia menunjuk layar monitor di samping meja. Bayangan samar menyerupai garis-garis halus terlihat pada struktur organ paru-paru, siluet tanaman yang cukup subur.

Tama mendengus kasar, lelah berdebat.

"Baiklah, terserah saja." Dia langsung merasakan senggolan lagi dari kakaknya.

"Apakah hanahaki ini, termasuk ke dalam penyakit yang mematikan?" Sang kakak, Lily, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya memberanikan diri bertanya. Suaranya lembut, penuh hormat, berbeda jauh dengan nada keras Tama.

Dokter dengan papan nama bertuliskan dr. Budi, Sp.P menautkan jemarinya di atas meja, menarik napas sebelum menjawab. "Penyakit Hanahaki memiliki empat stadium." Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi pasien dan keluarganya, sebelum melanjutkan. "Stadium pertama biasanya tidak disadari, karena gejalanya ringan, menyerupai flu atau batuk biasa. Namun, ketika kelopak bunga mulai rontok, itu menandakan penderita memasuki stadium kedua."

"Jadi... "

"Ya." Sahut dokter Budi membenarkan dugaan di kepala Lily. "Saudara Tama berada di stadium dua. Begitu bunga keluar secara utuh, itulah stadium ketiga. Jangan sampai memasuki stadium keempat karena tidak ada kasus selamat yang sudah mencapai tahap itu."

Ruangan menjadi hening, hanya terdengar detak jam dinding yang teratur. Tama menunduk, rahangnya mengeras. Lily melihatnya prihatin, sebelum akhirnya bertanya lagi. “Apakah tanaman itu bisa dihilangkan, Dok?”

“Bisa,” jawab dokter Budi dengan melihat ke arah Tama. "Namun pilihanmu terbatas. Kau dapat membasmi patologi tersebut dengan memberi tahu orang yang kau cintai, dan mendapat balasan cinta yang sama.”

"Sudah kubilang—" Tama segera menyela dengan nada tinggi, tapi kalimatnya langsung terpotong.

"Jika cara pertama tidak bisa maka pilihan terakhir dengan cara dioperasi." Dokter Budi menyandarkan punggung ke kursinya, matanya menatap dengan serius. "Operasi merupakan langkah yang paling tepat untuk mengangkat akar dari tanaman yang sudah tumbuh sampai berbunga."

"Itu terdengar praktis." Sudut bibir Tama terangkat naik, puas mendapat jalan keluar. Dia senang dan lega.

Namun, di sampingnya, Lily justru mengerutkan kening, jelas tidak sependapat.

"Namun, pilihan kedua memiliki resiko yang cukup besar."

"Praktis, namun berbahaya." Lily berbisik pada Tama dengan nada mengejek.

Tama memilih mengabaikannya. "Katakan padaku— Aduh!" serunya tertahan ketika Lily tiba-tiba menginjak kakinya dari bawah meja.

"Berbicaralah lebih sopan,” bisik Lily, kali ini penuh ancaman.

Dokter Budi tidak mengindahkan pertengkaran kecil di depan mejanya. Dengan wajah tetap tenang, dia kembali pada penjelasan mengenai penyakit hanahaki ini.

"Mengangkat tumbuhan itu secara paksa sama saja mengangkat perasaanmu. Kau akan lupa sepenuhnya."

“Apa? Apa yang akan kulupakan?" Kening Tama berkerut.

Melupakan segalanya terdengar mengerikan. Apakah ia akan menjadi idiot? Felisha pasti akan dengan mudah menipunya. Aldo… ya, Aldo akan senang membodohinya setiap saat. Sementara Erwin… tidak, Erwin tidak akan melakukan hal semacam itu. Dia yang paling dewasa di antara mereka.

“Orang yang kau cintai." Suara dokter Budi mengembalikan fokus Tama. "Kau tidak akan mencintainya lagi, Kau bahkan tidak akan mengingatnya. Kemungkinan kehilangan ingatan pada orang itu adalah sembilan puluh persen, kurang lebih.”

Ruangan kembali hening. Tama butuh waktu untuk mencerna kalimat terakhir dari penjelasan dokter Budi.

'Kau tidak akan mencintainya lagi.'

