Share

Fakta

Jangan ucapkan cinta jika hati tak selaras dengan perbuatanmu. Aku bisa apa ketika hati mulai membeku

---------------------

"Kamu siap-siap, ya. Sebentar lagi Mas jemput," pesan Adrian membuat senyum melengkung di bibir Hanum.

Sejak hari di mana laki-laki itu berjanji akan adil padanya dan Amelia, Adrian kembali menghujaninya dengan perhatian. Mengirimi pesan meski hanya untuk menanyakan keadaannya.

Adrian mendatangi tiga hari dalam seminggu, selebihnya waktu untuk Amelia dan putri mereka.

Bohong jika Hanum berkata dia baik-baik saja. Jauh di palung hati ada luka yang terus berdarah membayangkan lelakinya memeluk wanita lain bahkan memiliki anak dari wanita tersebut. Teranglah bagi Hanum alasan menghilangnya Amelia empat tahun yang lalu. Dia tidak pernah mengira mereka tega mengkhianati dirinya.

Jika memperturutkan ego dan sakit hati, ingin sekali memaki Amelia, mempertanyakan alasan wanita itu menjadi duri dalam rumah tangganya. Ingin rasanya menuntut Adrian dan membiarkan keduanya membusuk di penjara karena telah memalsukan tanda-tangannya.

Namun, cinta untuk laki-laki itu tertanam kuat di dalam hati hingga Hanum memilih berdamai dengan keadaan. Toh, tidak akan mengubah masa lalu jika dia mengamuk atau terus terpuruk. Itu semua hanya akan membuat dia semakin terlihat menyedihkan

Deru mobil Adrian terdengar memasuki halaman rumah. Hanum yang sedang duduk di meja rias membenahi penampilannya sejenak. Gaun terusan di bawah lutut berwarna biru muda menjadi pilihannya sore itu. Rambut panjangnya di ikat ekor kuda memperlihatkan leher putih dan mulus miliknya.

Terdengar salam dari luar. Gegas wanita itu berjalan menghampiri Adrian yang kini sudah duduk di atas sofa yang ada di ruang tamu.

"Mas," sapa Hanum meraih tangan Adrian dan menciumnya.

Adrian tersenyum. Menarik lembut tubuh Hanum duduk di pangkuannya.

"Kamu cantik banget," pujinya, mata laki-laki itu terus memandangi wajah Hanum yang dijalari rona merah dengan mata berbinar.

"Mas ini ...." Hanum memalingkan wajah. Jantungnya berdebar tidak keruan. Selalu saja begitu jika dia berdekatan dengan Adrian meski mereka bukan lagi pengantin baru.

"Mas mau makan dulu?" tanyanya mengalihkan perhatian Adrian yang kini menatapnya dengan sorot berbeda. Jelas Hanum paham apa yang diinginkan lelakinya, tapi ia berpura-pura tidak tahu.

"Mas pingin makan yang lain aja," bisiknya serak.

Hanum mengerucutkan bibirnya. "Trus jalan-jalannya gimana?" rajuknya.

Adrian tertawa kecil sambil mencubit hidung bangir Hanum gemas. "Ini masih sore, Sayang. Satu ronde aja, habis itu kita makan di luar," rayunya. Hanum tak bisa mengelak. Bukankah itu hak suaminya dan pahala baginya. Sore itu mereka habiskan seperti remaja yang sedang kasmaran. Berbagi cinta dan rasa yang mereka punya.

*

"Kamu mau makan di mana?" tanya Adrian lembut, matanya fokus memperhatikan jalan raya.

"Terserah Mas aja," balas Hanum. Senyumnya merekah seperti mentari di pagi hari. Bayangan percintaan mereka tadi sore masih membekas di ingatan membuat pipinya panas karena malu. Rasanya sudah lama Adrian tidak memperlakukannya semanis itu.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Ada yang lucu?" tanya Adrian ingin tahu melirik Hanum sekilas.

Hanum menggeleng.

"Nggak Mas. Cuma aku senang banget. Rasanya sudah lama aku nggak lihat kamu serileks ini," jawabnya memandang pria itu lembut.

Adrian mengembuskan perlahan, lalu meraih tangan Hanum dan menggenggamnya erat.

"Maaf ya, Sayang. Aku sering mengabaikanmu. Nggak gampang merahasiakan semua ini. Setiap kali melihatmu aku selalu merasa bersalah," ujarnya murung.

Hanum bergeming. Ingin rasanya menanyakan alasan pria itu menduakannya, tetapi dia tak ingin merusak suasana yang mulai mencair. Hanum memilih mengabaikan perasaannya dan menunggu waktu yang tepat.

Dering ponsel Adrian memecah konsentrasinya. Meraih benda pipih itu dari atas dashboard mobil dan melihat nama pemanggil yang tampil di layar 7" inci tersebut. Wajah laki-laki itu menegang, melirik Hanum sekilas.

"Siapa yang telpon Mas?" tanya Hanum. Hatinya mendadak resah melihat ekspresi Adrian.

