Audy menghapus butiran bening di pelupuk matanya, sembari menyusuri jalanan yang membawanya menjauh dari area rumah sakit. Sesekali Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Baru saja fisiknya pulih, hatinya kini tersayat pilu.
"Aku pikir, aku ini adalah masa depanmu. Tapi ternyata kau lebih memilih uang dari pada pasangan". Gumam Audy lirih, Ia pun menepikan tubuhnya disebuah halte.
Audy asal mengambil tempat duduk. Kakinya terasa ngilu setelah hampir setengah jam berjalan.
Ada sebuah kegetiran saat Ia menatap layar ponselnya yang kosong tanpa notif chat dari Gerald.
"Apa kau benar-benar melupakan aku?" batin Audy kecewa. Desahan nafas berat keluar dari bibir tipis Audy.
"Baiklah, sepertinya kali ini perasaanku yang harus mengalah. Biarkan saja logika ku yang bekerja."
Audy mendongak lurus keatas, menatap birunya langit yang bersih tanpa
Di halaman rumah sudah ada mbok Ani yang sedari tadi menunggu kepulangan Audy. Mbok Ani berlari saat melihat Audy baru turun dari motor dengan baju yang sudah basah kuyup. Tak hanya itu, Mbok Ani juga melihat tatapan nanarnya seolah ditunjukkan pada seseorang."Non Audy!" Mbok Ani berlari membawakan payung untuk Audy yang masih mematung diluar gerbang tanpa memperdulikan kehadiran Gerald dan Della.Mbok Ani dengan sigap mengembangkan payung yang sedari tadi dipegangnya erat disela langkah kakinya.Audy tersenyum getir, melihat pemandangan di depannya. Lelaki itu, Lelaki yang sudah ditunggunya berjam-jam yang lalu. Lelaki yang harusnya menjemputnya. Namun, tidak ada kabar. lelaki yang seharusnya menjadi penyemangat kesembuhannya, lelaki yang harusnya memeluknya saat dalam kondisi seperti ini.Namun, lelaki itu justru tengah berlari-lari untuk membukakan pintu untuk wanita lain."Astaga, N
Gerald sedikit salah tingkah saat Hendra mentapnya penuh selidik."Emm, saya permisi dulu Om." Lanjut Gerald sembari memaksakan senyumnya."Iya, hati-hati." Balas hendra singkat.Hendra menghela nafas, perasaannya menjadi tidak tenang seolah memiliki ikatan batin. Ia pun bisa merasakan ada sesuatu yang dialami Audy, bahkan ia yakin jika hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja.Gerald menggepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosi saat melewati Hendra."Sial, kenapa si tua bangka ini bisa mendadak muncul?" geram Gerald melangkah gontai menuju ruang tamu."Bagaimana bisa Audy mengacuhkanku? mau cari perkara?" batin Gerald dongkol. Baru pertama kalinya Audy berani mengacuhkannya."Kita lihat saja, siapa yang akan mengemis cinta esok." Batin Gerald sinis. Awalnya Gerald ingin berbicara baik-baik dengan Audy. Namun, sikap Audy seperti ini memanci
Gerald masih mencoba untuk menghubungi Audy, tapi hasilnya masih sama, tidak ada jawaban."Oh, astaga Audy." Tanpa Gerald sadari sedari tadi dia memukul stir mobilnya berkali-kali. Entah mengapa moodnya semakin memburuk.Padahal belum ada 24 jam Audy tanpa kabar, tapi Gerald merasa kehilangan sosok wanita itu. "Gerald Purnama, apa sekarang kau mulai mencintai gadis itu?" tanya Gerald pada diri sendiri."Tidak Gerald, cintamu hanya untuk Della. Baik dulu maupun sekarang." Imbuh Gerald masih memyangkal hati kecilnya."Ingat, kamu hanya ingin memperalat gadis itu untuk mendapatkan cinta sejati mu, bukan malah serius jatuh cinta padanya."Baru saja mengendarai jarak lima kilometer, Gerald kini sudah terjebak pada lampu merah. Hal ini sungguh membuat Gerald semakin dongkol."Shit!" Gerald menarik nafas dalam-dalam. Sinar mentari yang terik seolah menembus k
Di dalam mobil Gerald berpikir kembali. Haruskah dia menelepon Della untuk bertanya dimana Audy? tapi jika dia bertanya pada Della, apa nanti Della tidak berpikir macam-macam?."Oh. Sungguh kamu membuatku sangat kacau Audy!"Gerald mengambil ponselnya menekan segala pikiran negatifnya. Dia kembali menimbang dengan seksama."Sepertinya tidak ada jalan lain. Aku perlu bertanya pada Della untuk mendapat informasi yang terpercaya."Gerald melirik kontak yang diberi nama love. Pelan tapi pasti, Ia pun segera melakukan panggilan telepon pada mantan kekasihnya itu.Setelah dua kali panggilan akhirnya Della menjawab panggilannya.Gerald menghembuskan nafas lega. Ia pun tanpa ragu lagi langsung menanyakan Audy. Hanya dalam beberapa menit panggilan telepon itu langsung dimatikan Gerald. Senyum mengembang di bibirnya, seperti mendapatkan jackpot.Tanpa jeda l
Della kembali merogoh tasnya saat ponselnya kembali berdering."Siapa?" Tanya Audy sedikit kesal karena Della mendadak berhenti untuk mengangkat telepon."Sebentar yah," Della tergesa menjauh dari Audy.Audy mencebikan bibirnya. Keburu moodnya hilang untuk menonton."Iya Ger." Ucap Della setengah berbisik."Aku sudah ada diparkiran. Kamu dimana?""Aku sedang mau mengantri untuk membeli tiket menonton.""Oke, kamu belikan aku sekalian ya." Pinta Gerald memohon.Apa kamu berencana menjadikan aku obat nyamuk?""Tidak. Bukan begitu maksud ku." Gerald panik dengan pertanyaan Della."Jadi?" Tanya Della sarkas.Gerald terdiam sebentar, berpikir bagaimana cara menjelaskan pada Della."Datanglah ke bioskop, anggap ini sebagai
Audy menghela napas kecewa. Sepertinya Gerald memang benar-benar tak mencintainya. Semua sikap manisnya hanya semu!.Baru saja mencecap manisnya cinta, sekarang aku harus menelan pil pahit dikhianati. "Ayah, sepertinya memang kamu benar. Aku harus mengedepankan logika dari pada perasaan." Gumam Audy menahan sesak di dadanya.Audy menguatkan diri. Ia bersiap beranjak untuk mengembalikan ponsel Gerald."Ger ..." ucapan Audy terpotong oleh getaran panjang dari ponsel yang digenggamnya.Audy menyeringai lebar. Seolah takdir berpihak padanya. Lihatlah, kontak yang dinamai love oleh Gerald memanggilnya.Pepatah itu benar, serapat apapun menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga busuknya.Audy menelan ludah. Ini kesempatan emas agar dia tau siapa wanita yang berada diantara cintanya itu. Audy berpikir sebentar, haruskah dia mengangkat telepon itu?."Tidak, Audy. Hatimu pasti akan kesakit
Della menenggak minumannya sampai tandas. Ia sedikit membanting dengan keras gelas minuman yang sudah kosong di atas meja. Sudah lama dia menunggu kedatangan Gerald, tetapi nihil. Hanya semilir angin yang berbaik hati mau menemaninya malam ini.Waktunya terbuang percuma, Gerald bahkan tak mengingat janjinya. Ironisnya, Gerald bahkan menyuruhnya pulang dan lebih memilih mengantar Audy."Kamu janji mau menemui ku, tapi sekarang kamu memilih pergi bersama dia. Jika tidak berniat menemui ku harusnya bilang dari awal." Gumam Della kecewa."Aku tau kamu tipe lelaki sejati yang selalu memegang janji. Tapi jika kamu mengingkarinya, apa itu tandanya dia sangat kamu cinta?" Della mengusap wajahnya gusar."Ya Tuhan, kenapa aku marah? Ini bukan salah Gerald. Harusnya aku lebih pandai melihat situasi."Della menyeka sudut matanya. Perasaannya menjadi gundah gulana. Ada apa sebenarnya dengan diriku? Mengapa hati ini terasa sakit melihat mere
keesokan harinya. Audy menatap pantulan diirinya pada cermin rias. Jantungnya berdetak kencang. Seperti yang dijanjikan Gerald tadi kemarin malam, mereka akan mengisi weekend bersama keluarga besar Gerald.Sama seperti saat Audy pertama kali mengenalkan Gerald pada kedua orang tuanya. Kali ini juga Audy dibantu Della merias diri agar terlihat menawan untuk bertemu dengan orang tua Gerald."Bagaimana kamu suka tidak?" tanya Della saat telah selesai memoles wajah Audy.Audy tersenyum manis pada Della. Ia sangat puas dengan hasil karya ibu tirinya."Iya. Terimakasih Del." Ucap Audy tulus."Kembali kasih sayang."Audy menghela nafas. Ia kini menjadi kurang percaya diri. Keluarga Purnama bukan keluarga sembarangan."Audy? kamu kenapa?" tanya Della yang heran melihIat Audy melamun .Audy menggeleng pelan, "Aku t