Petir menggelegar, suaranya seperti raungan raksasa yang tengah marah, sementara mentari bersembunyi di balik mega yang sekelam malam. Ditingkahi kilat yang seolah-olah ingin membakar apa saja yang bisa disentuhnya. Langit pun ikut serta menurunkan titik-titik air menghujam jatuh ke bumi, dia berduka.
Ketika orang-orang berlari menghindari derasnya hujan, Hanum seakan menikmati jarum-jarum basah itu menusuk tubuh ringkihnya. Dia sakit, bukan raga melainkan hatinya. Dia menekan dada yang terasa nyeri. Saat ini Hanum memilih matanya buta hingga tidak perlu melihat adegan yang mengiris hati.Harusnya dia mengabaikan firasat buruk yang mendera sejak pagi, hingga tak perlu melihat pengkhianatan di depan mata. Harusnya dia duduk diam di rumah menunggu Adrian-suaminya- pulang. Hingga tak perlu melihat laki-laki itu memeluk seorang batita dan tertawa bahagia bersama Amelia yang sialnya adalah sahabatnya sendiri.Hanum yang malang.Inilah jawaban atas lirih doa-doanya. Tuhan menuntun kaki Hanum ke rumah yang tak pernah didatangi sejak mereka menikah. Bukan tak mau, tetapi orang tua Adrian tidak pernah sudi menerimanya sebagai menantu. Hanum gadis yatim-piatu yang tak jelas asal-usulnya dianggap tak sepadan dengan Adrian yang keturunan ningrat.Kaki ramping Hanum berjalan tertatih membelah jalanan yang mulai tergenang. Tak dipedulikan banyak pasang mata yang menatap heran, seakan bertanya mengapa dia menerobos hujan sederas itu. Mereka tidak pernah tahu luka di hatinya. Tak ada yang tahu air matanya mengalir deras tersamar hujan. Andai kematian itu indah, mungkin dia rela menggadaikan nyawanya agar tidak merasakan perihnya sayatan luka.Tarikan di lengannya memaksa Hanum berbalik. Matanya menangkap sosok Adrian yang berdiri menyorot sendu. Sekejap mereka saling pandang di bawah hujan dengan kilat kesedihan di mata keduanya. Namun, kilasan pengkhianatan Adrian lebih dulu menyentak kesadaran Hanum. Dia menepis tangan laki-laki itu, tetapi Adrian terlalu keras kepala. Dia kembali mengejar wanita yang telah dihancurkan hatinya."Hanum, dengarkan penjelasanku dulu," pinta Adrian di antara derasnya hujan.Hanum menulikan diri, terseok-seok melangkah dengan sisa kekuatannya.Adrian menghadang, mencengkeram bahu wanita yang lima tahun ini mendampinginya."Hanum, aku mengaku salah, tapi kumohon dengarkan penjelasanku," lagi, laki-laki itu memohon dengan wajah memelas.Hanum tersenyum getir. "Tidak perlu menjelaskan apa pun. Apa yang kulihat adalah kenyataan. Mas menyangkal itu sekarang?" tanyanya, tak dipedulikan tubuhnya yang kuyup. Hati wanita itu membara, bahkan hujan tak mampu mendinginkannya.Adrian mengusap air di wajahnya, dia terlihat frustasi. "Tidak. Aku memang menikahi Amelia dan itu memang putriku, tapi aku juga sangat mencintaimu. Kumohon keikhlasanmu menerima ini. Aku berjanji akan adil," ucapnya menghiba.Hanum menggeleng, dia surut satu langkah. "Tidak! Kau tahu bagaimana aku, Mas. Cintaku terlalu dalam. Berbagi jarak saja aku tak mampu apalagi berbagi hati. Jangan kejam ...," rintihnya pilu.Adrian maju menangkup wajah wanita bermata bening itu."Jangan tinggalkan aku. Jangan pernah meminta berpisah dariku. Aku berjanji akan adil padamu dan Amelia," pinta Adrian cepat, lalu memeluk tubuh mungil Hanum dalam dekapannya.Wanita itu terlalu lelah menolak. Terlalu banyak luka yang menyapa. Adrian, laki-laki tu menggadaikan kepercayaannya, menakar cintanya dengan harta. Hanum benci dirinya yang lemah. Di satu sisi dia pantang dikhianati, tetapi sisi