Hatiku semakin sakit, lebih sakit diteriaki oleh suamiku sendiri daripada tak dianggap saudara oleh Citra. Meskipun tak ada yang lebih baik diantara keduanya.
Ya Alloh, jika aku hina di mata manusia, semoga aku tidak demikian di mata-Mu.
Batinku menjerit mengadu pada-Nya. Hanya itu yang dapat kulakukan, saat suamiku sendiri lebih membela adiknya yang menyebalkan ketimbang aku istrinya.
Setelah meneriakiku, Mas Bambang meninggalkanku sendiri di dapur bersama sayuran busuk yang bau dan berantakan. Dia kesal karena aku membicarakan Citra padanya, aku pun tak tahu responnya akan diluar dugaan seperti ini. Kukira dia akan simpati mendengar ceritaku, tapi malah sebaliknya.
Tanpa bicara, Mas Bambang menutup gorden kamar dengan kasar hingga suara kain tebal dan panjang yang tersibak itu terdengar menakutkan di telingaku. Ya, kamarku tak memakai daun pintu, hanya dipasangi kain gorden sebagai penutupnya. Itu pun pemberian tetangga yang merasa kasihan padaku saat kami pertama kali pindah ke sini, tetanggaku memberi kain gorden untuk menutupi semua jendela dan pintu rumahku.
Ya, beginilah kehidupanku. Dipandang sebelah mata sudah biasa.
Aku membereskan sayuran yang ditinggalkan Mas Bambang. Tercium bau busuk dan juga banyak belatung kecil yang bergerak-gerak menjijikan. Aku segera mengambil sapu lidi dan menyapu lantai dapurku yang masih tanah. Mengumpulkan semua sisa sayuran busuk itu kemudian memasukkannya dalam keresek berukuran besar dan membuangnya ke tong sampah besar di ujung gang. Sementara sayuran yang masih agak bagus dan bisa dimasak, kuletakkan dalam baskom.
Pukul sepuluh malam. Aku masih bergelut dengan sayuran. Mas Bambang membiarkanku mengurus semua ini sendiri karena ia sedang marah. Entah di mana pikiran suamiku itu, ia lebih sayang adik manjanya ketimbang aku istrinya, bahkan ia tega membiarkanku sendirian malam-malam begini di luar rumah.
Ya, aku sedang berada di luar rumah sekarang, mencuci sayuran dalam baskom di sumur. Hawa dingin begitu menusuk, belum lagi tanganku terasa beku saat terendam dalam air di baskom saat mencuci sayuran ini. Kukuku yang lecet juga menyisakan nyeri. Namun aku hanya bisa menelan semua kenyerian ini.
“Dewi!”
Suara Mas Bambang memanggilku di belakang. Aku menoleh, benar dia sedang berdiri di ambang pintu dapur menuju ke sumur ini.
“Apa, Mas? Bukannya Mas sudah tidur?” tanyaku.
“Cepat selesaikan pekerjaanmu. Azfar manggil-manggil kamu. Badannya panas tapi dia ngeluh kedinginan,” titah Mas Bambang.
Aku langsung meninggalkan sayuran yang belum selesai dicuci ini di sumur kemudian berlari menghampiri anakku di kamar.
“Bu … Bu … Bu …,” Azfar memanggil namaku dalam tidurnya. Sepertinya ia mengigau. “Dingin, Bu,” rintihnya lagi.
Aku langsung meraba sekujur badannya, terasa panas di kulit, bukan dingin seperti yang dikatakan Azfar.
“Mas, apa ada apotek yang buka jam sepuluh malam begini?” Aku bertanya penuh kepanikan pada suamiku.
“Sepertinya ada, tapi harus naik motor jauh ke kota. Di pelosok sini mana ada apotek buka malam-malam,” jawab Mas Bambang.
“Ya sudah, Mas. Belikan obat flu buat Azfar. Bilang sama penjualnya obat flu untuk anak lima tahun. Sama antibiotiknya juga,” kataku seraya menyerahkan uang.
“Motorku kempes, kena paku tadi di jalan pulang,” balas Mas Ardi.
Situasi genting seperti saat ini pun, kendaraan kami satu-satunya harus kena masalah.
“Coba minjam sama Citra, Mas. Dia kan punya dua motor.”
Beruntung aku teringat Citra. Tanpa pikir panjang Mas Bambang pergi ke rumah Citra untuk meminjam motor. Sementara aku menunggu sambil memeluk Azfar yang terus-menerus mengeluh kedinginan.
Tak lama kemudian Mas Bambang pulang dengan wajah kecewa.
“Citra gak bukain pintu,” katanya.
“Masa sih Mas?”
“Iya, dia sudah tidur. Tadi sempat menjawab katanya gak mau diganggu, dia capek habis nyuci piring bekas mertuanya makan dan minum.”
Aku mengusap dada dan menggelengkan kepala.
“Ya Alloh, Ya Robbi. Tadi aja dia ngetuk pintuku di siang bolong, maksa banget ganggu tidur siangku cuma buat minta tolong ngupas salak … aku bukain pintu untuknya. Meskipun ketika masuk rumahku, mulutnya tak dijaga menghina ini-itu, tapi aku tetap menerimanya dengan baik. Sekarang giliran aku butuh, dia malah bersikap begitu,” ucapku sambil menangis dalam-dalam.
“Apaan sih kamu, ngomongnya kemana-mana! Ya memang ini sudah malam, wajar kalau orang terganggu kita ketuk pintunya malam-malam. Jadi jangan nyalahin Citra! Sudah, gak usah ribet, tidur aja kamu! Urusan Azfar bisa dilanjutkan besok pagi. Lagipula kamu kan ibunya, harus pinter merawat anak sakit, jangan ngandelin obat melulu!” Mas Bambang merespon tangisanku dengan memarahiku.
Ya Alloh, di mana otak suamiku? Dia sebegitu sayang sama adik manjanya, tapi lupa dengan kami anak dan istrinya.
“Bu … Azfar gak kuatt, Bu.”
Anakku mulai kejang-kejang.
Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran
Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me
“Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura
"Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan
"Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo
Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-