Jam weker di meja belajar Novi sudah menunjuk di angka 22.45 wib, dari ketiga anak Bu Hartatik hanya Nayla yang masih terjaga. Ia tidak dapat tidur, sudah mendengarkan radio favorit seperti biasa juga sama, tak kunjung bisa tidur, apa karena bukan pacar penyiarnya ya yang siaran? Entahlah.
Bolak-balik mengubah posisi tidur juga sama, berkali-kali memejamkan mata sembari melantunkan sholawat juga tidak ngefek yang ada justru tambah gelisah karena percakapan tadi siang terus mengganggu pikirannya.
Percakapan antara orang tuanya dengan Pak Yanto dan istrinya. Dalam percakapan tadi siang, ada satu permintaan yang sangat mengejutkan dari pasangan suami istri itu. Dan kejadian itu terus saja berputar-putar dalam ingatannya, serta kesanggupannya yang spontan menyetujui permintaan dari pasutri itu sangat membuatnya gelisah.
Sudah hampir satu jam Nayla memikirkan apa keputusannya siang tadi sudah benar ataukah justru sebuah kecerobohan belaka. Kini dirinya benar-benar bingung akan hal itu.
Siang tadi diriya sudah mantap mengambil keputusan itu, tapi sekarang malah keraguan melandanya. Ia tidak bisa dengan mudahnya menolak semua kebaikan yang telah mereka berikan untuk keluarganya. Akan tetapi jika dirinya mengambil keputusan itu, pasti akan ada hati yang sangat terluka karenanya. Seseorang yang juga sudah memberikan cinta serta kasih sayang yang tulus padanya selama satu setengah tahun ini pasti akan terluka hatinya.
Apakah dirinya harus melangkah maju ataukah tetap diam di tempat? keputusan yang sudah terlanjur terucap itu pasti akan membuat kecewa jika dirinya diam di tempat tapi jika dirinya melangkah pasti akan ada hati lain yang juga akan sangat terluka karena keputusannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? haruskah ia jujur ataukah harus beralasan? tapi alasan apa? Nayla benar-benar bingung, gelisah, merasa bersalah dan serba salah, semakin tak karuan yang ada dalam pikirannya. Membuatnya nambah tidak bisa tidur.
****
"Nduk, bangun! Sudah pagi." Dengan pelan Bu Hartatik menepuk-nepuk lengan Nayla.
"Hem ...." Membuka mata perlahan, menyesuaikan dengan cahaya kamar yang lampunya sudah kembali nyala. Semalam, karena tak kunjung bisa tidur ia mematikan lampu kamarnya.
"Sudah pagi, balik lagi ke tempat karja 'kan?"
Hanya anggukan pelan dari Nayla sebagai jawaban.
"Bangun ya, adik juga dibangunkan azan Subuh juga sudah lewat."
"Cepetan bangun, nanti kesiangan, Ibu tak ke belakang dulu." Setelah ngomong lalu beranjak pergi ke belakang.
****
"Sudah siap? Cepetan, nanti telat!" perintah Hardi.
Nayla tak menjawab, setelah bersalaman dengan kedua orang tua serta adik-adiknya dan berpamitan tak lupa juga mengucapkan salam, ia bergegas naik ke boncengan belakang.
Selama perjalanan menuju terminal tidak ada percakapan sama sekali antara Paklek juga ponakannya, keduanya larut dengan pikiran masing-masing.
"Dipikirkan ulang keputusanmu itu, mumpung belum terlanjur. Lek akan bantu ngomong sama Mbak dan Mas." Melirik ponakannya yang nampak tidak bersemangat.
'Aku udah pikirkan Lek, andaikan ada pilihan aku tak akan mengucapkan kata-kata itu,' batinnya mewakili ngomong.
"Dengar Lek ngomong 'kan?"
Nayla hanya mengangguk.
"Kalo keputusan sesuai ucapanmu kemarin dan sudah mantap jujurlah padanya, jelaskan apa yang membuatmu mengambil keputusan itu. Buat dia mengeti dengan posisimu, jangan membuat dia membencimu dan satu lagi kalau kamu ndak jujur pasti dia akan sangat kecewa, tapi saran Lek ya itu tadi, pikirkan lagi keputusanmu kemarin, ngerti 'kan?"
Kenapa Hardi bicara seperti itu? Ya, karena setelah melihat langsung ada senyuman senang yang ponakannya tunjukkan saat menerima telfon maupun berbalas pesan dengan penelfon kemarin, serta sudah beberapa kali jauh sebelumnya ia juga melihat hal yang sama. Dengan melihat kejadian kemarin, Hardi sudah bisa menyimpulkan kalau seseorang yang telah menelfon waktu di bukit kemarin adalah orang yang spesial dihati ponakannya.