Tapi Tama memang tidak sedang mencintai siapa pun, kan? Kenapa dokter Budi berbicara seolah-olah hidup Tama sudah berakhir jika operasi itu dilakukan? Itu bagus dan Tama tidak keberatan sama sekali.

"Aku rasa, itu bukan masalah besar. Karena sudah kubilang sedari awal, 'orang yang aku cintai ini' tidak ada. Bahkan, jika aku lupa pada orang itu, aku tidak akan menyadarinya sama sekali."

"Kau yakin?" Lily memastikan. Tama mengangguk.

"Ada satu lagi yang harus saya sampaikan." Suara dokter Budi meminta perhatian. "Secara neurologis, ketika memori afektif terputus, otak cenderung menurunkan pelepasan dopamin maupun oksitosin. Akibatnya pasien kehilangan kehangatan emosional dan perlahan menjadi apatis."

"Apa?"

"Maaf dok, bisakah Anda menjelaskan dengan lebih sederhana?"

“Singkatnya, setelah operasi, saudara Tama mungkin tidak bisa merasakan hangatnya cinta lagi. Kau bisa tetap hidup, tapi hatimu akan terasa hampa.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   Bab 28. Bertengkar lagi

    Tama mengerutkan kening ketika menyadari betapa gugupnya gadis di depannya. Dinda menggosok-gosok tangannya pada rok seragamnya dengan cemas. Hal itu membuat Tama penasaran tentang apa yang membuat Dinda begitu khawatir untuk dibicarakan dengannya. Kalau tidak siap untuk bicara, untuk apa gadis itu meminta pertemuan dengannya?“Aku yakin ada sesuatu yang membuatmu mengundangku ke sini.”“Tapi aku tidak akan membuang waktuku hanya untuk menunggumu bicara. Mungkin lain kali.”“Tidak! Aku, aku harus mengatakan sekarang.”Tama diam, menunggunya melanjutkan.“Aku, sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lama. Beberapa kali ingin memendam sendiri, namun kau mengajakku mengobrol waktu itu, bersama teman-temanmu. Aku meresa sangat senang. Aku memberanikan diri untuk mengatakan padamu,” Dinda berhenti. Terdiam sangat lama.“Jadi?!” tanya Tama agak tidak sabar. Penantian ini membuatnya cemas, tetapi dia merasa sedikit bersalah ketika Dinda tersentak dan meremas kedua tangannya sendiri tampak

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   Bab 27. Dinda

    Udara pagi ini hangat. Sepertinya ramalan cuaca yang mengatakan akan ada badai hujan itu salah. Syukurlah, Raisa tidak akan kesulitan untuk berangkat ke tempat kerja kalau begitu. Apalagi hari ini ada perayaan ulang tahun di tempat kerjanya. Dia diharuskan datang lebih awal. Semoga saja kelas terakhir tidak mendadak menambah jam di luar jadwal.Langkah Raisa melambat ketika melihat seseorang mondar-mandir di depan kelasnya. Dia sepertinya sedang gugup, terlihat dari raut wajahnya.“Hai!” Raisa menghampirinya. “Kau mau menemui siapa? Aku bisa bantu panggilkan.”Orang yang Raisa tahu bernama Dinda, tersentak seolah tertangkap basah. Wajahnya yang sudah pucat kini memerah karena Malu. "Emm..." dia bimbang. Pandangannya langsung jatuh ke lantai. Kemudian, dia berusaha mencuri pandang ke dalam kelas, mencari seseorang.“Kau Dinda kan? Mau aku panggilkan seseorang di dalam kelas?” tawar Raisa. Dia sebenarnya ingin langsung masuk, tetapi meninggalkan Dinda begitu saja terasa tidak enak.Dind

