Gauri tidak mengerti kenapa dia malah terjebak di sini. Ya. Di rumah Satya bersama pria itu dan orangtuanya. Tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Hal yang membuat Gauri malah makin gugup.
"Gauri?" Hingga suara lembut Ibu Satya; Indah, memanggil Gauri membuat wanita itu mendongak.
"Iya, Bu," jawab Gauri dengan rasa gugup yang masih mendominasi. Tangan wanita itu saling meremat satu sama lain. Sungguh rasanya seperti sedang disidang.
"Kamu gak ngidam apa-apa, Nak?" tanya Indah kini beralih duduk di samping Gauri sambil mengelus tangan wanita itu lembut.
Oh iya. Gauri lupa jika semua orang tahunya dia sedang hamil. Gauri melirik ke arah Satya seakan bertanya apa yang harus dia katakan. Namun pria itu justru tersenyum tipis.
Dasar pria menyebalkan.
Gauri merubah ekspresi wajahnya saat menoleh kembali ke arah Ibu Satya.
"Gak kok, Bu. Gauri gak ngidam apa-apa," jawab Gauri tersenyum.
"Beneran? Kamu gak usah malu, Nak. Kalau memang ada yang kamu mau langsung bilang saja sama Ibu, Ayah atau Satya, yah," kata wanita paruh baya itu dengan nada membujuk.
Ada perasaan senang dan bersalah melanda Gauri sekarang. Senang karena ternyata Ayah dan Ibu Satya orang yang sangat baik. Merasa bersalah karena semua ini hanya sebuah kebohongan.
"Iya, bener kata Ibunya Satya. Kalau memang ada yang kamu mau bilang saja, yah," kata Ayah Satya, Haryo, menambahkan. "Oh iya dan soal pernikahan ... kamu tenang saja secepatnya kami akan mengurus semuanya."
Gauri bergeming. Apakah dia sungguh siap untuk menikah? Dengan Satya pula.
Ya Allah! Semoga keputusanku gak salah. Jerit batin Gauri frustasi.
"Ya udah sekarang kamu diantar pulang dulu sama Satya, yah," lanjut Pak Haryo.
Gauri hanya mengangguk pelan sementara Satya beranjak untuk mengambil kunci mobilnya. Mereka kemudian pamit pada Indah dan Haryo sebelum beranjak. Sebisa mungkin Gauri tetap tersenyum karena kedua orang Satya pun demikian. Gauri tidak tahu apakah itu hanya senyum palsu untuk menutupi perasaan mereka yang sesungguhnya atau justru merekalah yang menginginkan semua ini. Menjebak Gauri dalam posisi yang sangat sulit.
'Astagfirullah! Aku gak boleh suuzan sama orangtua Kak Satya.' Batin Gauri menggeleng pelan menyingkirkan segala prasangka buruk tak mendasar itu.
Yang harus Gauri curigai hanya pria yang sedang mengemudikan mobil di sampingnya itu. Gauri tidak boleh terbawa emosi serta perasaan untuk mengetahui apa tujuan sebenarnya pria itu.
"Liatinnya gak usah sampai begitu, Ri. Saya jadi gugup, loh," ujar Satya tiba-tiba. Dia sampai harus menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tatapan tajam Gauri sungguh membuatnya kikuk.
Gauri mendengus pelan, melipat kedua tangan di dada lalu menoleh ke arah depan. Tinggal satu belokan lagi maka mereka akan sampai di depan rumah Gauri. Sedikit heran saat melihat ada beberapa buah motor yang terparkir di depan rumah. Gauri sangat mengenali motor-motor itu. Sayup terdengar tangis seseorang dari dalam rumah. Gauri mempercepat langkahnya untuk membuka pintu.
"Assalamualaikum!" ujar Gauri memberi salam dengan sedikit tergesa-gesa.
Tubuh Gauri sejenak membeku saat melihat apa yang terjadi. Ibunya tengah menangis keras. Di samping sang ibu dua paman Gauri sedang mencoba menenangkan. Clara juga ada di sana. Mereka semua tengah menatap Gauri dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ibu?" panggil Gauri lirih. Baru saja dia berniat ingin menghampiri Maria, wanita itu sudah lebih dulu menghampirinya.
Plak!!!
Satu tamparan keras dilayangkan Maria. Untuk pertama kalinya dalam hidup di menjatuhkan tangan pada putri semata wayangnya itu. Senakal apapun Gauri, Maria terbiasa menasehatinya saja namun kali ini perbuatan Gauri telah membuat Maria sangat kecewa. Dua paman Gauri pun sangat kaget namun tak menghentikan Maria.
