keesokan harinya. Audy menatap pantulan diirinya pada cermin rias. Jantungnya berdetak kencang. Seperti yang dijanjikan Gerald tadi kemarin malam, mereka akan mengisi weekend bersama keluarga besar Gerald.
Sama seperti saat Audy pertama kali mengenalkan Gerald pada kedua orang tuanya. Kali ini juga Audy dibantu Della merias diri agar terlihat menawan untuk bertemu dengan orang tua Gerald.
"Bagaimana kamu suka tidak?" tanya Della saat telah selesai memoles wajah Audy.
Audy tersenyum manis pada Della. Ia sangat puas dengan hasil karya ibu tirinya.
"Iya. Terimakasih Del." Ucap Audy tulus.
"Kembali kasih sayang."
Audy menghela nafas. Ia kini menjadi kurang percaya diri. Keluarga Purnama bukan keluarga sembarangan.
"Audy? kamu kenapa?" tanya Della yang heran melihIat Audy melamun .
Audy menggeleng pelan, "Aku t
Mommy Mika bersemangat mengambil kartu yang disimpan rapi pada lemari yang terletak disudut meja."Ayok kita mulai." Teriak mommy Mika penuh gelora. Ia tergesa kembali menuju tempat duduknya semula.Audy tak kalah antusias ingin ikut bermain. Suasana tampak begitu ceria, Robert dengan sabar menunggu istrinya mengacak kartu. Hanya Gerald yang tampak ogah-ogahan ikut bermain."Cepatlah, Mom. Kamu lamban sekali seperti siput." komemtar Roberrt yang jengah melihat Mika terlalu banyak gaya dalam mengacak kartu."Issh... kamu tak bisa sabar ya." balas Mommy Mika mengakhiri pergerakannya. Dia kini membagi-bagikan beberapa kartu."Ya. Aku tak sabar sekali ingin mengalahkanmu.""Cih. sombong sekali. kita lihat saja siapa yang akan menang." Ejek Mommy Mika menantang Robert."Siapapun yang memang nanti, yang jelas aku tak akan menerima kekalahan." ucap Robert tak terima."Oh ya? awas saja jika nanti aku
Jarum jam menunjukan pukul sepuluh malam. Tapi mata Della belum juga mau terpejam. Pikirannya tak tenang tak kala mendapati Audy belum pulang."Apa yang sedang mereka lalukan sekarang? apakah Audy akan diterima di keluarga purnama?" ucap Della bertanya tanya dalam hati kecilnya. Della menatap Hendra yang tertidur disampingnya."Maafkan bunda Yah. Tapi entah mengapa kini aku merindukan lelaki lain. Dan lelaki itu tak lain adalah Gerald."Della perlahan bangkit dari ranjangnya. Ia ingin menunggu Audy di ruang tamu. Ups, terlalu munafik. Della bukan khawatir pada Audy yang belum pulang. Tetapi dia ingin mengorek informasi tentang keluarga Purnama. Ia ingin tau sebagaimana Audy diperlakukan di keluarga itu. Dan yang paling utama adalah, dia ingin menatap wajah tampan Gerald untuk menemaninya tidur malam ini."Gerlad, apa kamu melupakan aku?" desah Della kecewa. Sejak malam kemarin Gerald belum mengabarinya lagi. Tidak penting jika janjinya kemarin
Tak selang berapa lama, mereka telah selesai menyantap hidangan makan siang yang disajikan oleh pemilik restoran. Gerald dan Della beriringan menuju parkiran."Oh ya Ger, kita mau pergi kemana ya?" tanya Della meminta pendapat."Bagaimana kalau kita nonton?""Aku gak mau, lagian kamu sudah pernah melakukannya kemarin," tolak Della keberatan dengan menggembung pipinya, membuat Gerlad gemas."Ya sudah, bagaimana jika aku temani shoping?""Aku sedang tidak ingin membeli apa-apa." Tolak Della lagi."Lalu kamu mau kemana?" tanya Gerald berusaha bersabar."Jika aku tau mau kemana. aku tak akan bertanya padamu," kesal Della.Gerald mendengus pelan, benar wanita memang selalu benar, dengan senyum yang masih menghiasi bibir Gerald dia memberi penawaran lagi. "Bagaimana kalau kita kuliner hari ini?""Astaga Gerald. Kamu pikir perutku karet.""Terus maumu kemana?""Terserah." jawab Della pasrah
Hendra tersenyum saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Audy. Bagaimana tidak, wajar saja wajah Della bersemu kemerahan seperti orang jatuh cinta. Sejak dari tadi sore, Hendra mengirimkan kata-kata romantis serta rayuan-rayuan mautnya. Meskipun hanya dibaca oleh Della seperti koran, tapi melihat wajah Della seperti ini membuat Hendra bahagia."Audy, tentu saja Bunda seperti orang jatuh cinta, diakan habis dapat yang spesial." Ungkap Hendra dengan sindiran agar Della membalas ucapan itu, namun Della masih saja terlihat Linglung.Della merasa seakan terpojok, apa dia ketahuan jika dia telah menghabiskan waktu bersama Gerlad. Jika benar, Della akan siap saat Hendra akan memberikan kata talak untuknya. Jika itu terjadi sudah tidak ada penghalang lagi untuk hubungannya dengan Gerlad."Wah, Bunda dapat apa kok ada kata spesial?" Sidik Audy penuh kecurigaan."Dasar Audy, pengen tahu saja drama cinta kita." Goda Hendra pada an
