Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya.
"Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans."
"Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold.
"Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."
Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis.
"Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada rasa lega juga karena pernikahan itu hanya pernikahan kontrak.
"Hanya saja, aku tidak tega jika mendengar penderitaan Thania selama menjadi istrinya William. Pria tidak punya hati itu selalu saja menyiksanya. Aku ingin mengeluarkan Thania dari siksaan William."
Reynold merasa iba mendengar cerita dari saudaranya itu. Ia kemudian menatap Hans dengan lekat seraya mengulas senyum tipis.
"Jika meminta bantuan orang tuamu sama saja tidak akan berhasil membuat Thania pisah dengan William. Maka, satu-satunya cara hanyalah bersabar dan sebisa mungkin kamu harus selalu ada untuknya."
Mendengar nasihat dari Reynold, Hans menganggukkan kepalanya menuruti nasihat tersebut. Akan selalu ada untuk Thania sampai dia bisa terbebas dari siksaan yang selalu William lakukan padanya.
**
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.
Thania sudah bersiap-siap hendak pulang dari kantor itu. Merapikan mejanya dan juga mematikan komputer serta laptop yang masih menyala.
"Pulang denganku!" ucapnya setelah keluar dari ruangannya.
Hati Thania tak tenang dan tak karuan. Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu Thania tidak dapat membayangkannya.
Dengan langkah yang penuh dengan cemas dan takut, Thania memasuki lift untuk keluar dari divisi itu.
'Tolong aku, Tuhan. Jangan sampai lelaki itu menyiksaku. Aku tahu aku salah. Tapi, bukankah dia sendiri yang tidak menginginkanku? Kenapa harus selalu tidur dalam satu kamar jika dia tidak menginginkanku.'
Thania berucap dalam hatinya. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang dan keluar dari lift bersamaan dengan William yang sudah melangkah dengan lebar.
Mobil sudah terparkir di depan gedung tersebut. Keduanya lantas masuk ke dalam dengan sopir yang akan membawa mereka pulang.
"Pergi ke Surabaya akan diundur ke bulan depan. Aku ingin mengosongkan jadwalku selama dua minggu ke depan."
Thania kemudian menoleh kepada suaminya itu. "Kalau boleh tahu, kamu mau pergi ke mana, Mas? Selama dua minggu itu?" tanyanya ingin tahu.
William menghela napasnya dengan panjang. "Mami ingin kita bulan madu. Sepertinya dia sudah tidak sabar ingin melihatmu hamil."
Thania bingung. "Kapan, Mami bicara dengan kamu, Mas?" tanyanya lagi.
"Tadi siang, di telepon." William tidak bisa untuk berkata kasar karena meski hanya seorang sopir, tetap saja perlakuannya kepada Thania harus sebaik yang semua orang pikirkan.
William tidak ingin image-nya yang merupakan seorang pemimpin tegas, berwibawa dan baik hati tercoreng begitu saja hanya karena perlakuannya selama ini kepada Thania begitu kasar bahkan membuat Thania seringkali menangis karena ulahnya.
Thania tahu, dari raut wajah lelaki itu, ia menyimpan rasa kesal karena sedari tadi ia terus bertanya. Akhirnya memutuskan untuk diam dan menunggu sampai mereka sampai ke rumah.
Lima belas menit kemudian, keduanya sudah tiba di rumah. William melangkahkan kakinya dengan lebar seraya menarik tangan Thania agar segera masuk ke dalam kamar.
Brugh!
Lelaki itu mendorong tubuh Thania ke atas tempat tidur.
"Aww!" Thania meringis pelan. "Ada apa lagi sih, Mas?" pekiknya sudah tak bisa menahan sabarnya lagi.
"Kamu sudah membuatku marah, Thania!" pekik William tepat di depan wajah perempuan itu.
"Marah kenapa lagi? Karena aku bertanya kapan Mami menyuruh kita bulan madu? Jangan pikir kalau aku meminta Mami menyampaikan itu ya, Mas! Sama sekali aku tidak melakukan itu bahkan dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak menginginkan itu."
Plak!
William menampar wajah Thania karena banyak bicara. "Bukan karena bulan madu yang aku permasalahkan, Thania!" pekiknya kemudian menarik rambut panjang Thania agar melihat apa yang ia ketahui tentang kemarin malam.
"Kemarin malam kamu pergi ke apartemen. Bertemu dengan siapa? Hans? Ngaku, atau aku akan menghancurkan laki-laki itu!" pekiknya dengan tangan masih menjambak rambut Thania.
"A--aku ... aku hanya makan malam."
"Sama saja! Dasar, perempuan murahan! Tidak tahu diri! Sudah aku katakan berkali-kali pada kamu, jangan pernah menjalin hubungan dengan siapa pun selama pernikahan kita masih berjalan!" pekiknya tepat di depan wajah Thania.
Lelaki itu kembali mendorong tubuh Thania karena emosinya yang sedari tadi ia tahan. "Sekali lagi kamu kedapatan masuk ke dalam apartemen lelaki ini, bukan hanya kamu saja yang akan aku bunuh! Melainkan lelaki itu! Jangan buat malu keluargaku, Thania!" teriaknya lagi.
Thania kemudian beranjak dari tempat tidur dan mengarahkan tangan William pada lehernya.
"Bunuh! Bunuh saja aku, Mas! Tidak ada gunanya juga aku hidup!" pekiknya yang juga terbawa emosi karena ulah William.
"Hans adalah sahabat kecilku."
"Aku tidak peduli dia siapa di masa lalumu! Siapa pun pria itu, baik baru kamu kenali ataupun yang sudah kamu kenali, jangan pernah dekat dengannya!" ucap William.
Lelaki itu menatap Thania dengan manik mata tajamnya. "Apa saja yang kamu lakukan di sana, huh? Ngaku!"
Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak. Aku tidak melakukan apa pun dengannya, aku berani bersumpah. Kami hanya makan malam saja."
William menatap tegas wajah Thania. Tidak ada sesuatu yang dia sembunyikan kala menjawab pertanyaan darinya tadi.
"Jangan pernah menemuinya lagi! Aku tidak mengizinkan kamu bertemu dengan siapa pun lagi termasuk Winda! Selama kita menikah, kamu hanya fokus pada rumah tanggamu saja juga tugasmu sebagai sekretarisku di kantor.
"Lebih dari itu, aku akan menghukummu selama yang aku inginkan! Jika masih ingin hidup, lakukan tugasmu sebaik mungkin. Bukan kamu yang akan kubunuh, melainkan pria yang sudah berani membawamu ke tempatnya!"
William menjatuhkan tubuh Thania lagi dan mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering.
"Argh! Kenapa Mami tidak puas menghubungiku!" pekiknya kemudian terpaksa menerima panggilan itu.
"Kenapa, Mi?" tanyanya dengan suara lembutnya.
"Kamu sudah pulang, Nak? Malam ini, Mami ingin mengajak kamu dan Thania makan malam bersama. Sekaligus membahas bulan madu kalian."
"Oke, Mi. Jam tujuh, aku sudah tiba di sana. See you!" ucapnya kemudian menutup panggilan itu dan membuang asal ponselnya.
"Mami mengajak makan malam bersama. Mandi yang bersih, pakai pakaian yang rapi. Dan mulai detik ini, kamu akan diawasi oleh dua bodyguard-ku!"
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.