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   Bab 26. Jurnal

    Setelah Tama mengantar Raisa, dia langsung menuju toko buku bekas yang diberitahu Felisha. Toko itu lumayan jauh dari tempat Raisa bekerja, dia harus memutar untuk sampai di sana. Tama langsung masuk ke dalam toko, dan disapa senang oleh seorang kakak yang berdiri dari balik meja kasir. "Hari ini pasti keberuntunganku. Senang mendapat lebih banyak pelanggan daripada kemarin," ujarnya sebelum mempersilahkan Tama masuk. Toko buku yang sepi ini membuat Tama langsung menemukan keberadaan Felisha dan Erwin. Tampaknya Aldo belum sampai. "Apa yang kalian temukan?" "Oh, akhirnya kau datang. Cepat, duduk sini." Felisha bersorak sambil menepuk kursi di sebelahnya. "Erwin menemukan ini. Lihat," dia mendorong buku itu, "buku analogi puisi, tapi yang paling menarik adalah tulisan tangan ini. Hampir setiap halaman kosong penuh dengan coretan yang bukan sekadar catatan." "Tulisan itu seperti jurnal kehidupan seseorang, lengkap dengan tanggal dan tahun," tambahnya "Ini di buat tahun 2015, sepu

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   Bab 25. Jangan tinggalkan teman kencanmu

    Suara tawa anak-anak memenuhi halaman panti asuhan. Bau matahari bercampur aroma tanah basah dari taman kecil di pojok halaman, memberi Tama kenangan ketika dia mengunjungi panti ini dulu. Sekelebat ingatan bermain bersama anak-anak panti sebayanya. Tapi dia tidak ingat bertemu Raisa kecil. Dia duduk di bangku kayu dibawah pohon yang rindang, menatap Raisa yang sedang membantu anak-anak membuat gelembung sabun. Mereka berlarian, menjerit kegirangan setiap kali gelembung pecah di udara.Raisa menoleh padanya. Melambai sambil tersenyum, pipinya merah karena panas.Tama tidak bisa mengalihkan pandangannya sejenak, sedikit terpukau. Raisa terlihat lebih cantik ketika tersenyum lebar seperti itu.Rasa geletik di tenggorokannya benar-benar mengganggu, Tama berdeham dan satu kelopak tersangkut di langit-langit mulutnya. Tama terkejut betapa mudahnya itu, biasanya dia harus menggunakan tenaga untuk mengeluarkannya.Dia mengambil kelopak itu dari mulutnya. Menatap kelopak warna merah muda itu

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   24. Apa benar begitu?

    Keduanya kemudian memeriksa buku yang dibawa kakek tadi. Felisha membaca judul buku pertama, “Bahasa Rahasia Bunga.” Sampulnya merah marun dengan gambar berbagai bunga yang disatukan. Melewati kata pengantar dan daftar isi, yang dibahas pertama adalah bunga anggrek (orchid) dan makna simbolik bunga tersebut. Bunga anggrek bulan; Kemurnian, Keindahan, Keanggunan. Anggrek Bulan dikenal dengan bunga yang besar dan indah, biasanya berwarna putih atau ungu muda. Dalam budaya Asia, bunga ini melambangkan kemurnian dan keanggunan yang mendalam. 'Hm? Hanya begitu saja? Tidak dijelaskan secara personifikasi bunganya.' Sedangkan Erwin mengambil yang kedua, “Herbarium.” Berisi gambar-gambar bunga yang sudah diawetkan. Merasa tidak membutuhkan ini, dia meraih buku terakhir dari sang kakek. Yang terakhir berjudul “Mitos dan Legenda dari Timur.” Erwin mengerjap pelan, 'Mitos dan legenda, ya? Mungkin saja Hanahaki juga termasuk di dalamny

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   23. Mencari informasi penting

    Felisha menatap sekeliling. Di dalam toko yang nyaris runtuh ini, terdapat rak-rak menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Sebagian tampak miring, menandakan sudah terlalu lama bertahan mengemban beban. Erwin mendekat ke salah satu rak dan mengusap punggung buku yang warnanya sudah pudar. Debu menempel di ujung jarinya. Sang kakek terkekeh kecil. “Toko ini sudah berdiri sangat lama. Lebih tua dari umur kalian. Dulu tempat ini hanyalah gudang buku yang tak terpakai. Kupikir, daripada menumpuk dan dilupakan, lebih baik dijual saja,” ujarnya dengan bangga. Felisha menatap langit-langit kayu yang retak. "Ya, tapi apakah tempat ini tidak pernah direnovasi? Bisa berbahaya kalau sampai rubuh kek." Erwin berdeham untuk memperingatkan Felisha untuk menjaga kata-matanya. "Aku minta maaf," kata Felisha sembari membungkuk. Sang kakek malah tertawa, bahunya sedikit bergetar. “Tidak apa-apa, Nak. Ak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status