“Istrimu sepertinya gugup, Raymond. Harus lebih santai lagi.”
“Saya sepakat, Tuan.” Raymond menanggapi dengan suaranya yang biasa. Tangannya bergerak membimbing Velicia untuk minum. “Ayolah, Sayang, jangan tegang begitu.”
Velicia menahan emosi yang mulai bergolak dalam dadanya karena paksaan sang suami, apalagi di hadapan para atasan yang sejak tadi menatap Velicia seperti serigala lapar. Apakah Raymond tidak menyadari sorot mata mesum mereka?
Atau … pria itu memang tidak peduli?
Pada akhirnya, di bawah desakan semua orang dan tanpa pembelaan dari sang suami, Velicia menandaskan minumannya.
Para pria di hadapannya bersorak melihat gelas kosong yang berada di tangan istri Raymond. Keriuhan itu membuat Raymond merasa tersanjung, apalagi para petinggi di perusahaan tempatnya bekerja itu terus memujinya yang memiliki istri cantik nan penurut.
Sementara Velicia hanya diam merasakan dadanya seperti terbakar.
"Minuman ini akan saya persembahkan untuk wanita cantik yang paling bersinar di pesta!"
Tiba-tiba salah satu pria di antara mereka kembali berucap sambil memberikan sebuah gelas yang berisi minuman berwarna kuning keemasan pada Velicia.
Sepasang mata wanita itu membelalak.
“Lagi?” batin Velicia. Bukankah satu saja sudah cukup?
Tadi pria berdasi hitam itu yang memberikan minuman berwarna merah, dan sekarang pria berdasi marun ini yang memberikan dia minuman warna lain.
Apa tiga pria lainnya akan memaksaku minum lagi nantinya?
Bagaimana ia bisa bertahan hingga pesta berakhir?
“Oh, tidak diambil?” Pria berdasi marun itu tersenyum miring. Matanya berkilat licik. "Apa ini artinya niat baik saya ditolak?"
"Ah, bukan begitu, Tuan. Velicia hanya sedikit pemalu saja," ujar Raymond sambil merampas gelas di tangan istrinya, dan menggerakkan tangan sang istri untuk menerima gelas yang baru.
Velicia menatap tidak percaya pada suaminya. “Ray, aku tidak–”
Namun, Raymond kembali mengabaikan protes istrinya dan membuat Velicia menghabiskan minuman itu dalam sekali minum.
Sekumpulan para pria itu kembali bersorak, serta tidak henti-hentinya meneriakkan nama Velicia. Menghujani pujian yang bukannya membuat Velicia tersanjung, melainkan jijik.
"Kamu sungguh hebat, Velicia. Kami sangat bangga padamu. Saya persembahkan minuman ini hanya untuk bidadari hebat sepertimu," tutur pria lainnya dengan memberikan segelas minuman berwarna biru padanya.
“Tuan, saya sudah tidak sanggup.”
“Ayolah, satu lagi.”
“Ayolah, Velicia. Kamu terlihat sangat cantik ketika minum.”
Velicia berusaha menolak karena ia merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Sementara itu, Raymond justru tertawa melihat para atasannya sangat antusias.
Pria itu sama sekali tidak peduli pada Velicia yang tersiksa pada tuntutan para atasan tersebut.
Tanpa memikirkan yang lainnya, dia pun kembali memaksa sang istri untuk meminumnya dengan sekali tegukan.
Velicia hampir tidak bisa bernapas. Akan tetapi, dia mampu mengendalikan dirinya setelah mendengar bisikan sang suami di telinganya.
"Minum sampai habis."
"Jangan berhenti sebelum menghabiskan semuanya," sambungnya kemudian.
Setelah menghabiskan semua minuman itu, sorakan kembali terdengar riuh mengalahkan suara musik klasik yang mengalun indah dalam pesta mewah tersebut. Perut Velicia merasa mual, dan ingin memuntahkan seluruh isi dalam perutnya.
"Tahan!" bisik Raymond ketika melihat sang istri akan muntah. "Jangan muntah di sini! Kamu mau membuatku malu!?"
Sekuat tenaga Velicia menahan rasa mualnya. Lima … enam gelas, yang ia tegak begitu saja tadi.
Namun, sepertinya Raymond tidak peduli dengan jumlah minuman keras yang dipaksa masuk ke dalam tubuh Velicia, ataupun kenyataan bahwa saat ini Velicia tengah sekuat tenaga menahan dirinya agar tetap berdiri dan sadar.
Pria itu justru dengan santainya berbincang dengan para atasan dan tertawa pada candaan yang bosnya lemparkan.
“Katanya istrimu tidak kuat minum. Tapi nyatanya sekarang dia masih berdiri tegak begitu.”
“Betul. Istrimu bohong buat jaga imej ya, Ray?”
“Ah, tidak. Memang kadang dia suka merendah. Tapi sebenarnya dia mampu.” Raymond tertawa. “Memang selayaknya istri Raymond Davis.”
Mata Velicia memejam saat merasakan sensasi panas menyebar di perutnya, terus naik ke dada.
“Oh, Sayang. Aku harus menyapa seseorang. Kamu tunggu di sini dan temani Tuan-Tuan ini ya. Aku tidak akan lama.”
Sepasang mata Velecia baru terbuka saat Raymond mengatakan hal itu. Sontak, tangannya menggenggam lengan sang suami.
“Aku ikut,” bisiknya. Kenapa tiba-tiba ia ditinggalkan? Bukankah Raymond ke sini untuk memamerkannya? Sampai Velecia harus menyuguhkan adegan hiburan seperti tadi?
Kenapa Raymond justru menyuruhnya bersama para pria ini?
“Jadilah istri yang baik dan tunggu aku di sini.” Raymond menarik tangannya. Lalu pada para atasannya, ia berkata dengan sopan, “Saya permisi sebentar.”
Velicia menatap punggung suaminya yang berjalan semakin jauh darinya. Bahkan ia tidak melihat ada kekhawatiran sama sekali dari suaminya.
Hatinya sakit sekali. Memang selama ini ia bukan istri yang baik? Bukankah Velicia selalu mendengarkan dan melaksanakan apa kata suaminya?
“Tidak perlu sedih begitu,” ucap salah seorang pria yang merupakan atasan Raymond. Sosok itulah yang pertama kali menyuruhnya tadi. Kenzo namanya. “Bukankah di sini ada banyak pria lain yang bisa menjagamu?”
Sepasang mata Velicia terbelalak. Apalagi saat lengan pria itu melingkari pinggulnya.
Buru-buru Velicia menarik diri. Namun, meski ia sukses melepaskan diri, seorang pria lain sudah menyambutnya. Kali ini pria itu merangkul pundaknya dan menariknya mendekat.
“Tuan-Tuan, mohon jangan seperti ini,” ucap Velicia, akhirnya bersuara. Ia kembali menghindar, menahan diri agar tidak langsung menendang atau menyakiti atasan suaminya itu dengan cara apa pun.
“Oh, memang harusnya bagaimana?” Kenzo kembali berucap sembari mencekal pergelangan tangan Velicia dan menarik gadis itu ke arahnya. “Seperti ini?”
Velicia terkesiap, apalagi saat ia merasakan tangan pria itu menyentuh pantatnya, lalu meremasnya pelan. Belum sempat ia menarik diri, pria itu sudah mendekatkan wajahnya pada leher Velecia, membuatnya bisa mendengar napas Kenzo yang berat.
Tidak … ia tidak boleh diam saja!
Velicia melihat sekeliling, mencari jalan keluar. Akan tetapi yang bisa ia temukan hanyalah tatapan melecehkan dari para atasan suaminya tersebut.
Bahkan suaminya saja tidak kelihatan ada di mana.
“Ray menitipkanmu pada kami. Jangan khawatir, kami akan menjagamu dengan baik.”
Ucapan itu membuat Velecia menggeleng kuat-kuat.
Beruntung untuknya, tiba-tiba, salah seorang asisten menghampiri pria yang tengah merangkulnya dan berbisik, “Tuan, Presdir sudah datang.”
Segera, Velicia menarik diri dan bergumam, “Mohon maaf, saya permisi mau ke toilet.”
Tanpa menunggu respons yang lain, Velicia melepaskan diri dan menjauh dari kerumunan. Untungnya juga, tidak ada yang mencegahnya.
Velicia tidak peduli jika Raymond akan mengutuknya nanti. Ataupun menghukumnya di rumah. Sudah untung Velicia tidak menggigit ataupun menendang orang yang melecehkannya tadi.
Mengingatnya membuat tubuh Velicia bergetar dan ingin menangis. Hatinya sakit–lebih sesak lagi saat tidak mengetahui Raymond tidak ada di mana-mana.
Velicia memutuskan untuk keluar dari aula dan menyusuri lorong yang lebih sepi.
Lalu tiba-tiba Velicia merasakan tubuhnya limbung dan ia harus bersandar pada dinding koridor agar tidak jatuh.
Detik itulah, Velicia mendengarnya.
“Raymond–Sayang, ah! Lebih cepat lagi–”
Seketika tubuh Velicia membeku. Hawa dingin merambati tengkuknya.
“Tidak,” gumam wanita itu. Yang dimaksud pasti bukan suaminya. Suaminya mustahil melakukan hal itu ketika Velicia sudah memberikan semuanya. “Tidak mungkin–”
“Aaahh … Sandra. Tubuhmu nikmat sekali….”
Tubuh Velicia nyaris meluruh ke lantai. Itu suara suaminya ….
"Bagaimana bisa kamu bercerai dalam keadaan hamil, Ve?" tanya Edward yang duduk di depan putrinya. Velicia merasa seperti sedang disidang oleh kedua orang tuanya. Di hadapan pasangan suami istri paruh baya itu, Velicia dan Arion menceritakan apa yang terjadi di malam pertemuan mereka yang tidak disengaja pada acara pesta perusahaan. "Jadi kalian--"Arion bergerak cepat untuk berdiri dari duduknya dan berlutut di hadapan prang tua Velicia."Maafkan saya, Pa, Ma. Saya tahu, jika tidak layak untuk memberi alasan pembelaan diri, tapi saya akan bertanggung jawab penuh dengan menikahi Velicia. Saya mencintai Velicia. Dari dulu hingga sekarang, rasa cinta saya tidak berkurang sedikit pun untuknya. Terlebih lagi ada bayi dalam kandungan Velicia yang merupakan benih cinta kami berdua. Jadi, saya mohon pada Mama dan Papa untuk merestui niat tulus saya ini," pintanya dengan tulus sambil menatap pasangan suami istri paruh baya itu secara bergantian.Edward dan Sophia saling memandang. Mereka ti
Semua pasang mata mengarah pada sosok yang berdiri di depan pintu. Sosok tersebut berjalan menghampiri mereka. "Velicia?!" Raymond terperangah melihat sosok wanita yang berhasil memporak porandakan hati dan pikirannya. Pasalnya, sejak sang istri pergi dari rumah, Raymond sangat frustasi karena tidak bisa menemukannya di mana pun. Kini, ia seolah tidak percaya sang istri berada di hadapannya.Velicia menatap tidak suka pada Raymond yang masih dalam posisi duduk di tempatnya. Sorot matanya begitu tajam seolah siap mengulitinya saat itu juga."Ada perlu apa kamu datang ke rumah orang tuaku? Bukankah kita sudah tidak ada urusan lagi?" tanyanya dengan ketus.Raymond berdiri dari duduknya, dan meraih tangan Velicia untuk mencoba meluluhkan kembali hatinya. Velicia menarik tangannya, dan berusaha untuk menghindarinya saat tangan mantan suaminya kembali ingin menggapainya."Aku datang untuk mencari mu, Sayang," jawab Raymond dengan tatapan mengiba pada mantan istrinya.Velicia tersenyum mi
"Mama?!" celetuknya ketika melihat wanita paruh baya yang beberapa saat lalu telah bertemu dengannya di rumah."Kenapa Mama ada di sini?" tanyanya kemudian.Anna menatap sinis pada dua orang paruh baya yang sedang duduk di hadapannya. Sepasang suami istri paruh baya itu terlihat sungkan dan tidak nyaman ditatap sinis olehnya. "Masih perlu Mama jelaskan kenapa ada di sini?" Jawabnya dengan sewot.Raymond berjalan menghampirinya tanpa dipersilahkan masuk oleh si pemilik rumah tersebut. Dia duduk di dekat sang mama, dan berbisik di telinganya,"Biar Ray yang urus. Lebih baik Mama pulang saja sekarang, dan cari tahu apa pengacara Kakek tahu tentang ini."Seketika kedua mata yang memiliki sedikit garis kerut dibawahnya, membelalak. Jujur saja dia tidak terpikirkan sama sekali untuk mencari tahu pada pengacara sang kakek. 'Benar juga. Bisa kacau jika pengacara sialan itu tau yang sebenarnya,' batinnya menggerutu.Sepasang mata ibu dan anak itu saling bertatapan. Anna mengangguk, membenark
Raymond terlihat lesu duduk di sofa ruang tamu dengan penampilan berantakan. Kemeja kerjanya kusut dengan satu kancingnya yang terbuka. Dasi dan jasnya masih berada di atas sofa semenjak dilemparnya semalam, ketika akan keluar mencari Velicia. Rambutnya sangat jauh berbeda dari gayanya sehari-hari. Rambut yang biasanya rapi, kini menjadi berantakan, tidak beraturan layaknya orang yang sedang frustasi.Dia menghabiskan malamnya untuk mencari Velicia yang sedang mengandung, dan kini telah berstatus sebagai mantan istrinya. Raymond sangat menentang hasil perceraian tersebut. Baginya hasil persidangan tanpa kehadirannya tidak akan sah meskipun sudah tercatat resmi menurut pengadilan dan negara. "Raymond!""Ray!""Buka pintunya!"Mata Raymond yang sedikit terpejam, seketika terbuka lebar. Dia bergegas berjalan cepat menuju pintu, berharap Velicia lah yang datang dan memanggil namanya.Senyuman sumringahnya seketika musnah, berganti dengan wajah datar yang menyembunyikan rasa kesal pada so
Raymond berjalan dengan lesu. Langkahnya terasa berat masuk ke dalam rumahnya. Dia menghela napas mendapati rumahnya yang terasa hening dan sepi. Bahkan terlalu kosong untuk rumah yang masih berpenghuni.Lagi-lagi dia merasa kesepian. Sepasang matanya menatap ke arah kamar belakang yang pintunya dalam keadaan tertutup."Pasti dia sudah tidur," gumamnya tidak bersemangat.Tidak dipungkiri sejak Velicia dinyatakan sedang mengandung, wanita itu selalu saja mudah mengantuk, sehingga Raymond tidak memprotesnya. Berbeda dengan sebelumnya yang harus ada setiap kali dibutuhkan oleh Raymond. Bahkan sebelum Raymond tertidur pulas, Velicia dilarang untuk tidur mendahuluinya.Pandangan mata Raymond tertuju pada sebuah amplop besar berwarna coklat yang berada di atas meja makan. Merasa sangat penasaran, dia pun bergegas mengambilnya. Seketika matanya terbelalak melihat lembaran isi dari amplop tersebut. "Tidak. Ini tidak mungkin," ucapnya sambil membaca lembaran itu secara teliti.Berkali-kali Ra
Di tengah kesibukan Raymond menyiapkan pernikahannya, Velicia menyiapkan kepergiannya dari rumah mereka. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menerima surat resmi perceraian mereka yang diurus oleh pengacara Arion.Siang ini, Arion mengajak Velicia untuk bertemu di tempat biasanya. Dengan hati berdebar, Velicia menunggu kedatangan mantan kekasihnya itu, berharap pria tersebut membawa berita baik untuknya."Ini. Bukalah," ucap Arion sambil meletakkan sebuah amplop besar berwarna coklat di atas meja."Apa ini?" tanya Velicia pada mantan kekasihnya yang duduk di hadapannya.Arion tersenyum menggodanya. "Bukalah. Kamu pasti akan senang melihatnya," jawabnya dengan mantap.Velicia menatap serius padanya. "Di dalam amplop itu ada sebuah hadiah yang aku persembahkan untuk ibu anakku," imbuh Arion kemudian."Apa mungkin ...." Perkataan Velicia tidak dapat diselesaikannya. Dia mendapatkan anggukan kepala dari Arion. CEO muda itu membenarkan pikiran mantan kekasihnya.Dengan tangan gemetar V