Air mata Audy kini tak mampu dibendung lagi. Hatinya kini hancur tak berbentuk. Audy memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tak sudi jika harus menangisi lelaki bajingan seperti Gerald apa lagi dihadapan orang itu langsung. Tapi apa daya, air matanya tak bisa diajak kompromi."Kamu benar-benar lelaki bresengek yang pernah ku temui Gerald." kecam Audy yang tak puas hanya menampar Gerald. Hatinya sakit, Ia ingin mengeluarkan segala unek-uneknya sebelum dia mengikhlaskannya nanti.Gerald yang menyaksikan hal itu hanya mampu menatap. Bibirnya terasa kaku hendak meminta maaf."Kalau kamu tak punya hati nurani. Setidaknya pakailah otakmu. Apa kamu mau jika diperlakukan begini?" lanjut Audy berapi-api.Tomi yang tak kuasa melihat penderitaan Audy segera merengkuh pundaknya. Ia menatik Audy agar segera menjauh dari Gerald.
"Audy?" Panggil Hendra menyadarkan lamunan Audy."Eh, iya Ayah?" Panggil Audy sedikit gugup."Kamu kenapa?""Emm tidak apa-apa. Memang kenapa Yah?" Tanya Audy balik bertanya."Kamu sedari tadi melamun saja. Mukamu juga terlihat pucat. Sedang ada masalah apa?"Della acuh menyimak. Toh dia sendiri sudah tau jawabannya. Apa lagi yang membuat Audy bagai mayat hidup jika bukan karena sedang patah hati, putus dengan Gerald?.Audy menggeleng pelan. Dia tak ingin kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ayahnya pudar. Biarkan saja dia yang memendam rasa sakit ini sendirian. Jauh lebih menyakitkan saat kamu melihat orang yang kamu sayang terluka dan itu berasal dari dirimu."Aku baik-baik saja Ayah. Hanya sedikit pusing dengan tesisku." Ungkap Audy berbohong.Hendra tersenyum hangat. Entah mengapa dia merasa jika Audy sedang menyembunyikan sesuatu. Mata sayunya jelas mengatakan jika dia sedang berbohong.
Audy menghela nafas panjang. Setelah kepergian prof. Budiman dia memutuskan untuk melakukan revisi detik ini juga."Ayolah Audy. Semangat. Jika percintaanmu gagal, harusnya dibidang lain kamu harus berhasil." Ucapnya menyemangati diri sendiri.Audy menggulung kemeja yang dia kenakan hingga siku, bersiap membuka setumpuk berkas yang kini telah berjejak. Ia meneliti satu persatu lembaran berkas. Lantas disusul desahan panjang."Astaga, kenapa banyak sekali." Keluh Audy menutup berkasnya kembali. Audy menyandarkan kepalanya diatas meja perpustakaan. Otaknya terasa lebih berat dua kali lipat dari biasanya."Aku pikir volume otakku bertambah. Ternyata aku sedang memikul beban masa depan." Sambung Audy masih meratapi nasibnya.Perlahan mata sayu itu terpejam. Ia ingin menetralisir rasa pening di kepalanya. Jemari lentiknya mulai mengetuk ngetuk atas meja. Menimbulkan alunan nada yang menenangkan.Sepuluh menit berlalu
Entah kemana lagi langkah kaki Audy akan berpijak. Sudah seharian Audy mengelilingi sebuah Mall tanpa berniat membeli barang. Kesepian ditengah keramaian, itulah yang Audy rasakan kini.Setelah kejadian tadi pagi saat berpapasan dengan Gerald dan Della, mood Audy semakin memburuk. Rencananya untuk merevisi menjadi hancur beratakan, digantikan dengan menghabiskan waktu disebuah pusat perbelanjaan."Ditempat yang sama. Namun, dengan rasa yang tak lagi sama." Audy tersenyum kecut, dia memandangi sekerumun pengunjung yang tengah sibuk memilih barang ditemani teman atau pun pasangan.Ditempat ini dulu Audy terbiasa pergi sendiri. Lalu semesta mendatangkan Gerald padanya. Mereka lantas menghabiskan waktu berdua meskipun hanya Audy yang merasa bahagia. Dan sekarang Audy kembali seperti dulu, mengelilingi tempat ini sendirian.Audy menghela nafas. Takdir yang dijalaninya memang terasa berat, tapi Audy yakin dia pasti kuat. Biarkan takdir b