hatinya yang lain begitu memuja laki-laki itu. Pada akhirnya dia memilih melihat kesanggupan Adrian memegang janji.Hanum pasrah pada kenyataan yang tak bisa diubah. Mungkin inilah takdir Tuhan untuknya. Skenario hidupnya telah ditulis, dia tinggal menjalani hingga akhir.Jangan ucapkan cinta jika hati tak selaras dengan perbuatanmu. Aku bisa apa ketika hati mulai membeku---------------------"Kamu siap-siap, ya. Sebentar lagi Mas jemput," pesan Adrian membuat senyum melengkung di bibir Hanum. Sejak hari di mana laki-laki itu berjanji akan adil padanya dan Amelia, Adrian kembali menghujaninya dengan perhatian. Mengirimi pesan meski hanya untuk menanyakan keadaannya.Adrian mendatangi tiga hari dalam seminggu, selebihnya waktu untuk Amelia dan putri mereka. Bohong jika Hanum berkata dia baik-baik saja. Jauh di palung hati ada luka yang terus berdarah membayangkan lelakinya memeluk wanita lain bahkan memiliki anak dari wanita tersebut. Teranglah bagi Hanum alasan menghilangnya Amelia empat tahun yang lalu. Dia tidak pernah mengira mereka tega mengkhianati dirinya. Jika memperturutkan ego dan sakit hati, ingin sekali memaki Amelia, mempertanyakan alasan wanita itu menjadi duri dalam rumah tangganya. Ingin rasanya menuntut Adrian dan membiarkan keduany
Bisakah sekali saja menyelami hatiku? Lihat seberapa parah kau menyakiti.Bisakah sebentar saja kau menjuntai iba atas perih yang kuelu ...?---------------------Tidak ada yang berubah dalam hidup Hanum. Adrian masih sering berkunjung. Kini laki-laki itu tidak perlu berbohong setiap kali bertanya mengapa dia lebih sering tidur di rumah orang tuanya. Dulu Adrian selalu memberi alasan jika jarak kantornya lebih dekat ke sana dari pada ke kontrakan mereka. Munafik jika wanita itu tidak sakit hati. Amelia bukan orang asing bagi mereka berdua. Wanita blasteran Inggris itu sahabat sejak dia duduk di bangku SMA. Amelialah tempatnya berbagi keluh-kesah tentang orang tua Adrian, tentang hubungan mereka. Hingga detik ini Hanum masih berharap semua hanya mimpi, tetapi takdir tak berpihak padanya. Dia tidak mengerti mengapa keduanya tega menikam dari belakang.Entah sejak kapan cinta mereka tidak lagi bertahta di hati laki-laki berkulit putih itu. Sekarang Hanum sadar, semua tegur sapa dan kepu
Bukankah cinta itu membahagiakan?Lalu mengapa hanya perih yang kurasa.--------------------Terik mentari membuat Hanum melindungi wajahnya dengan map yang berisi CV. dan copyan ijazahnya. Satu bulan sudah dia mencoba mencari pekerjaan. Bukan karena kesulitan financial. Adrian rutin mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya setiap bulan. Laki-laki itu tidak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Setiap pulang Adrian selalu sibuk dengan laptop dan ponselnya. Hanum seperti pajangan yang hanya diam menunggui laki-laki itu bekerja. Semakin lama mereka semakin jauh. Setiap Hanum mencoba mendekat, Adrian selalu menghindar, seolah-olah membentangkan jarak tak kasat mata di antara mereka. Sakit ... tentu saja, tetapi dia bisa apa. Berkali Hanum mencoba bicara padanya. Namun, Adrian seakan menulikan telinga. Wanita itu ada, tetapi tak terlihat di mata laki-laki tersebut.*"Maaf, Mbak. Di sini yang ada cuma lowongan buat cleaning service.""Cleaning service?" Hanum membeo. Dia mengerutkan da
