"Selamat datang kembali, Nyonya Orchid," sapa antusias manager hotel yang menyambut kedatangan Orchid dan Max, saat keduanya memasuki pintu utama lobi Hotel Alexander."Halo Pak Johan. Senang melihatmu kembali," sapa Nyonya Orchid riang. Pak Johan adalah salah satu manager hotel yang sangat memuja kecantikan Orchid secara terang-terangan."Kamar suite yang anda pesan sudah kami persiapkan.""Terima kasih," ucapnya dan memberikan senyum penuh pesona hingga membuat Pak Johan tertegun, kemudian berbinar-binar bak sinar matahari jam dua belas siang. "Dan antarkan makan malam sekarang.""Baik, Nyonya Orchid."Blam. Pintu kamar suite tertutup rapat.Max memperhatikan sosok Orchid yang menendang lepas sepatu high heels, disusul dengan mantel, lalu melemparkannya sembarangan di sofa. Sambil menggerai rambutnya yang disanggul diatas kepalanya, tatapan Orchid memaku mata Max. Ujung rambutnya terurai indah hingga ke pinggang.Sambil menyilangkan kakinya di sofa, Max menggoyangkan gelas anggur ny
Sementara itu di tempat lain.Martin's POV.Pip-pip.Martin membuka pesan di ponselnya. Pesan yang berasal dari Nyonya Orchid, istri pertama Max. Wanita cantik itu menginginkan camilan kesukaannya segera diantarkan ke kamar suite nya di Hotel Alexander. Sambil memutar bola matanya, Martin mengetik balasan singkat, "Baik."Martin memajukan badannya untuk memberitahu sopir taksi. "Pak, tolong mampir dulu di toko kue Durian Rasa.""Baik." Pak sopir taksi menjawab sambil mengangguk.Kemudian Martin menoleh ke arah Marigold yang duduk di sebelahnya, sedang melamun memandang keluar kaca jendela taksi."Nyonya Marigold, apa anda suka camilan serba durian?"Marigold memutar kepalanya dan membalas tatapan Martin yang bertanya padanya. "Durian? Tidak, aku tidak suka. Pahit dan baunya menusuk. Kenapa bertanya?""Nyonya pertama menyuruhku untuk membeli camilan durian kesukaannya. Biasanya, yang diinginkan itu seperti lumpia isi daging buah durian, pancake durian, kue sus krim durian, nastar duria
Marigold's POV."Pak, kita sudah tiba di toko Durian Rasa," sela pak sopir yang memutar tubuhnya menghadap ke jok belakang."Tunggu sebentar disini. Aku tidak akan lama," kata Martin pada Marigold yang mengiyakan.Drrrt-drrrt-drrrt.Marigold mengerutkan kening, memandang nomer asing di layar ponselnya. Meski tidak tahu siapa yang menelpon nya, Marigold tetap mengangkatnya. Akhir-akhir ini dirinya mendapatkan beberapa kenalan baru dari pernikahannya dengan tuan milyader."Halo?" sapa Marigold sambil memperhatikan punggung Martin yang masuk ke toko kue untuk membeli pesanan nyonya pertama tuan milyader."Ini aku, Marigold."Marigold membeku. Suara itu, suara yang dirindukannya selama setahun terakhir. Suara dari laki-laki yang membuatnya merindu. "Nolan?"Gelak tawa ringan terdengar sangat merdu di telinga Marigold. Kedua mata Marigold mengerjap cepat, untuk mencegah air matanya turun."Tak kusangka, ternyata kamu masih mengingatku dengan baik. Marigold.""Benarkah ini kamu, Nolan?" bis
Brak.Nolan membanting pintu apartemennya dengan geram. Dengan kasar, ditariknya dasi yang mencekik lehernya sedari tadi. Nolan berjalan mendekati meja bar di sebelah jendela apartemennya. Dituangnya cairan putih itu ke dalam gelas. Sekali teguk, Nolan menghabiskan minuman keras itu.Tuk.Dibantingnya gelas itu di meja bar. Pikirannya kembali ke restoran dimana dirinya bertemu dengan Marigold, mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa kabar. Nolan kembali mengisi penuh gelasnya, lalu berjalan mendekati jendela kacanya."Marigold, bagaimana mungkin seorang upik abu seperti dia, bisa menarik perhatian seorang milyader terkenal seperti Maximilian Alexander?" gumamnya sambil memandang ke arah jendela, yang menampilkan suasana malam dengan pemandangan kota yang cantik, terpampang jelas di depannya.Marigold adalah kekasihnya. Awalnya dirinya hanya ingin bermain-main dengan gadis polos itu. Berkencan dengan bergandengan kesana-kemari tanpa tujuan. Berciuman tanpa rasa dan hasrat, membuat No