"Apa salah Ibu sama kamu, Gauri? Kenapa kamu tega bikin Ibu kecewa, huh?!" marah Maria memukul punggung Gauri berkali-kali.
"Ibu, de--dengerin Gauri dulu!" Gauri sampai kesulitan berbicara karena ibunya terus memukulnya. Hingga Satya menarik tubuh Gauri untuk berdiri di belakangnya.
"Bu, tolong jangan sakiti Gauri," kata Satya menghalangi Maria untuk memukul Gauri.
Bugh!
"Oh jadi kamu yang sudah membuat keponakan saya jadi nakal, huh?!" bentak salah satu paman Gauri yang bertubuh besar; Darma, setelah memukul wajah Satya membuat pria itu hampir terjatuh namun masih bisa ia tahan. Dia tidak boleh terjatuh agar tetap bisa melindungi Gauri karena Satya sudah menduga hal seperti ini akan terjadi.
Sejauh ini hanya Darma yang berhasil memukul Satya dari sekian banyak orang yang ingin memukul pria itu.
Satya menoleh dengan keadaan bibirnya yang sudah pecah hingga mengeluarkan sedikit darah.
"Maafkan saya, Pak. Anda boleh memukul saya atau apapun itu terserah Bapak. Tapi, saya mohon tolong jangan sakiti Gauri. Karena semua yang terjadi mutlak karena kesalahan saya," kata Satya dengan nada rendah namun terkesan tegas.
"Tentu saja ini semua karena salah kamu! Saya sudah mendidik keponakan saya untuk menjadi wanita yang baik tapi kamu malah merusaknya! Dasar pria brengsek!" ujar Darma akan memukul Satya lagi namun dihalangi oleh satu lagi paman Gauri, Agung.
"Sudah, Bang. Semuanya sudah terlanjur terjadi," kata Agung mencoba menenangkan kakaknya.
"Argh! Sial!" umpat Darma mendengus kesal menendang kursi sebagai pelampiasannya.
Sementara Maria yang masih menangis dibawa Clara untuk duduk. Wanita itu seperti akan pingsan jika terus bertahan di sana.
"Saya pasti akan bertanggung jawab dengan menikahi Gauri secepatnya," kata Satya dengan nada begitu yakin.
"Kamu pikir dengan menikahi Gauri akan membuat nama baik keluarga kami yang sudah terlanjur tercoreng akan kembali baik lagi, huh?!" tanya Darma menatap nyalang Satya. Namun hal itu tak membuat Satya menundukkan kepalanya. Dia tetap tegap berdiri di sana.
"Mungkin tidak. Namun setidaknya jika saya menikahi Gauri, tidak akan timbul masalah lain lagi," kata Satya.
"Ah, terserah kalian saja. Saya sudah muak!" kata Darma memilih untuk meninggalkan mereka.
Agung yang mempunyai pembawaan lebih tenang hanya menghela napas melihat tingkah kakaknya. Dia pun marah dan kecewa namun dia tahu jika amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Pria berusia sekitar ujung tigapuluhan itu lalu menoleh ke arah Satya dan Gauri. Tidak ada ekspresi berarti yang ditampilkannya sebelum ikut berlalu menyusul Darma.
Satya menghela napas lega. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya berbalik menatap Gauri khawatir.
Dasar bodoh! Padahal keadaan Satya lebih parah dari Gauri. Wanita itu bergeming hanya melihat Satya dengan tatapan yang sulit diartikan. Gauri dilema. Sungguh.
Apa yang baru saja terjadi kembali membuatnya bingung. Kenapa sandiwara yang ia sepakati dengan Satya terasa begitu nyata? Seakan tidak ada kebohongan di dalamnya. Sikap serta kata-kata Satya terdengar begitu meyakinkan seolah mereka sungguh dalam situasi sebenarnya.
"Aku gak apa-apa," jawab Gauri setelah beberapa saat berperang sendiri dengan pikirannya.
Satya tersenyum simpul lalu berkata, "Alhamdulillah kamu gak apa-apa, Gauri. Kamu tenang aja saya akan selalu melindungi kamu ... mulai sekarang."
Ya Allah! Bukankah Gauri sudah mengatakan untuk tidak menggunakan perasaannya namun kenapa cobaannya begitu berat?
Tbc.....
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba