Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya.
"Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu." Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal. Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya? Apakah dia sedang bermimpi sekarang? Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—” "Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata. Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya. Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya dia juga tidak percaya dengan apa yang menimpa adiknya. Ternyata penyakit seperti itu memang ada di dunia ini. Di hadapan mereka, dokter yang sudah berusia setengah abad berdeham kecil. Garis halus di sekitar matanya tampak jelas saat ia menunduk sebentar, menata kalimat. "Perasaan manusia memang rumit,” ujarnya, nada suaranya penuh kesabaran. “Bahkan pemiliknya saja sering kali salah mengartikan. Kau memang masih muda, belum memahami dengan jelas arti cinta. Namun bukti adanya tumbuhan yang hidup pada paru-parumu, menandakan kau memiliki perasaan itu.” Dengan ujung penanya, dia menunjuk layar monitor di samping meja. Bayangan samar menyerupai garis-garis halus terlihat pada struktur organ paru-paru, siluet tanaman yang cukup subur. Tama mendengus kasar, lelah berdebat. "Baiklah, terserah saja." Dia langsung merasakan senggolan lagi dari kakaknya. "Apakah hanahaki ini, termasuk ke dalam penyakit yang mematikan?" Sang kakak, Lily, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya memberanikan diri bertanya. Suaranya lembut, penuh hormat, berbeda jauh dengan nada keras Tama. Dokter dengan papan nama bertuliskan dr. Budi, Sp.P menautkan jemarinya di atas meja, menarik napas sebelum menjawab. "Penyakit Hanahaki memiliki empat stadium." Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi pasien dan keluarganya, sebelum melanjutkan. "Stadium pertama biasanya tidak disadari, karena gejalanya ringan, menyerupai flu atau batuk biasa. Namun, ketika kelopak bunga mulai rontok, itu menandakan penderita memasuki stadium kedua." "Jadi... " "Ya." Sahut dokter Budi membenarkan dugaan di kepala Lily. "Saudara Tama berada di stadium dua. Begitu bunga keluar secara utuh, itulah stadium ketiga. Jangan sampai memasuki stadium keempat karena tidak ada kasus selamat yang sudah mencapai tahap itu." Ruangan menjadi hening, hanya terdengar detak jam dinding yang teratur. Tama menunduk, rahangnya mengeras. Lily melihatnya prihatin, sebelum akhirnya bertanya lagi. “Apakah tanaman itu bisa dihilangkan, Dok?” “Bisa,” jawab dokter Budi dengan melihat ke arah Tama. "Namun pilihanmu terbatas. Kau dapat membasmi patologi tersebut dengan memberi tahu orang yang kau cintai, dan mendapat balasan cinta yang sama.” "Sudah kubilang—" Tama segera menyela dengan nada tinggi, tapi kalimatnya langsung terpotong. "Jika cara pertama tidak bisa maka pilihan terakhir dengan cara dioperasi." Dokter Budi menyandarkan punggung ke kursinya, matanya menatap dengan serius. "Operasi merupakan langkah yang paling tepat untuk mengangkat akar dari tanaman yang sudah tumbuh sampai berbunga." "Itu terdengar praktis." Sudut bibir Tama terangkat naik, puas mendapat jalan keluar. Dia senang dan lega. Namun, di sampingnya, Lily justru mengerutkan kening, jelas tidak sependapat. "Namun, pilihan kedua memiliki resiko yang cukup besar." "Praktis, namun berbahaya." Lily berbisik pada Tama dengan nada mengejek. Tama memilih mengabaikannya. "Katakan padaku— Aduh!" serunya tertahan ketika Lily tiba-tiba menginjak kakinya dari bawah meja. "Berbicaralah lebih sopan,” bisik Lily, kali ini penuh ancaman. Dokter Budi tidak mengindahkan pertengkaran kecil di depan mejanya. Dengan wajah tetap tenang, dia kembali pada penjelasan mengenai penyakit hanahaki ini. "Mengangkat tumbuhan itu secara paksa sama saja mengangkat perasaanmu. Kau akan lupa sepenuhnya." “Apa? Apa yang akan kulupakan?" Kening Tama berkerut. Melupakan segalanya terdengar mengerikan. Apakah ia akan menjadi idiot? Felisha pasti akan dengan mudah menipunya. Aldo… ya, Aldo akan senang membodohinya setiap saat. Sementara Erwin… tidak, Erwin tidak akan melakukan hal semacam itu. Dia yang paling dewasa di antara mereka. “Orang yang kau cintai." Suara dokter Budi mengembalikan fokus Tama. "Kau tidak akan mencintainya lagi, Kau bahkan tidak akan mengingatnya. Kemungkinan kehilangan ingatan pada orang itu adalah sembilan puluh persen, kurang lebih.” Ruangan kembali hening. Tama butuh waktu untuk mencerna kalimat terakhir dari penjelasan dokter Budi. 'Kau tidak akan mencintainya lagi.' Tapi Tama memang tidak sedang mencintai siapa pun, kan? Kenapa dokter Budi berbicara seolah-olah hidup Tama sudah berakhir jika operasi itu dilakukan? Itu bagus dan Tama tidak keberatan sama sekali. "Aku rasa, itu bukan masalah besar. Karena sudah kubilang sedari awal, 'orang yang aku cintai ini' tidak ada. Bahkan, jika aku lupa pada orang itu, aku tidak akan menyadarinya sama sekali." "Kau yakin?" Lily memastikan. Tama mengangguk. "Ada satu lagi yang harus saya sampaikan." Suara dokter Budi meminta perhatian. "Secara neurologis, ketika memori afektif terputus, otak cenderung menurunkan pelepasan dopamin maupun oksitosin. Akibatnya pasien kehilangan kehangatan emosional dan perlahan menjadi apatis." "Apa?" "Maaf dok, bisakah Anda menjelaskan dengan lebih sederhana?" “Singkatnya, setelah operasi, saudara Tama mungkin tidak bisa merasakan hangatnya cinta lagi. Kau bisa tetap hidup, tapi hatimu akan terasa hampa.”Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya