Share

Chapter 4

Bab 4~Ponsel Mahal

Di perusahaan Jersey Grup, hari ini para karyawan digegerkan dengan kedatangan Presdir baru yang tampan namun dingin. Walaupun ia terlihat sopan tapi wajahnya datar tanpa ekspresi, berkarisma dan juga berwibawa. Memang seperti itu sikap Zhang Yuze terhadap orang lain, tidak seperti pada saat di rumah.

Para karyawan berbisik mengagumi ketampanan Presdir baru mereka dengan histeris. Wajah mereka terlihat sumringah disertai mata berbinar sembari melompat girang saat Yuze melewati mereka.

"Pak presdir kita sangat tampan ya," puji salah satu dan dibenarkan semua orang.

"Bukan cuma dia, sekretaris pribadinya juga tampan." yang lain ikut berkomentar.

"Ah, mulai hari ini aku akan betah kerja di sini." timpal yang lain.

"Tapi, katanya dia itu orang yang sangat tegas. Maka dari itu, kita tidak boleh berbuat kesalahan." Semuanya setuju dan segera kembali ke pekerjaan masing-masing.

Sementara Zhang Yuze melangkah ke ruang kerjanya diikuti Chu Qian di belakang. Mulai hari ini ia disibukan oleh pekerjaan yang sudah diserahkan kakeknya, mengurus semua perusahaan milik keluarga Zhang, Jersey Grup.

"Hari ini ada rapat bersama Dewan Direksi!" lapor Chu Qian yang hanya dilirik sekilas oleh Yuze. "Jam dua siang ada rapat dengan Presdir dari DG Grup, kemudian jam empat sore ada pertemuan dengan Presdir Gu mengenai kerja sama kita yang tertunda dua hari lalu," lanjutnya kemudian.

Zhang Yuze menarik napas panjang kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi sembari menatap Chu Qian. "Percepat rapat bersama Dewan Direksi, setelah itu kita temui Presdir DG Grup lalu Presdir Gu. Ada hal pribadi yang ingin aku bicarakan dengannya,"

"Baik!" Chu Qian lekas keluar untuk mengatur kembali jadwal Zhang Yuze sesuai perintahnya.

Sementara di ruangan, Yuze termenung mengingat pertemuannya dengan Nona Gu yang padahal bukan aslinya. Gadis yang dikira Gu Xi itu meminta dirinya untuk membatalkan perjodohan sebab dia pun tak ingin dijodohkan dengan alasan sudah memiliki kekasih. Semalam, walaupun tidak banyak mengobrol dengan gadis itu, tapi Yuze bisa melihat bahwa Gu Xi adalah gadis yang memiliki pendirian teguh.

Zhang Yuze mengagumi kepribadiannya.

Pria itu berniat membicarakan hal itu bersama kakeknya agar sang kakek tidak salah paham dan terus memaksanya untuk menerima Gu Xi karena gadis itu sudah memiliki kekasih hati. Harga dirinya merasa terinjak jika harus mengemis cinta pada gadis galak seperti Gu Xi yang padahal adalah Xia Lien, temannya.

"Mimpi!" tepisnya jauh.

• • • •

Di lain tempat, Xia Lien tengah sibuk di galeri lukisnya. Banyak pengunjung yang datang untuk membeli namun tak sedikit juga dari mereka datang hanya untuk sekedar melihat-lihat hasil karyanya. Namun, walaupun begitu, Xia Lien tetap melayaninya dengan ramah.

Pembeli adalah Raja, begitulah pepatah yang sering digunakan untuk para pedagang dan pembeli. Terkadang, para pembeli bersikap seenaknya saja bahkan menawar barang yang dijual dengan harga yang sangat murah. Tapi, Xia Lien mempunyai prinsip. Dia tidak pernah menurunkan harga sesuai dengan kualitas barang yang dijualnya.

Tidak peduli jika lukisannya tidak laku dan hanya menjadi pajangan di galerinya, yang terpenting adalah nilai seninya tidak turun.

Hari ini Xia Lien lebih sibuk dari biasanya karena murid-murid yang ingin belajar melukis semakin banyak berdatangan. Sudah setahun dia membuka kelas melukis untuk anak-anak yang memiliki 'kekurangan fisik'. Bukan dari kalangan atas saja melainkan kalangan bawah pun berdatangan untuk belajar bersamanya.

Xia Lien tidak meminta bayaran, tapi tak sedikit dari orang tua anak-anak tersebut memberikan 'upah' untuk ilmu yang diajarkannya kepada anak-anak disabilitas itu.

"Kakak, lihat hasil kerja kerasku! Cantik, 'kan!" seorang anak perempuan memperlihatkan lukisannya pada Xia Lien.

Xia Lien lekas menghampiri sambil tersenyum, namun senyum itu memudar kala melihat lukisan anak perempuan tersebut. "Kamu melukis apa, Anran?" Ia terheran.

Wajah Anran memberengut karena Xia Lien malah bertanya, bukan memuji. "Ini keluargaku, Kak Lien."

"Keluargamu?!" Anran mengangguk pelan.

Lukisan tersebut memperlihatkan gambar sepasang orang tua yang tersenyum bahagia bersama kedua anak perempuannya, namun mereka hanya memeluk anak perempuan yang berdiri di tengah dan mengabaikan anak perempuan yang duduk bersimpuh di tanah.

Xia Lien termenung sedih. Kenapa anak sekecil Anran bisa melukis pemandangan menyedihkan seperti ini? Bukankah keluarganya terlihat baik-baik saja dan harmonis? Terlebih, mereka berasal dari keluarga yang cukup kaya.

"Anran sayang. Kenapa kamu melukis gambar seperti ini? Apa Ayah dan Ibumu ..." belum sempat Xia Lien melanjutkan pertanyaan, Anran sudah menyela.

"Mereka bukan orang tua kandungku, Kak. Mereka mengambilku saat aku ditinggalkan di Panti Asuhan," aku Anran sembari terisak. Gadis kecil itu menceritakan tentang kehidupannya yang ditinggal kedua orang tua di sebuah panti karena kekurangan fisik. Bahkan, kedua orang tua Anran dengan terang-terangan mengatakan jika mereka tak membutuhkan anak cacat sepertinya. Beruntung ia diadopsi oleh sepasang pasutri baik yang kini menjadi orang tua angkatnya, yang menyayangi layak anak kandung.

Hati Xia Lien merasa teriris saat mendengar cerita anak malang tersebut. Ia sungguh geram kepada orang tua yang tega membuang anak kandungnya hanya karena kekurangan fisik. Kekurangan fisik bukan keinginannya, melainkan pemberian Tuhan yang wajib disyukuri. Xia Lien berjanji dalam hati akan membuat Anran menjadi seorang yang berguna di masa depan dan membuat orang tua kandungnya menyesal.

"Hai, melamun apaan?" Gu Xi datang mengejutkan Xia Lien yang termenung memikirkan nasib Anran.

"Eh, Xixi. Kapan kamu datang?" Xia Lien balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Xi.

Gu Xi mendecih tak menghiraukan. Ia duduk di depan Xia Lien sembari menopang dagu. "Papa keukeuh ingin aku berkencan lagi dengan Zhang Yuze," Xia Lien mengerutkan kening mendengar perkataan sahabatnya. "Sepertinya usahamu kemarin kurang keras," lanjutnya kemudian.

"Aku harus gimana lagi? Kemarin sudah sangat jelas aku menolaknya. Kenapa masih harus menemuinya? Apa Zhang Yuze tidak mengatakan apapun kepada Ayahmu?" Xia Lien tak habis pikir.

Gu Xi menghela napas sebelum kepalanya mendarat di meja. "Hah, aku sangat kesal. Xia Lien, bantu aku sekali lagi!" pintanya mengiba.

"Tidak bisa!" tolak Xia Lien cepat.

"Kenapa?" tanya Gu Xi penasaran.

"Dia itu pria yang menyebalkan. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi," sahut Xia Lien menolak keras.

Helaan napas kembali terdengar dari mulut Gu Xi. Sepertinya dia harus berkata jujur kepada ayahnya dan tidak memaksa Xia Lien untuk menemui Zhang Yuze lagi. Tapi ....

"Eh, ponsel baru kah?" Gu Xi segera mengamati ponsel milik temannya yang terlihat asing. "Wah, kamu banyak duit juga ternyata!"

"Bukan aku yang beli, tapi Zhang Yuze! Dia mengganti ponselku yang dirusak olehnya," jawabnya datar.

"Ponselmu yang murah diganti ponsel semahal ini? Wah, Tuan Zhang benar-benar royal!" puji Gu Xi sembari menggelengkan kepala tak percaya.

Xia Lien mengerutkan kening. "Ponsel mahal? Memangnya berapa harganya?"

"Lima belas juta,"

"Apa?"

Bersambung ...

Hargai apapun yang diberikan kepada kita, baik atau buruk yang penting ikhlas.

~Lien Machan~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status