“Apa kamu sudah tak mau lagi tinggal di rumah kayu ini?” tanya Mas Bambang. “Kamu menyesal menikah denganku, karena aku tak bisa memberimu rumah gedong seperti Kirno?”
“Bukan begitu, Mas. Aku hanya ingin hidup kita meningkat. Kalau ada kesempatan pekerjaan yang lebih menjanjikan, kenapa tidak diambil?” jawabku.
“Memangnya kamu sudah nanya sama Kirno soal pekerjaan itu?”
“Belum, Mas. Kalau Mas setuju, nanti akan kutanyakan padanya.”
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu disusul suara Kirno mengucap salam. Mas Bambang yang duduk dekat pintu membukanya. “Tuh orangnya datang, Mas,” ucapku.
“Kamu rupanya, Kir? Ada apa, tumben berkunjung,” sambut Mas Bambang pada Kirno saat ia sudah duduk bersama kami.
“Anu, Mas. Aku mau minta maaf sama Kak Dewi. Tadi Citra udah ngerepotin Kak Dewi,” ucap Kirno seraya melirikku.
Aku tahu yang dimaksud Kirno adalah permintaan maaf atas sikap dan perkataan Citra tadi, namun aku memilih diam dan tak memberitahu Mas Bambang kejadian yang sebenarnya. Kirno mau datang ke sini untuk meminta maaf padaku saja, aku sudah senang.
“Merepotkan apa, memangnya?” tanya Mas Bambang.
“Itu lho, Mas. Tadi kan orangtuaku datang, terus Citra minta tolong Kak Dewi untuk ngupasin buah salak dua kilo, dan juga membuatkan manisannya untuk jamuan Ibu. Maklum, Mas tahu sendiri Citra seperti apa sampai ngupas salak aja minta tolong Kak Dewi,” jawab Kirno.
“Oh, kalau masalah itu ya gak apa-apa. Dewi memang harus membantu adikku. Kasihan Citra kan terbiasa dilayani Ibu, sekarang sudah nikah dibawa kamu suaminya, otomatis dia jadi keteteran ngerjain apa-apa sendiri. Ya, kita harus maklum lah, Citra itu ya kayak gitu anaknya.” Mas Bambang membela Citra di hadapanku, membuatku bertambah kesal.
Seandainya Mas Bambang tahu bagaimana sifat Citra yang sebenarnya, aku yakin dia pun akan marah.
“Ya begitulah, Mas,” respon Kirno.
“Terus, sekarang mertuamu mana?” tanya Mas Bambang.
“Sudah pulang, Mas. Tadi pas Mas datang, mereka pulang.”
“Oh, yang mobil hitam tadi itu? Kenapa gak mampir dulu ke sini?” tanya Mas Bambang.
Aku dan Kirno saling berpandangan sejenak. Mas Bambang menanyakan kenapa mertuanya Citra tak mampir ke sini, apa harus aku jawab saja yang sebenarnya bahwa Citra tak mau mertuanya mengungjungi rumah kayuku karena malu?
“E—eh, itu … itu karena tadi sudah sore banget, Mas. Jadi aku nyuruh Ibu dan Bapak cepat-cepat pulang, takut kemaleman. Soalnya kalau malem, penglihatan Bapak buram, bahaya kalau Bapak nyetir malam-malam,” jawab Kirno secepat kilat.
“Oh, begitu. Lain kali kalau ada saudaramu berkunjung, suruh mampir ke sini. Sesama saudara harus saling mengunjungi. Pintu rumah ini terbuka lebar kok untuk kalian. Mas bisa pahami, mungkin keluargamu belum tahu kalau aku dan Dewi adalah kakak iparmu, jadi sudah semestinya nanti kamu memberitahu mereka,” balas Mas Bambang dengan nada menasehati.
“Iya, Mas. Lain kali akan kuajak mereka ke sini,” ucap Kirno.
Wajah Kirno telihat sedih, mungkin kata-kata Mas Bambang menyentil hatinya.
Selanjutnya Mas Bambang dan Kirno berbincang tentang pekerjaan, sementara aku minta izin untuk menjemput Azfar di tempat pengajian.
