Seperti biasa, sebagai pacar yang baik setiap pacar manisnya libur dan kembalinya ke tempat kerja pasti Dimas selalu menjemputnya. Cinta, kesetiaan, dan kasih sayangnya pada Nayla, gadis remaja pertama yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, telah mengubah hidupnya. Dulu kesehariannya biasa saja, tapi sekarang semakin berwarna semenjak keadiran Nayla dalam hidupnya.
Keluarnya Nayla dari dalam bus melegakan hatinya. Seulas senyum menyambut pujaan hati yang melangkahkan kaki menuju tempatnya menunggu. Namun, perlahan senyum sambutan itu memudar saat mendapati wajah ditekuk yang tidak bersahabat semakin mendekat.
"Kok jelek gitu, wajah ayu serta senyum manis Nayangku dikemanain?" tanya Dimas, masih setia duduk di atas motornya.
"Tak tinggal di bus, buat Pak supir juga Mas kernetnya. Habisnya tadi ngantuk banget," jawabnya ngasal. Tidak mungkin 'kan, kalau bilang 'pikiranku lagi kacau.' Dia belum siap jujur sekarang, akan dipikirkan lagi bagaimana cara yang baik serta waktu yang tepat untuk menyampaikan permasalahanan yang terjadi, nanti.
"Asyik ngapain semalam? Senyum napa, masa dijemput sama pacar gantengmu mukanya jelek gitu."
Dengan segera Nayla tersenyum sangat manis supaya Dimas tidak menaruh curiga dan banyak nanya, seketika mendapat cubitan gemas pada kedua pipi.
"Uh ... manisnya, bikin nambah sayang deh em ... muach." Dimas memoyongkan bibir seperti hendak mencium dengan tangan masih setia mencubit gemas pipi Nayla.
"Iih! Kak ... banyak orang, malulah," rengeknya.
"Biarin nggak kenal," sahut Dimas terlihat cuek.
"Kalau ada yang mengenali Sampean (kamu)."
"Tak ada." Melepas kedua tangannya dari pipi.
"Iih ... pedenya."
"Harus! Kenapa nggak, dah ah, buruan yuk!" Menarik tangan Nayla lalu mengambil helm lalu memakaikan di kepala pacar manisnya, setelahnya dia menstater motor kesayangannya dan langsung tancap gas.
***
Selama perjalanan menuju toko Accesories Collection keduanya larut dengan pikiran masing-masing. Dimas teringat dengan mimpi yang sama kembali terulang di waktu Fajar. Mimpi yang telah membuatnya terus gelisah hingga semalaman begadang hingga menjelang pagi.
Sedangkan Nayla kembali dilanda keraguan dengan keputusannya kemarin, serta tidak hanya itu, semua kenangan selama dirinya berteman hingga menjalin hubungan dengan Dimas tambah membuatnya ragu dengan apa yang telah diputuskan.
***
"Masih ngantuk?" tanya Dimas saat sudah sampai.
Hanya anggukan pelan yang Nayla tunjukkan diiringi sedikit senyuman.
"Tadi di jalan ndak jadi tidur?"
"Ya, ndaklah Kak, kalau aku beneran tidur yang ada malah jatuh."
"Ya udah masuk gih! Kalau masih ngantuk. Tadinya sih ingin ngajak sarapan bareng, tapi yowes, ndak pa-pa."
"Maaf ya Kak," lirihnya pelan,"Bentar, tadi Ibuk bawain bekal karena aku ndak jadi sarapan." Mengeluarkan kotak bekal yang dimaksud lalu memberikannya pada Dimas.
"Apa ini, pasti enak apalagi yang masakan calon mertua," kata Dimas dengan semangat sembari menerima kotak bekal dari Nayla.
Nayla tersenyum getir mendengar ucapan Dimas, dengan tiba-tiba hatinya terasa sangat perih. Dia tahu ucapan Dimas hanya candaan tapi terdengar sangat serius.
"Makan bareng ya? Aku ingin menikmati masakan Ibuk bareng."
'Aargh ....' jerit Nayla dalam hati mendengar dan melihat senyum tulus Dimas yang dengan antusias membuka lalu mencium bau masakan Ibunya itu sangat membuatnya semakin merasa bersalah.
"Kok tiba-tiba perutku mules banget ya Kak, makan sendiri aja ya?" tolaknya halus.
"Tak tungguin sampai selesai. Kita makan bareng ya?" Terlihat memelas.
"Kak ... Kakak lupa ya? Kalau aku udah masuk yang di dalam pasti pada nanyain oleh-oleh, terus nanti aku balik keluar lagi pasti ada yang curiga."
"Eh, iya ya? Yaudah deh kalu gitu biar aku nikmati sendiri masakan Ibuk mertua."
"Iya, Kakakku sayang...mules banget ini perutku, masuk duluan ya?" pura-pura meringis seperti menahan mules.
'Maafkan aku Kak, maaf karna telah berbohong padamu,' batinnya sembari menoleh saat membuka pagar.
Nayla sangat menyesal karena telah berbohong, tapi mungkin hanya kebohonganlah yang bisa menolongnya untuk saat ini. Hatinya sangat sakit saat melihat betapa tulusnya cinta Dimas padanya.Tapi mau bagaimana lagi, ungkapan iya sudah terlanjur terucap apakah harus ditarik lagi? Andaikan hanya candaan tidak masalah, tapi ini sebuah persetujuan kepada orang tua.
Kemarin dirinya sangat yakin tapi semenjak panggilan telefon terakhir dari Dimas semalam hati dan pikirannya benar-benar gundah. Entah hanya ingin tahu aktivitas pacar ataukah ada hal lain yang membuat Dimas seharian mengkhawatirkan dirinya dengan berulang kali menelfonnya. Saat bicara pun seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, tapi selalu diurungkan. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi itu terlihat nyata seperti ada sesuatu yang membuat Dimas merasa sangat cemas padanya.
.
Sudah pukul 22.30 malam, pintu kamar anak-anak cewek sudah tutup pertanda seisi kamar sudah pada terlelap, tapi ternyata tidak, masih ada satu anak yang masih terjaga.
Malam ini Nayla kembali tak bisa tidur, semua temannya sudah terlelap dari 10 menit yang lalu, tinggal dirinya. Agar secepatnya tidur Nayla mencoba menyalakan radio di handphonenya debgan sangat berharap bisa secepatnya mengantuk lalu ertidur, tapi tetap tidak mengantuk sama sekali.
Seharian ini dia tidak bersemangat sama sekali. Masih bisa tersenyum manis pada teman juga pelanggan, tapi hati dan pikirannya sungguh sangat kacau. Rasa bersalahnya pada Dimas dan kebohongannya serta nasehat Pakleknya tadi pagi terus saja berputar-putar dalam ingatannya.
Sudah empat lagu yang diputar dari radio kesukaannya, tapi tetap saja tidak membuatnya mengantuk. Merasa sia-sia serta tambah membuat kepalanya makin terasa pusing, Nayla putuskan bangun, lalu beranjak ke belakang entah untuk mengambil minum atau hanya cuci muka.
Cuci muka sudah, minum segelas air hangat juga sudah, tapi pusing di kepalanya tak kunjung reda, Nayla putuskan tidak langsung kembali ke kamar karena pasti akan sama seperti tadi. Kembali lagi hatinya dan pikirannya dilanda keraguan serta bingung harus ngomong kejujuran pada Dimas yang seperti apa dan bagaimana.
'Apa aku pergi gitu aja ya, ninggalain Kak Dimas? Tapi kasihan dia dan pasti sangat sedih terus bertanya-tanya. Apalagi kalau suatu hari dia tahu yang sebenarnya pasti akan sangat terluka dan kecewa. Kalau aku jujur? Dia marah dan kecewa ndak ya? Ya Allah kenapa aku Engkau hadapkan dengan masalah serumit ini? Kemarin aku sudah mencoba untuk iklas menerima kenyataan untuk tidak jadi melanjukan saat Bapak mengalami kecelakaan dan aku tak ingin menambah beban,' batinnya.
'Sudah aku putuskan untuk tidak melanjutkan keinginanku dan disaat ada seseorang yang hadir menghibur serta memberikan cinta tulus serta kasih sayangnya, secepat inikah harus kutinggalkan Ya Allah,' keluhnya dalam hati.
'Ya Allah, tolong bantu aku dari kebingungan dan keraguan yang sedang meland ...."
"Lho Na! Kok disini? Lum tidur? Ngapain?" Tiba-tiba Faiz muncul dengan banyak pertanyaan.
"Eh, Mas Faiz. Ngambil minun sih tadinya," sahutnya. Dengan cepat tangannya menghapus air mata di pipi.
Faiz berjalan ke arah Nayla dengan satu bungkus mie instan dalam gengaman. Matanya awas melihat apa yang Nayla lakukan. Hatinya sedikit ragu dengan jawaban Nayla. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan entah apa. Sejak pagi dirinya telah memperhatikan teman yang diam-diam disukai seharian ini tidak fokus saat bekerja.
"Kamu lapar? Kok lum tidur jam segini." Ikut duduk di kursi tunggal sebelah Nayla.
Gelengan pelan dari Nayla sebagai jawaban.
"Lha, terus kenapa? Matamu kok merah, kamu habis nangis?" tebak Faiz.
"Ndak Mas, tadi kepalaku rasanya pusing, nyut...nyut gitu. Kalau di rumah pasti Ibuk perhatiin aku. Lha disini tak ada ya aku jadi keingat Ibuk," ucapnya diiringi senyuman agar Faiz tidak menaruh curiga.
"Oh, aku mau buat mie kamu mau?" tawarnya.
"Buat mie malam-malam? Apa eng-nggak begah nanti perut Sampean? Bentar deh Mas, nggak usah buat mie. Aku masih ada makanan." Langsung berdiri dan segera berlalu ke kamar.
.
"Makan ini aja Mas, jangan terlalu keseringan makam mie malam-malam, ndak baik buat perut." Menyodorkan jajanan yang dia bawa sebagai oleh-oleh.
Faiz menerima jajanan yang disodorkan Nayla, lalu keduanya makan bersama.
Dapat perhatian kecil seperti itu sudah membuat hati Faiz berbunga. Sama seperti Dimas, dirinya juga merasa jatuh cinta pada pandangan pertama pada Nayla kala itu, tapi bedanya sejak awal hingga sekarang tidak kunjung berani mengungkapkan, hanya dipendam sendiri. Belum ada keberanian serta tidak ingin jadi bahan omongan sesama teman kerja kalau ketahuan dirinya menyukai Nayla.
***
Tidak hanya kamar sebelah kiri, kamar kanan tempatnya para karyawan laki-laki toko Accesories Collection sudah sepi. Namun, ternyata masih ada seseorang yang belum sama sekali terlelap, sedari tadi memang memejamkan mata, tapi bum bisa tidur. Malam ini pun sama seperti sebelumnya, setiap teman-temannya sudah mengalami indahnya mimpi dia hanya bisa melihat hingga puluhan menit lamanya karena hati dan fikiran yang tidak tenang. [Bagaimana? Apa sudah kamu pikirkan dan putuskan? Mereka sudah memberi kabar kalau hari Ahad besok akan datang lagi] Pesan itu sedari siang terus terngiang, semakin bingung dan gelisah. Haruskah dia melanjutkan keputusannya ataukah berhenti saja dan kembali menjalani hari-harinya dengan Dimas? Dirinya dilanda kebimbangan antara melanjutkan keputusan ataukah berhenti tidak jadi menuruti keinginan pasutri itu, tapi secepatnya ia harus mengambil keputusan. Hubungannya dengan Dimas masih seperti biasanya, han
Begitu masuk, Nayla langsung menuju kamar mandi, tak mungkin 'kan dirinya masuk kamar dengan wajah yang sangat kacau. Setelah cuci muka dan hatinya sedikit lebih tenang dia pun kembali ke kamar. Namun, teman-temanya pada heran melihatnya masuk sendirian. "Lho, Heni sama Nadia mana Na? Kok nggak bareng masuknya?" tanya sebagian temannya yang ada di dalam. "Hah! Mbak Heni sama Mbak Nadia?" "Kok malah melongo? Tadi mereka ke luar cari kamu," jawab Fira. "Cari aku?" Mengulang ucapan Fira. "Aku udah masuk dari 10 menit yang lalu Mbak, tapi langsung ke belakang, mereka cari aku, mau apa?" "Nih, bocahnya sudah ada disini, pantesan....." Terdengar orang ngomong di luar kamar. "Kamu kemana aja sama Mas Ganteng?" tanya Nadia."Eh, kok matamu merah Na? Kamu habis nangis kok sembab gitu?" lanjut Nadia sembari meneliti wajah Nayla. "Tadi ... Kak Dimas ngerjai aku, sampai nangis," jawabnya beralasan.
Disaat Nayla tengah melamunkan kisah cintanya yang sudah berakhir dengan menyendiri di belakang, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Buru-buru dia menghapus air mata yang sedari tadi membanjiri kedua pipi. Tidak ingin ketahuan kalau tengah malam menangis. Namun, belum sampai itu air mata di pipi mengering sebuah suara yang dikenalnya menya. "Na, ngapain di situ?" tanya Faiz sembari terus melangkah ke kamar mandi. "Ndak ngapa-ngapain sih, Sampean kok belum tidur?" balik tanya. "Pen pipis Na." Buru-buru membuka pintu kamar mandi, mungkin sudah kebelet. Nayla berdiri, lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci gelas bekas minum serta membasuh muka. Tidak ingin Faiz menaruh curiga. "Kamu habis ngapin Na?" Tiba-tiba sudah berdiri di belakang Nayla. "Eh! A-anu. E-em tadi kepalaku agak pusing lagi, trus minum obat," elaknya,. Dadanya berdebar, sedikit was-was khawatir Faiz curiga. "Oh, kam
Sabtu pagi ini seisi toko Accesories Collection gempar. Setelah semua karyawan selesai sarapan, pernyataan mengejutkan dari Nayla mengagetkan semuanya. Nayla tadi pergi tanpa pamit kepada yang lain hingga satu jam baru kembali. Disaat sudah kembali tiba-tiba mengungkapkan suatu hal yang sangat mengejutkan, membuat semua temannya tidak percaya serta sedih dibuatnya. "Mbak dan Mas semuanya. Maaf aku ganggu waktunya sebentar," ucap Nayla saat semua temannya sudah berkumpul. "Nana mau ngucapin terima kasih kepada semu. Smpean semua telah memberi banyak pengertian, selalu sabar mengajari aku yang awalnya belum mengerti sama sekali." "Banyak hal yang aku dapatkan selama 2 tahun kerja sama Sampean semua di toko ini, susah-senang kita lalui bersama, satu kena koplen imbasnya kesemua, yang ini kena teguran yang lain pun ikutan kena." Menjeda ucapannya, matanya mulai berkaca-kaca. Teman-temanya pada tidak mengerti maksud Nayla, sebagian saling berbisik-
Satu jam lima belas menit lama perjalanan dari terminal Kota Lumpia sampai terminal Kota Kretek ini. Selama perjalan Nayla terus-terusan banjir air mata, pundak kiri Dimas ikut basah karena kelakuannya. Tanpa ada jeda Nayla menangis selama perjalanan. Tidak hanya sedih karena berpisah dengan temannya dan Dimas nantinya, sedih melihat pemuda yang telah diberinya luka tak nampak berpura-pura tegar di hari perpisahan ini. Hatinya sakit serta ada keinginan menjerit mendapati Dimas diam dengan menyembunyikan luka yang sangat dalam. Ketulusan, kasih sayang serta cinta yang telah didapat selama mengenal Dimas justru dibalasnya dengan luka tak nampak, tapi sangat menyakitkan. . "Udah ya Yank, manisnya ilang lho, kalau diajak nangis terus," ucap Dimas pelan saat bus yang keduanya naiki sudah hampir sampai tujuan. Nayla mengangkat kepalanya yang semenjak duduk di bangku penumpang langsung bersandar pada pundak Dimas. Tampilannya benar-benar sangat
Ada notif masuk dari nomor baru saat Nayla membuka aplikasi pesan pagi ini. Setelah menekan ternyata sebah vidio, tapi entah berisi tentang apa. Belum selesai dia mengunduh vidio itu ada satu chat masuk dari nomor yang sama bertulis, [lihatlah karenamu Kakakku jadi seperti ini] Belum sampai Nayla memnuka vidio yang sudah berhasil diunduhnya ada chat masuk lagi. [Temui aku nanti jam 09.30 di alun-alun kotamu] [Harus datang! Kalau nggak, aku datangi rumahmu] pesan berikutnya. [Kutunggu!] satu lagi dari nomor yang sama. Setelah membaca rentetan pesan itu, Nayla bingung, 'dari siapa pesan ini? Trus apa isi vidio itu?' Nayla menerka-nerka setelah membaca ulang chat tadi, lalu menekan vidio itu dan betapa terkejutnya setelah vidio terputar. ** Nayla benar-benar datang menemui seseorang yang mengirim vidio singkat pagi tadi. Ya, walau belum mengenal, dia tetap datang karena isi vidio itu semakin membuat
"Hah! Apa?" Dimas melotot kaget mende ngar ucapan Aldi. "Di mana kamu menemuinya!" "Di rumahnyalah, di mana lagi?" Masih asyik mengunyah, kelihatannya tidak berniat merespon pertanyaan Dimas. "Aku nanya serius bocah?" "Aku jawabnya juga serius Kang (kak)." "Untuk apa kamu mememuinya?" Masih saja bertanya, merasa jawaban Aldi bukan yang sebenarnya. "Ingin kenalan aja," jawabnya santai dengan mengusap-usap layar handphonenya. "Untuk apa menemuinya." Mengulang pertanyaan serta merebut handphone milik Aldi. "Ingin memarahinya!" Berdiri dari duduknya. Beranjak menghampiri kulkas, lalu membuka dan mengambil air minum, setelah membuka tutup botol segera meneguk isi hingga habis separuh. Dimas masih menatap Aldi penuh selidik. Samar menggeleng mendapati adiknya yang justru bertingkah masa bodo dengan ucapannya tadi. "Kutunggu di kamar!" kata Dimas lalu beranjak dari dapur.
"Em ... apa ya?" Pura-pura brrfikir."Buat Nayla hamidun, pasti dapat restu, ha ha ha," ucap Aldi sambil bangun dari posisi tiduran, lalu langsung loncat dari tempat tidur dan buru-buru lari ke luar kamar. Dimas terbengong mendengar ucapan Aldi barusan. Dia sedikit bingung dengan kata "hamidun" otaknya mendadak ngeblank mendengar kata itu. "Hei Al! Ngomong apa barusan! Jangan lari!" Teriak Dimas setelah mengerti maksud ucapan Aldi. Buru-buru ia turun dan berlari menyusul. "Hei bocah! Kenapa pintunya dikunci? Buka woi!" Teriak Dimas dari dalam kamar. Mendengar teriakan dari dalam, Aldi justru semakin tersenyum puas. Ucapannya yang asal barusan, tanpa sengaja sudah membuat Dimas seperrtinya marah, tapi menurutnya tidak masalah karena niatnya ingin menghibur, walupun caranya salah. Pikirnya yang penting kakaknya bisa sedikit lupa dengan masalah yang sedang dialami. "Buka Al! Awas kamu ya!" Berkacak pinggang sembari menginga