Meski Nayla belum jadi cerita kemarin, tapi Hardi sangat yakin kalau nama 'Kakak' pasti seseorang yang telah mengisi hari-hari ponakannya selama ini.
Hardi tidak apa-apa kalau Nayla punya teman yang bisa dikatakan spesial, justru ada rasa ingin mendukung ponakan. Andai saja ponakannya belum terlanjur mengambil keputusan yang sangat berat.
Dari pengamatannya selama satu tahun terakhir ini, ponakannya memang terlihat sudah kembali ceria seperti sebalum kakak iparnya mengalami kecelakaan, mungkin karena ada obat penawar yang sudah bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian itu dan juga kesedihannya karena tidak jadi melanjutkan sekolah.Untuk keputusan tidak melanjutkan sekolah memang Nayla sendiri yang memutuskan, meski sudah berulang kali juga dirinya membujuk, tapi ponaknnya tetap tidak mau.
Hardi sangat geram dan ingin marah saat Emaknya kemarin sore cerita, bahwa ponakannya malah menetujui permintaan mendadak dari orang serakah yang bertopeng dermawan. Andaikan yang bersangkutan masih ada di temapat ingin rasanya ia menonjok hingga babak belur kedua orang tua itu.
Disaat senyuman manis ponakannya sudah kembali menghiasi hari-harinya dengan seenaknya kedua orang tua itu datang, meminta sesuatu yang tak seharusnya pada ponakannya.
Semalam dirinya sudah menanyakannya langsung dan protes kepada mbak dan iparnya, kenapa mengizinkan ponakannya menyetujui perminyaan mengejutkan seperti itu. Tidak lupa dirinya juga menceritakan semua yang ia lihat serta amati selama ini tentang Nayla yang sudah mempunyai seorang teman spesial yang telah mengembalikan keceriaannya.
Sebuah penyesalan yang sangat besar terlihat dari mbak dan iparnya setelah mendengar semua ceritanya, keduanya tidak pernah tahu juga tidak terlalu memerhatikan putrinya. Senyuman manis juga keceriaan Nayla selama ini keduanya kira karena putrinya merasa senang setelah bekerja dan punya banyak teman dari luar kota yang sangat baik pada Nayla tapi ternyata ada hal lain juga.
Pada akhirnya mbak juga iparnya meminta dirinya untuk menasehati Nayla karena keduanya sangat percaya bahwa hanya dirinya yang bisa tegas saat menasehati Nayla.
"Ngerti ndak sih La, dengan apa yang barusan Lek ucapkan?" ulang Hardi karena Nayla hanya diam dan menunduk.
"Iya Lek, Ela ngerti," ucapnya dengan meminta tangan kanan Hardi untuk disalim."Ela berangkat, assalamu'alaikum." Pamitnya lalu beranjak naik bus.
Inginnya Hardi memarahi juga mengumpati ponakannya, tapi hatinya sangat menolak. Andaikan kemarin dirinya tidak buru-buru pergi karena ada hal penting yang lain, sudah ia pastikan dirinya akan melarang, tapi kejadian kemarin sudah terlanjur terjadi, penyesalan sudah pasti datangnya belakangan. Entah nanti usahanya untuk membujuk berhasil atau tidak, ia tidak tahu.
Seandainya ia tetap masih di tempat, tapi Nayla ya tetap Nayla, meski masih remaja tapi jika sudah mengambil keputusan tidak ada dari keluarganya yang bisa mencegah. Dan ini sudah kali kedua ponakannya itu mengambil keputusan berat tentang masa depannya. Hardi sangat berharap dan berdoa semoga ponakannya itu berubah fikiran dan menolak keinginan pasangan serakah yang bertopeng dermawan itu.
Hembusn nafas penuh kekesalan keluar dengan cepatnya mengakhiri lamunan Hardi. Ingin marah tapi nantinya malah membuat Nayla banyak pikiran, tapi kalau nggak marah kekesalannya pada pasangan suami istri itu akan semakin bertambah.
***
Selama perjalanan pikiran Nayla benar-benar tak tenang, keputusannya kemarin yang telah terucap dari mulutnya sangat membuat hatinya gelisah dan merasa serba salah. Dirinya bingung, haruskah berhenti dan melanjutkan kisah cintanya ataukah lanjut serta pasrah dengan apa yang akan terjadi? Itulah yang harus ia pertimbangkan.