Kau datang diam-diam. Menyusup dan perlahan bertahta.Tapi sayang hatiku telah mati rasa.-----------------------"Pikirkan lagi. Sekali kau melangkah ke luar jangan harap bisa kembali.""Aku tidak tahu apa yang membuatku dulu jatuh cinta padamu, menyesal mencintaimu begitu dalam, tapi pergi dari hidupmu tidak akan pernah kusesali.".."Mulai bulan ini gajimu saya potong dua per tiga.""Dua per tiga? Memangnya kenapa, Buk?""Kamu ngga amnesia 'kan? Bulan lalu membuat kekacauan di pesta ultah perusahaan? Kamu pikir ganti gaunnya Nyonya Martha pakai duit siapa? Ya punya perusahaan. Jadi gaji kamu dipotong selama satu tahun."..Hanum termenung. Percakapan terakhirnya dengan Adrian menghancurkan semua rasa yang dia punya. Dia mati rasa. Begitu pun ancaman Buk Ratna terngiang di telinga. Dua per tiga dari gajinya sangat besar, apalagi selama setahun. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan sampai waktu setahun itu selesai. Hanum mendesah membayangkan hidupnya tidak akan m
'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'-------------------------Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya."Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya."Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan."Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu m
'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'------------------------------"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu.""M-maksud Bapak?!""Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku.""Maaf, saya tidak-""Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."..Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya. Hanum membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah t
'Tatap mataku dan tanyakan hatimu. Apa ada cinta di sana?Karna diamku bukan segalanya.'---------------------Hanum mendongak ketika sehelai selimut dibentangkan menutupi tubuhnya. Tatapannya beradu dengan iris kelam Alex. Laki-laki itu mengukir senyum di wajah rupawannya yang menular kepada Hanum."Apa kau siap bercerita?" tanyanya duduk di sebelah Hanum menikmati udara malam dari balkon kamar wanita itu.Hanum terdiam. Tatapannya lurus ke depan seolah menimbang perlu tidaknya menyibak tirai masa lalu yang gelap. Semilir angin malam menerbangkan anak rambut yang keluar dari cepolannya, membuat Alex tidak tahan menyentuh surai hitam itu, dan menyelipkan ke belakang telinga Hanum.Dia beringsut lebih dekat, merengkuh bahu Hanum lebih rapat. "Aku tidak memaksa. Seburuk apa pun masa lalumu tidak akan mengubah perasaanku," ujarnya lembut, membuat haru menyelimuti dada Hanum.Hanum berdehem, melonggarkan tenggorakannya yang terasa mencekik. Butuh kekuatan lebih untuk menuturkan kisah hid
'Tak ada yang lebih sakit ketika mencinta dalam diam. Melihat dari kejauhan tanpa bisa mengungkapkan.'--------------------------Alex bangun dengan rasa sakit menyerang kepalanya. Meremas rambutnya sekadar menghilangkan pusing yang mendera. Aroma vanila membuat dahinya berkerut. Mengangkat kepala, lalu mengerang ketika menyadari ini bukan kamarnya.Dia mencoba mengumpulkan keping ingatan yang hilang semalam. Alicia ... wanita itu merengek ingin ditemani untuk mengenang masa lalu. Mereka menghabiskan malam di apartemen wanita itu, bercerita dan minum hingga mabuk. Alex refleks melihat tubuhnya sendiri, mengembuskan napas lega mendapati dia masih berpakaian lengkap. "Tidak terjadi apa-apa, meski aku mengharapkannya," suara Alicia membuat Alex mengangkat wajahnya. Wanita itu mendekat ke arahnya membawa nampan yang berisi secangkir kopi."Terima kasih," ucap Alex menerima cangkir yang disodorkan Alicia, lalu berdecak nikmat ketika cairan hitam itu membasahi kerongkongannya.Alicia men