Share

5. Merasa Ragu

Jam weker di meja belajar Novi sudah menunjuk di angka 22.45 wib, dari ketiga anak Bu Hartatik hanya Nayla yang masih terjaga. Ia tidak dapat tidur, sudah mendengarkan radio favorit seperti biasa juga sama, tak kunjung bisa tidur, apa karena bukan pacar penyiarnya ya yang siaran? Entahlah.

Bolak-balik mengubah posisi tidur juga sama, berkali-kali memejamkan mata sembari melantunkan sholawat juga tidak ngefek yang ada justru tambah gelisah karena percakapan tadi siang  terus mengganggu pikirannya.

Percakapan antara orang tuanya dengan Pak Yanto dan istrinya. Dalam percakapan tadi siang, ada satu  permintaan yang sangat mengejutkan dari pasangan suami istri itu. Dan kejadian itu terus saja berputar-putar dalam ingatannya, serta kesanggupannya yang spontan menyetujui permintaan dari pasutri itu sangat membuatnya gelisah.

Sudah hampir satu jam Nayla memikirkan apa keputusannya siang tadi sudah benar ataukah justru sebuah kecerobohan belaka. Kini dirinya benar-benar bingung akan hal itu. 

Siang tadi diriya sudah mantap mengambil keputusan itu, tapi sekarang malah keraguan melandanya. Ia tidak bisa dengan mudahnya menolak semua kebaikan yang telah mereka berikan untuk keluarganya. Akan tetapi jika dirinya mengambil keputusan itu, pasti akan ada hati yang sangat terluka karenanya. Seseorang yang juga sudah memberikan cinta serta kasih sayang yang tulus padanya selama satu setengah tahun ini pasti akan terluka hatinya. 

Apakah dirinya harus melangkah maju ataukah tetap diam di tempat? keputusan yang sudah terlanjur terucap itu pasti akan membuat kecewa jika dirinya diam di tempat tapi jika dirinya melangkah pasti akan ada hati lain yang juga akan sangat terluka karena keputusannya.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? haruskah ia jujur ataukah harus beralasan? tapi alasan apa? Nayla benar-benar bingung, gelisah, merasa bersalah dan serba salah, semakin tak karuan yang ada dalam pikirannya. Membuatnya nambah tidak bisa tidur. 

****

"Nduk, bangun! Sudah pagi." Dengan pelan Bu Hartatik menepuk-nepuk lengan Nayla. 

"Hem ...." Membuka mata perlahan, menyesuaikan dengan cahaya kamar yang lampunya sudah kembali nyala. Semalam, karena tak kunjung bisa tidur ia mematikan lampu kamarnya. 

"Sudah pagi, balik lagi ke tempat karja 'kan?"

Hanya anggukan pelan dari Nayla sebagai jawaban.

"Bangun ya, adik juga dibangunkan azan Subuh juga  sudah lewat."

"Cepetan bangun, nanti kesiangan, Ibu tak ke belakang dulu." Setelah ngomong lalu beranjak pergi ke belakang. 

****

"Sudah siap? Cepetan, nanti telat!" perintah Hardi. 

Nayla tak menjawab, setelah bersalaman dengan kedua orang tua serta adik-adiknya dan berpamitan tak lupa juga mengucapkan salam, ia bergegas naik ke boncengan belakang. 

Selama perjalanan menuju terminal tidak ada percakapan sama sekali antara Paklek juga ponakannya, keduanya larut dengan pikiran masing-masing.

"Dipikirkan ulang keputusanmu itu, mumpung belum terlanjur. Lek akan bantu ngomong sama Mbak dan Mas." Melirik ponakannya yang nampak tidak bersemangat.

'Aku udah pikirkan Lek, andaikan ada pilihan aku tak akan mengucapkan kata-kata itu,' batinnya mewakili ngomong. 

"Dengar Lek ngomong 'kan?"

Nayla hanya mengangguk. 

"Kalo keputusan sesuai ucapanmu kemarin dan sudah mantap jujurlah padanya, jelaskan apa yang membuatmu mengambil keputusan itu. Buat dia mengeti dengan posisimu, jangan membuat dia membencimu dan satu lagi kalau kamu ndak jujur pasti dia akan sangat kecewa, tapi saran Lek ya itu tadi, pikirkan lagi  keputusanmu kemarin, ngerti 'kan?"

Kenapa Hardi bicara seperti itu? Ya, karena setelah melihat langsung ada senyuman senang yang ponakannya tunjukkan saat menerima telfon maupun berbalas pesan dengan penelfon kemarin, serta sudah beberapa kali jauh sebelumnya ia juga melihat hal yang sama. Dengan melihat kejadian kemarin, Hardi sudah bisa menyimpulkan kalau seseorang yang telah menelfon waktu di bukit kemarin adalah orang yang spesial dihati ponakannya. 

Meski Nayla belum jadi cerita kemarin, tapi Hardi sangat yakin kalau nama  'Kakak' pasti seseorang yang telah mengisi hari-hari ponakannya selama ini. 

Hardi tidak apa-apa kalau Nayla punya teman yang bisa dikatakan spesial, justru ada rasa ingin mendukung ponakan. Andai saja ponakannya belum terlanjur mengambil keputusan yang sangat berat. 

Dari pengamatannya selama satu tahun terakhir ini, ponakannya memang terlihat sudah kembali ceria seperti sebalum kakak iparnya mengalami kecelakaan, mungkin karena ada obat penawar yang sudah bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian itu dan juga kesedihannya karena tidak jadi melanjutkan sekolah.Untuk keputusan tidak melanjutkan sekolah memang Nayla sendiri yang memutuskan, meski sudah berulang kali juga dirinya membujuk, tapi ponaknnya tetap tidak mau. 

Hardi sangat geram dan ingin marah saat Emaknya kemarin sore cerita, bahwa ponakannya malah menetujui permintaan mendadak dari orang serakah yang bertopeng dermawan. Andaikan yang bersangkutan masih ada di temapat ingin rasanya ia menonjok hingga babak belur kedua orang tua itu. 

Disaat senyuman manis ponakannya sudah kembali menghiasi hari-harinya  dengan seenaknya kedua orang tua itu datang, meminta sesuatu yang tak seharusnya pada ponakannya.

Semalam dirinya sudah menanyakannya langsung dan protes kepada mbak dan iparnya, kenapa mengizinkan ponakannya menyetujui perminyaan mengejutkan seperti itu. Tidak lupa dirinya juga menceritakan  semua yang ia lihat serta amati selama ini tentang Nayla yang sudah mempunyai seorang teman spesial yang telah mengembalikan keceriaannya.

Sebuah penyesalan yang sangat besar terlihat dari mbak dan iparnya setelah mendengar semua ceritanya, keduanya tidak pernah tahu juga tidak terlalu memerhatikan putrinya. Senyuman manis juga keceriaan Nayla selama ini keduanya kira karena putrinya merasa senang setelah bekerja dan punya banyak teman dari luar kota yang sangat baik pada Nayla tapi ternyata ada hal lain juga.

Pada akhirnya mbak juga iparnya meminta dirinya untuk menasehati Nayla karena keduanya sangat percaya bahwa hanya dirinya yang bisa tegas saat menasehati Nayla.

"Ngerti ndak sih La, dengan apa yang barusan Lek ucapkan?" ulang Hardi karena Nayla hanya diam dan menunduk. 

"Iya Lek, Ela ngerti," ucapnya dengan meminta tangan kanan Hardi untuk disalim."Ela berangkat, assalamu'alaikum." Pamitnya lalu beranjak naik bus.

Inginnya Hardi memarahi juga mengumpati ponakannya, tapi hatinya sangat menolak. Andaikan kemarin dirinya tidak buru-buru pergi karena ada hal penting yang lain, sudah ia pastikan dirinya akan melarang, tapi kejadian kemarin sudah terlanjur terjadi, penyesalan sudah pasti datangnya belakangan. Entah nanti usahanya untuk membujuk berhasil atau tidak, ia tidak tahu.

Seandainya ia tetap masih di tempat, tapi Nayla ya tetap Nayla, meski masih remaja tapi jika sudah mengambil keputusan tidak ada dari keluarganya yang bisa mencegah. Dan ini sudah kali kedua ponakannya itu mengambil keputusan berat tentang masa depannya. Hardi sangat berharap dan berdoa semoga ponakannya itu berubah fikiran dan menolak keinginan pasangan serakah yang  bertopeng dermawan itu. 

Hembusn nafas penuh kekesalan keluar dengan cepatnya mengakhiri lamunan Hardi. Ingin marah tapi nantinya malah membuat Nayla banyak pikiran, tapi kalau nggak marah kekesalannya pada pasangan suami istri itu akan semakin bertambah. 

***

Selama perjalanan pikiran Nayla benar-benar tak tenang, keputusannya kemarin yang telah terucap dari mulutnya sangat membuat hatinya gelisah dan merasa serba salah. Dirinya bingung, haruskah berhenti dan melanjutkan kisah cintanya ataukah lanjut serta pasrah dengan apa yang akan terjadi? Itulah yang harus ia pertimbangkan. 

Keraguan semalam mulai muncul lagi dalam dirinya, kemarin dirinya sangat yakin saat menyanggupi keinginan dari pasangan suami istri yang sudah sejak lama menganggap dirinya bagian dari keluarganya. Akankah bisa jika ia terus lanjut? Entahlah. 

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status