Keraguan semalam mulai muncul lagi dalam dirinya, kemarin dirinya sangat yakin saat menyanggupi keinginan dari pasangan suami istri yang sudah sejak lama menganggap dirinya bagian dari keluarganya. Akankah bisa jika ia terus lanjut? Entahlah.
.
Seperti biasa, sebagai pacar yang baik setiap pacar manisnya libur dan kembalinya ke tempat kerja pasti Dimas selalu menjemputnya. Cinta, kesetiaan, dan kasih sayangnya pada Nayla, gadis remaja pertama yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, telah mengubah hidupnya. Dulu kesehariannya biasa saja, tapi sekarang semakin berwarna semenjak keadiran Nayla dalam hidupnya. Keluarnya Nayla dari dalam bus melegakan hatinya. Seulas senyum menyambut pujaan hati yang melangkahkan kaki menuju tempatnya menunggu. Namun, perlahan senyum sambutan itu memudar saat mendapati wajah ditekuk yang tidak bersahabat semakin mendekat. "Kok jelek gitu, wajah ayu serta senyum manis Nayangku dikemanain?" tanya Dimas, masih setia duduk di atas motornya. "Tak tinggal di bus, buat Pak supir juga Mas kernetnya. Habisnya tadi ngantuk banget," jawabnya ngasal. Tidak mungkin 'kan, kalau bilang 'pikiranku lagi kacau.' Dia belum siap jujur sekarang, akan dipikirkan lagi b
Tidak hanya kamar sebelah kiri, kamar kanan tempatnya para karyawan laki-laki toko Accesories Collection sudah sepi. Namun, ternyata masih ada seseorang yang belum sama sekali terlelap, sedari tadi memang memejamkan mata, tapi bum bisa tidur. Malam ini pun sama seperti sebelumnya, setiap teman-temannya sudah mengalami indahnya mimpi dia hanya bisa melihat hingga puluhan menit lamanya karena hati dan fikiran yang tidak tenang. [Bagaimana? Apa sudah kamu pikirkan dan putuskan? Mereka sudah memberi kabar kalau hari Ahad besok akan datang lagi] Pesan itu sedari siang terus terngiang, semakin bingung dan gelisah. Haruskah dia melanjutkan keputusannya ataukah berhenti saja dan kembali menjalani hari-harinya dengan Dimas? Dirinya dilanda kebimbangan antara melanjutkan keputusan ataukah berhenti tidak jadi menuruti keinginan pasutri itu, tapi secepatnya ia harus mengambil keputusan. Hubungannya dengan Dimas masih seperti biasanya, han
Begitu masuk, Nayla langsung menuju kamar mandi, tak mungkin 'kan dirinya masuk kamar dengan wajah yang sangat kacau. Setelah cuci muka dan hatinya sedikit lebih tenang dia pun kembali ke kamar. Namun, teman-temanya pada heran melihatnya masuk sendirian. "Lho, Heni sama Nadia mana Na? Kok nggak bareng masuknya?" tanya sebagian temannya yang ada di dalam. "Hah! Mbak Heni sama Mbak Nadia?" "Kok malah melongo? Tadi mereka ke luar cari kamu," jawab Fira. "Cari aku?" Mengulang ucapan Fira. "Aku udah masuk dari 10 menit yang lalu Mbak, tapi langsung ke belakang, mereka cari aku, mau apa?" "Nih, bocahnya sudah ada disini, pantesan....." Terdengar orang ngomong di luar kamar. "Kamu kemana aja sama Mas Ganteng?" tanya Nadia."Eh, kok matamu merah Na? Kamu habis nangis kok sembab gitu?" lanjut Nadia sembari meneliti wajah Nayla. "Tadi ... Kak Dimas ngerjai aku, sampai nangis," jawabnya beralasan.
Disaat Nayla tengah melamunkan kisah cintanya yang sudah berakhir dengan menyendiri di belakang, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Buru-buru dia menghapus air mata yang sedari tadi membanjiri kedua pipi. Tidak ingin ketahuan kalau tengah malam menangis. Namun, belum sampai itu air mata di pipi mengering sebuah suara yang dikenalnya menya. "Na, ngapain di situ?" tanya Faiz sembari terus melangkah ke kamar mandi. "Ndak ngapa-ngapain sih, Sampean kok belum tidur?" balik tanya. "Pen pipis Na." Buru-buru membuka pintu kamar mandi, mungkin sudah kebelet. Nayla berdiri, lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci gelas bekas minum serta membasuh muka. Tidak ingin Faiz menaruh curiga. "Kamu habis ngapin Na?" Tiba-tiba sudah berdiri di belakang Nayla. "Eh! A-anu. E-em tadi kepalaku agak pusing lagi, trus minum obat," elaknya,. Dadanya berdebar, sedikit was-was khawatir Faiz curiga. "Oh, kam
Sabtu pagi ini seisi toko Accesories Collection gempar. Setelah semua karyawan selesai sarapan, pernyataan mengejutkan dari Nayla mengagetkan semuanya. Nayla tadi pergi tanpa pamit kepada yang lain hingga satu jam baru kembali. Disaat sudah kembali tiba-tiba mengungkapkan suatu hal yang sangat mengejutkan, membuat semua temannya tidak percaya serta sedih dibuatnya. "Mbak dan Mas semuanya. Maaf aku ganggu waktunya sebentar," ucap Nayla saat semua temannya sudah berkumpul. "Nana mau ngucapin terima kasih kepada semu. Smpean semua telah memberi banyak pengertian, selalu sabar mengajari aku yang awalnya belum mengerti sama sekali." "Banyak hal yang aku dapatkan selama 2 tahun kerja sama Sampean semua di toko ini, susah-senang kita lalui bersama, satu kena koplen imbasnya kesemua, yang ini kena teguran yang lain pun ikutan kena." Menjeda ucapannya, matanya mulai berkaca-kaca. Teman-temanya pada tidak mengerti maksud Nayla, sebagian saling berbisik-
Satu jam lima belas menit lama perjalanan dari terminal Kota Lumpia sampai terminal Kota Kretek ini. Selama perjalan Nayla terus-terusan banjir air mata, pundak kiri Dimas ikut basah karena kelakuannya. Tanpa ada jeda Nayla menangis selama perjalanan. Tidak hanya sedih karena berpisah dengan temannya dan Dimas nantinya, sedih melihat pemuda yang telah diberinya luka tak nampak berpura-pura tegar di hari perpisahan ini. Hatinya sakit serta ada keinginan menjerit mendapati Dimas diam dengan menyembunyikan luka yang sangat dalam. Ketulusan, kasih sayang serta cinta yang telah didapat selama mengenal Dimas justru dibalasnya dengan luka tak nampak, tapi sangat menyakitkan. . "Udah ya Yank, manisnya ilang lho, kalau diajak nangis terus," ucap Dimas pelan saat bus yang keduanya naiki sudah hampir sampai tujuan. Nayla mengangkat kepalanya yang semenjak duduk di bangku penumpang langsung bersandar pada pundak Dimas. Tampilannya benar-benar sangat
Ada notif masuk dari nomor baru saat Nayla membuka aplikasi pesan pagi ini. Setelah menekan ternyata sebah vidio, tapi entah berisi tentang apa. Belum selesai dia mengunduh vidio itu ada satu chat masuk dari nomor yang sama bertulis, [lihatlah karenamu Kakakku jadi seperti ini] Belum sampai Nayla memnuka vidio yang sudah berhasil diunduhnya ada chat masuk lagi. [Temui aku nanti jam 09.30 di alun-alun kotamu] [Harus datang! Kalau nggak, aku datangi rumahmu] pesan berikutnya. [Kutunggu!] satu lagi dari nomor yang sama. Setelah membaca rentetan pesan itu, Nayla bingung, 'dari siapa pesan ini? Trus apa isi vidio itu?' Nayla menerka-nerka setelah membaca ulang chat tadi, lalu menekan vidio itu dan betapa terkejutnya setelah vidio terputar. ** Nayla benar-benar datang menemui seseorang yang mengirim vidio singkat pagi tadi. Ya, walau belum mengenal, dia tetap datang karena isi vidio itu semakin membuat
"Hah! Apa?" Dimas melotot kaget mende ngar ucapan Aldi. "Di mana kamu menemuinya!" "Di rumahnyalah, di mana lagi?" Masih asyik mengunyah, kelihatannya tidak berniat merespon pertanyaan Dimas. "Aku nanya serius bocah?" "Aku jawabnya juga serius Kang (kak)." "Untuk apa kamu mememuinya?" Masih saja bertanya, merasa jawaban Aldi bukan yang sebenarnya. "Ingin kenalan aja," jawabnya santai dengan mengusap-usap layar handphonenya. "Untuk apa menemuinya." Mengulang pertanyaan serta merebut handphone milik Aldi. "Ingin memarahinya!" Berdiri dari duduknya. Beranjak menghampiri kulkas, lalu membuka dan mengambil air minum, setelah membuka tutup botol segera meneguk isi hingga habis separuh. Dimas masih menatap Aldi penuh selidik. Samar menggeleng mendapati adiknya yang justru bertingkah masa bodo dengan ucapannya tadi. "Kutunggu di kamar!" kata Dimas lalu beranjak dari dapur.