*
Sepulang dari tempat pengajian Azfar, anak lelakiku itu langsung tidur pulas di kamarnya. Entahlah, tadi kupegang keningnya terasa hangat dan suaranya juga agak serak. Mungkin dia flu. Aku hanya memberinya minum air hangat dan menyuruhnya tidur. Kalau lagi sakit, Azfar tak seaktif biasanya, dia akan menurut setiap yang kukatakan.
Setelah menidurkan Azfar, aku langsung menghampiri suamiku di dapur. Setiap malam, aku dan Mas Bambang membungkus sayuran ke dalam plastik kecil sesuai jenisnya. Misal buncis seperempat kilogram, wortel sperempat kilogram, dan lain-lain. Selain itu, kami juga membungkus sayuran mentah untuk sayur sop, sayur asem, capcay, dan jamur. Namun, rupanya malam ini berbeda, kami bukannya membungkus sayuran-sayuran itu, tapi malah mengeluarkan isinya.
Hampir semua sayuran yang sudah dua hari gak laku itu mulai mengeluarkan lendir lengket dalam plastik. Bahkan, banyak pula yang membusuk. Kami mengeluarkannya, berusaha menyelamatkan sisa-sisa sayur yang masih bisa dimasak.
“Besok Mas gak bisa jualan, Dek. Modal kita habis. Untuk makan ada uang tabungan, kan?” tanya Mas Bambang.
“Ada, Mas. Tapi uang itu mau kupakai untuk berobat Azfar. Dia sakit, Mas. Batuk pilek,” jawabku.
“Memangnya tabunganmu itu ada berapa?”
“Seratus lima puluh ribu. Yang lima puluh ribu untuk berobat, lima puluh ribu lagi untuk membeli beras, sisanya untuk bekal makan kita. Itu juga kalau gak kepotong beli token listrik,” jawabku sambil membantu Mas Bambang mengangkat keranjang sayur dan menyimpannya ke atas bangku.
Pikiranku sebenarnya kacau. Uang sisa sedikit dan itu pun akan segera terpakai, sedangkan Mas Bambang tak bisa jualan. Entah kapan kami punya modal lagi untuk berjualan. Kalau sudah begini, yang bisa kulakukan hanyalah pasrah.
“Kuku jari tanganmu kenapa lecet-lecet begitu?” Tiba-tiba Mas Bambang memperhatikan kukuku.
Aku pun menceritakan kejadian tadi siang. Tentang Citra yang menyuruhku mengupaskan dua kilo salak untuk mertuanya, juga tentang Citra yang mengakuiku hanya sebagai tetangga pada mertuanya.
“Jadi gitu, Mas, ceritanya. Citra ngaku-ngaku sudah ngupasin salak itu, padahal kan aku yang ngupas! Yang lebih menyakitkan lagi, dia mengaku pada mertuanya kalau dia gak punya saudara di sini, bahkan dia hanya mengakui kita sebagai tetangganya saja, bukan saudara! Itulah kenapa tadi mertuanya gak mampir ke rumah kita. Bukan hanya mertuanya Citra, setiap ada anggota keluargamu yang datang ke kampung ini, mereka selalu melewati rumah kita dan hanya mau mengunjungi rumah Citra saja!” Aku mengadu pada Mas Bambang.
Kuharap Mas Bambang dapat merasakan sesaknya hatiku dipandang sebelah mata oleh keluarga, hanya karena aku orang tak punya yang tinggal di rumah kayu.
“Diam kamu, Dewi! Mas sudah tahu kenyataan bahwa kita dipandang sebelah mata oleh keluarga. Kita orang miskin. Mas paham itu! Tapi jangan sekali-kali kamu berani membicarakan sikap Citra padaku! Aku sangat menyayangi adik perempuanku itu! Justru kamu harus selalu membantunya, Dewi!” bentakkan Mas Bambang hampir saja memecahkan gendang telingaku.