"Em ... ini, Amelia yang telpon. Kuangkat sebentar, ya?" ucapnya meminta persetujuan Hanum. Wanita itu hanya mengangguk.

"Hallo ..."

"..."

"Tapi aku lagi di jalan sama Hanum."

"..."

"Ya, sudah. Aku pulang sekarang."

Terdengar desahan dari mulut Adrian. Laki-laki itu terlihat gelisah. "Sayang, tadi Amelia. Aku ..."

"Nggak papa, Mas. Kita pulang aja," ucap Hanum pelan, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya berdenyut nyeri.

"Maaf. Besok aku janji bakal temenin kamu semalaman." Janji Adrian, lalu mengecup jemari wanita itu.

Hanum hanya mengangguk lemah, lalu memalingkan wajah menatap keluar jendela mobil. Pandangannya nanar terhalang air mata yang mulai menggenang. Cepat dia mengelapnya, tak ingin Adrian tahu betapa hatinya sangat terluka.

Sepanjang perjalanan pulang hanya hening yang menemani. Berkali- kali Adrian mencuri pandang ke arah Hanum. Bahu wanita itu bergetar. Dia tahu Hanum menangis dan itu menyakitinya, tetapi Adrian tak tahu harus melakukan apa. Luka yang diberikan kepada wanita itu terlalu dalam.

Adrian sadar dia lelaki brengsek yang tamak. Menginginkan cinta dan juga harta. Dia merasa Hanum hanya butuh waktu menerima kenyataan ini. Perlahan luka itu akan sembuh dan mereka akan kembali seperti dulu.

*

Janji yang diucap Adrian hanya pemanis di bibir saja. Sungguh pandai lelaki itu melambungkan hatinya hanya untuk diempaskan kembali. Sehari, dua hari bahkan hampir seminggu tak ada kabar. Ingin rasanya Hanum menghubungi pria itu, tapi hati kecilnya berkata, 'jangan.'

Hingga hari ini Adrian memintanya datang menemuinya disebuah restoran. Lelaki itu bermaksud mengajaknya makan siang bersama. Mengenakan jeans berwarna telur asin dan kemeja putih, penampilan Hanum terlihat santai dan manis. Wanita itu memilih aplikasi online khusus sepeda motor.

Lima belas menit kemudian dia sampai di tempat Adrian menunggu.

Dengan hati berbunga wanita itu melangkah masuk ke dalam. Mengedarkan pandangan dan melihat Adrian melambaikan tangan padanya dengan senyum mengembang.

"Maaf, Mas. Lama ya, nunggunya?" tanya Hanum begitu duduk di samping Adrian.

Laki-laki itu menggeleng.

"Nunggu wanita cantik lama juga ngga masalah," jawabnya sambil mengerling membuat Hanum tersipu.

"Udah deh gombalnya. Udah laper ini," ucap Hanum mengalihkan perhatian Adrian.

''Adrian tertawa.

"Iya, aku udah pesan tadi. Bentar lagi datang."

Tak lama seorang pelayan datang mengantarkan pesanan laki-laki itu. Mata Hanum berbinar melihat makanan yang dihidangkan di atas meja. Kepiting asam-manis, udang tepung mayonaise, tumis kangkung belacan dan gulai ikan kakap mampu membuat air liurnya menetes.

"Mas, ini nggak salah? Banyak amat," bisik Hanum membuat Adrian mengacak rambut istrinya gemas.

"Udah makan aja, kalau kurang nanti aku tambah."

Mata Hanum melebar.

"Kurang? Ini kebanyakan. Nanti dibungkus aja kalau berlebih, ya?" balasnya polos.

Lagi-lagi Adrian tersenyum miris melihat kepolosan istrinya. Memang Adrian jarang sekali membawa Hanum makan di restoran seperti ini. Pernikahan mereka tidak direstui orang tuanya hingga mereka harus merasakan kerasnya hidup dan serba kekurangan.

Dulu Adrian hanya mampu menyewa sebuah kamar kos bagi mereka berdua. Untuk mandi mereka harus antri dengan penghuni rumah kos lainnya. Sudah banyak lamaran dikirimkannya, tapi tak satu pun perusahaan mau menerima meski dia lulusan sarjana ekonomi dengan nilai terbaik. Pengaruh sang ayahlah yang membuat banyak perusahaan memasukkan nama Adrian ke dalam blacklist pencari kerja.

Satu tahun berlalu, Adrian tak tahan lagi. Kehidupan mewah yang dulu dinikmati seolah-olah memanggilnya kembali, hingga laki-laki itu menyerah dan menggadaikan cintanya pada sang ayah. Sayangnya, untuk bisa kembali bekerja di perusahaan, Adrian harus menikah lagi dengan pilihan kedua orang tuanya. Berat, tetapi dia juga tak sanggup hidup miskin.

Dihina dan dipandang rendah orang lain. Dia menerima dan menikah dengan wanita yang sialnya adalah sahabat Hanum sendiri.

.

.

"Lho, Pak Adrian?" tegur seorang pria paruh baya menghamburkan lamunan laki-laki itu.

"Pak Ardi," sapa Adrian sopan.

"Makan siang di sini juga?" tanya laki-laki itu lagi.

Adrian mengangguk, melirik sekilas ke arah Hanum yang tengah mencicipi udang tepungnya.

"Ini siapa?" tanya laki-laki itu menatap Hanum dengan dahi berkerut.

Adrian terlihat gugup, gerakan tubuhnya gelisah.

"Em, ini ... sepupu saya," jawabnya terbata, sukses membuat Hanum tersedak.

"Oo, ya sudah. Kalau begitu saya pamit dulu. Titip salam buat istrinya, ya. Jangan lupa besok malam pertemuan klub, bawa Amelia. Istri saya udah kangen katanya.

Adrian hanya mengangguk ketika laki-laki itu pamit dan menjauh. Dia melirik Hanum.yang terdiam. Terlihat bulir bening di kelopak matanya.

"Sayang ... aku bisa jelaskan."

Hanum menggeleng lemah.

"Aku mau pulang ..." lirihnya sendu.

"Tapi kamu belum makan?"

"Aku nggak lapar."

"Aku antar," ucap Adrian pelan sarat rasa bersalah di nada suaranya.

Hanum hanya diam. Rasanya dia tak punya daya untuk menolak. Lagi dan lagi, Adrian memberinya luka tak kasat mata, tapi sakitnya terasa menikam ke dalam dada.

.

.

"Sejak menikah dengan Amelia, aku selalu membawanya ke jamuan bisnis atau pertemuan klub. Itu semua atas permintaan Papa. Akan terlihat aneh jika aku membawa wanita yang berbeda. Selain itu Papa mengancam akan menarik posisiku jika memperlihatkanmu di depan relasi bisnis kami," jelas Adrian. Saat ini mereka ada di ruang tamu kontrakan Hanum. Sorot matanya sendu penuh penyesalan.

Hanum bergeming. Jelaslah sudah mengapa laki-laki itu tak pernah menunjukkan di mana dia bekerja atau sekadar mengajaknya berjalan-jalan keluar.

Adrian selalu beralasan sibuk. Yah, dia sibuk menghabiskan waktu dengan keluarga barunya dan Hanum seperti orang bodoh percaya begitu saja. Semua itu untuk menyembunyikan kecurangannya selama ini.

Adrian resah melihat Hanum hanya diam. Dia berlutut di depan wanita itu, menggenggam jemarinya erat.

"Sayang. Aku tahu kamu kecewa, tapi kumohon mengertilah. Aku tidak berdaya," lirihnya.

Hanum tersenyum sinis.

"Tidak berdaya?! Hah, kurang apa pengertianku padamu, Mas? Aku menyalahi prinsipku sendiri, memaafkan pengkhianatanmu, melupakan semua dusta yang kau lakukan, tapi, apa balasanmu?! Aku istrimu, Mas. Bukan selingkuhan yang harus kau sembunyikan!" jeritnya. Dia menangis, rasanya tak sanggup lebih lama lagi menahan perih di dada.

"Hanum, aku ..."

"Pergilah, Mas ... aku ingin sendiri," isak Hanum pelan, lalu beranjak ke dalam kamar.

Adrian hanya mematung menatap punggung rapuh istrinya yang perlahan menjauh. Harusnya dia menyusul Hanum ke kamar, membujuk dan menenangkan hatinya, tetapi otak Adrian seolah-olah beku, lidahnya pun kelu.

Rasanya tak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain memberi ruang untuk Hanum menenangkan diri. Sebelum melangkah dia Memandangi pintu kamar yang tertutup rapat. Menghela napas, menyakinkan diri sendiri bahwa Hanum akan baik-baik saja.

Tak berapa lama terdengar suara mobil Adrian menjauh. Terdengar tangis pilu dari arah kamar. Hanum meraung, melepaskan sesak yang membekap hatinya. Tidak pernah dia merasa sesakit ini.

Hanum memukuli dadanya yang terasa ngilu, berharap rasa itu berkurang. Lelah menangis wanita itu tertidur dengan lelehan air mata di pipi.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu terlalu bodoh Hanum udah jelas2 Adryan g membutuh kn kmu dn dh nganggap kmu sebagai istri nya kmu masi mau bertahan .kmu bodoh .Adryan cuma butuh harta g butuh cinta kmu ..dh kmu pergi hauh .se jauh2 nya kmu cari kerja sendiri jangsn nyakutin hati terus ..
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mati ajalah kau num. percuma kau meraung2 klu msh tetap bertahan. sadar diri itu penting. jgn nodoh melebihi binatang. betah banget menyakiti diri sendiri. udah diperlakukan seperti simpanan dan hidup juga msh miskin. kau wanita dungu,lemot dan dilahirkan utk dihina??? makan tu cinta kau njing
goodnovel comment avatar
Tati Rohaeti
ceritanya cukup menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status