Hatiku semakin sakit, lebih sakit diteriaki oleh suamiku sendiri daripada tak dianggap saudara oleh Citra. Meskipun tak ada yang lebih baik diantara keduanya. Ya Alloh, jika aku hina di mata manusia, semoga aku tidak demikian di mata-Mu. Batinku menjerit mengadu pada-Nya. Hanya itu yang dapat kulakukan, saat suamiku sendiri lebih membela adiknya yang menyebalkan ketimbang aku istrinya.Setelah meneriakiku, Mas Bambang meninggalkanku sendiri di dapur bersama sayuran busuk yang bau dan berantakan. Dia kesal karena aku membicarakan Citra padanya, aku pun tak tahu responnya akan diluar dugaan seperti ini. Kukira dia akan simpati mendengar ceritaku, tapi malah sebaliknya. Tanpa bicara, Mas Bambang menutup gorden kamar dengan kasar hingga suara kain tebal dan panjang yang tersibak itu terdengar menakutkan di telingaku. Ya, kamarku tak memakai daun pintu, hanya dipasangi kain gorden sebagai penutupnya. Itu pun pemberian tetangga yang merasa kasihan padaku saat kami pertama kali pindah ke
Menjelang siang aku sudah mulai beristirahat dan sedikit tenang karena Azfar panasnya mulai reda. Ia juga tertidur lelap setelah minum obat.Semalam aku dan Mas Bambang menggendong Azfar ke rumah Mang Asep—tukang ojeg. Kami terpaksa mengetuk pintu rumahnya malam-malam untuk minta diantar ke dokter yang buka praktek di kota. Beruntung Mang Asep mau membantu. Aku dan Azfar akhirnya naik ojeg ke rumah dokter, sementara Mas Bambang pulang lagi ke rumah.Kalau diingat kejadian semalam itu rasanya aku ingin menangis lagi. Apalagi hingga saat ini aku dan Mas Bambang masih belum bertegur sapa. Dia menyuruhku untuk minta maaf ke Citra karena sudah mengganggu tidurnya tadi malam. Kalau aku tak mau minta maaf, suamiku itu mengancam tak akan bicara padaku lagi. Dan sampai sekarang aku belum mau minta maaf pada adik iparku itu, hatiku masih sakit karena dia tega mengabaikan permintaan tolongku tadi malam.Sekarang Mas Bambang sedang ikut mencangkul di ladang Kirno. Selain membeli rumah gedong, Kir
Dari seberang telepon sana, mereka mengolok-olokku, terdengar puas menertawakanku.“Dewi, kami punya oleh-oleh untuk Azfar. Cepat sini!”“Maaf, Bu. Aku gak bisa. Azfar lagi tidur, aku gak mungkin ninggalin Azfar sendiri di rumah,” jawabku.“Gak apa-apa, sebentar aja. Mama mau ngasih oleh-oleh buat Azfar,” paksa Ibu Mertua, langsung memutus sambungan telepon.Itu artinya dia gak mau tahu, aku harus menuruti perintahnya. Jika tidak, Ibu Mertua akan marah dan mengadu pada Mas Bambang kalau aku melawan. Kemudian Mas Bambang akan mendiamkanku berminggu-minggu. Aku tak mau kalau sampai itu terjadi, karena tak enak rasanya bermusuhan dengan suami. Akhirnya aku berangkat juga menuju rumah Citra.Terpaksa kutinggalkan anakku yang tengah tertidur dalam keadaan sakit. Tak mungkin aku membangunkan Azfar dan mengajaknya ke rumah Citra. Akan lebih baik jika aku membiarkannya tidur, lagipula rumahku dan Citra sebelahan, dan aku tak berniat lama-lama di sana. Aku akan langsung pulang setelah menyalam
Aku sangat keberatan menuruti perintah Ibu Mertua yang satu itu, jelas aku tak mau minta maaf pada Citra. Aku tidak salah.“Ya sudah, Bu. Jangan dipaksa, kasihan,” kata Citra sambil melirikku. “Kalau memang Kak Dewi gak mau minta maaf, gak apa-apa kok. Aku sudah maafkan Kak Dewi walau tak diminta,” lanjutnya sambil menggandeng tanganku. Membuatku mual saja mendengar kata-katanya.“Ya ampun, Citra … hatimu sungguh mulia sekali. Kamu memang anak Mama dan Ayah yang paling baik. Pasti Ibu Mertuamu senang punya menantu seperti kamu, dan pasti dia sayang sama kamu.” Ibu mertua memuji Citra.Aku menahan kegeraman dalam dada ini. Haduh, rasanya ingin pecah gendang telingaku mendengar omong kosong itu!Tak tahan lama-lama berada di antara mereka, aku pun segera pamit.“Kalau begitu saya pulang dulu ya, takut Azfar bangun dan nyariin saya,” ucapku.Saat aku hendak berdiri, Ayah Mertua cepat-cepat memberiku sebuah paperbag besar, entah apa isinya. Mungkin oleh-oleh. Namun, Ibu Mertua segera mene
Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia
“Sekali lagi kamu ngomong jelek tentang Citra dan orangtuaku, aku gak akan segan menamparmu! Inilah caraku mendidikmu, kamu tidak boleh jadi menantu dan kakak ipar yang durhaka seperti kebanyakan orang! Kamu istriku, kamu harus bersikap baik pada keluargaku!” tegas Mas Bambang. Dia menghakimiku tanpa mau mendengarkan ceritaku terlebih dulu. Ya Alloh, Gusti Nu Maha Suci. Semoga Engkau membukakan mata dan hati suamiku, agar ia dapat melihat dan menyadari siapa yang salah dan siapa yang benar. Engkau tahu aku tak punya hati jahat pada semua orang, apalagi pada keluarga suamiku. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka, hanya saja Engkau tahu sendiri Ya Alloh, mereka yang memperlakukanku tidak baik sehingga membuatku kesal. Aku hanya bisa mengadu pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang mau mendengar keluh kesahku. Dengan perasaan sakit dan bercucuran air mata, aku berlari ke kamar. Kutinggalkan Mas Bambang dengan kemarahannya sendiri. Aku lebih tenang bersama anakku sekarang, berbarin
Aku menyikut suamiku, berharap dia segera menarik kembali kata-kata itu. Tak sudi aku dititipi adik ipar macam Citra. Mending kalau dia tahu berterimakasih, yang ada dia akan membalas keringatku dengan menghina. Mas Bambang menepis tanganku. Dia semakin menunduk patuh pada ibunya.“Ya sudah, kami berangkat dulu ya,” Kata Ibu Mertua seraya masuk ke dalam mobil. Ayah mertua menyetir, aku tak sempat mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Namun sepertinya Ayah Mertua dapat mengerti maksud hatiku, ia melempar senyum dan mengangguk padaku dari dalam mobil. “Mas, aku minta sayurannya, ya. Tiba-tiba aku ingin makan sama tumis kangkung dan terong balado,” kata Citra pada Mas Bambang setelah mobil mertua menjauh. “Beli, Mas,” ucap Kirno meralat perkataan istrinya. “Sama kakak sendiri masa beli sih, Mas? Lagian kan sayuran itu dibeli Kak Bambang dari uang Papa,” bantah Citra, yang direspon Kirno dengan geleng-geleng kepala. Pasti Kirno kewalahan mendidik Citra. “Iya, nanti Kakak pisahin p
Kutarik tali itu, berat sekali. Aku penasaran apa isi paperbag ini. Setelah berhasil menarik paperbag dari bawah rak piring, aku segera menggunting ujungnya yang dilem. Jantungku deg-degan, sepertinya aku punya firasat buruk. Aku jadi teringat saat pertama menikah dengan Mas Bambang, di malam pertamaku tinggal bersama mereka, Citra dan ibu mertua memberiku kado pernikahan dalam sebuah dus besar yang terasa berat sekali. Kukira isinya istimewa dan barang berharga, ternyata setelah kubuka isinya hanya daun-daun kering dan bongkahan batu. Aku sangat tak menyangka dan terkejut sekali saat itu, karena aku disambut oleh adik ipar dan mertuaku dengan cara yang tidak menyenangkan. Sampai saat ini rasanya aku tak percaya ada orang yang seperti itu di dunia ini, dan aku juga rasanya tak percaya mengalami hal di luar logika itu. Ibu Mertua dan Citra tak menyukaiku karena aku bukanlah pilihan mereka. Sebelumnya mereka menjodohkan Mas Bambang dengan seorang janda kaya. Namun Ayah Mertua tak s