Di suite hotel Alexander.Max terbangun dengan segar. Max meregangkan tubuhnya dengan nyaman. Matanya melirik pada tubuh telanjang yang masih bergelung di sisinya. Well, bercinta dengan kekasih hati memang membuatnya rileks dan menurunkan stres serta melupakan semua keruwetan masalah hidup. Terlepas apakah partner bercinta nya seringkali membuat pusing kepala Max.Srek.Max menyibakkan selimutnya, lalu turun dari ranjang. Langkahnya yang hendak ke kamar mandi terhenti saat teringat sesuatu."Dimana ponselku?" gumam Max dengan mata menyapu sekitar dirinya berdiri. Tidak ada. Benda persegi dan pipih itu tidak terlihat dimana pun. "Semalam aku meletakkan ponselku dimana ya?"Max menelusuri setiap sudut suite itu tetapi tidak kunjung menemukan ponselnya dimana pun. Kemudian Max menatap tajam kereta dorong yang berisi piring, mangkuk, gelas serta panci saji dari sisa-sisa makanan semalam.Max tergelak histeris. "Tidak mungkin," gumamnya seraya mengobrak-abrik semua peralatan makanan itu. "
Di Edelweis Mansion.Marigold sudah membuka matanya, tetapi dirinya masih bergelung malas di ranjang empuknya. Semalam dirinya tidak bisa tidur nyenyak gara-gara Martin, si asisten tuan milyader yang merecokinya tanpa jeda, tidak ada koma ataupun titik. Ck. Bahkan omelan tuan menyebalkan itu sampai terbawa ke dalam mimpi Marigold. Itulah sebabnya Marigold tertidur tetapi tidak nyenyak.Haaah, beginilah omelannya..."Nyonya Marigold, saya sangat marah dan kecewa dengan sikap anda yang tiba-tiba menghilang," tuduh Max tidak senang. "Anda adalah tanggung jawab saya. Bagaimana kalau anda betul-betul hilang? Apa anda tidak berpikir, bisa saja anda diculik, dilukai, bahkan lebih parah lagi bisa terbunuh? Anda perlu tahu Nyonya Marigold, bahwa lawan bisnis Tuan Max itu sangat banyak, lebih banyak dari dua puluh jari kaki tangan anda.""Tapi aku..."Martin mengangkat tangannya, mencegah Marigold menyela untuk memberi penjelasan. Dengan nada datar, Martin melanjutkan kicauannya..."Diam-diam a
"Aku jadi berpikir apa Max perlu memeriksakan matanya yang berkabut hingga membuatnya tidak bisa melihatmu yang ala kadarnya ini dengan jelas? Ck, benar-benar penurunan kualitas."Mendengar serentetan sindiran dan cacian membuat Marigold menarik nafas dengan gemetar. Tekanan hati terasa berat, terus menyerangnya tanpa ampun. Jika serangan itu secara fisik, mungkin Marigold bisa membalas menyerang serta menjatuhkan lawannya. Tetapi ini adalah serangan verbal. Meskipun Marigold sudah kenyang dengan ejekan dan olokan di masa sekolahnya dulu, tetap saja hatinya terasa sesak ingin meledak.Marigold memandang nanar Tuan Martin si algojo yang seolah menghakiminya dengan kemunculan beraneka ragam coklat, juga para siluman yaitu para istri yang memandangnya dengan iri karena dirinya lebih diperhatikan oleh tuan milyader. Ck, memang cocok sebutan panggilan itu untuk mereka semua yang berhati jahat. Sialan! Ini namanya hadiah pembawa petaka.Air matanya sulit untuk dibendung lebih lama lagi. Den
Di dojo, tempat Marigold biasanya berlatih karate. Dojo itu adalah milik pamannya, papa dari Nina."Hiiyaaaa.."Brak."Hiiyaaaa.."Brak.Sudah selama setengah jam penuh, Marigold memecahkan semua persediaan kayu yang digunakan untuk latihan kekuatan di dojo. Tetapi kini semua kayu itu sudah pecah dan tidak berbentuk lagi."Hiiyaaaa.."Brak."Sudah, hentikan Marigold," amuk Nina, sepupunya yang berdiri di depan papan kayu yang hendak dipecahkannya lagi. "Tanganmu sudah memerah, bengkak, dan mengeluarkan darah. Apa kamu mau jadi cacat, hah?!""Minggir Nina!" bentak Marigold marah sambil meremas kedua tangannya yang dibebat handswrap super kencang. Meskipun begitu, tangannya masih saja gemetar akibat terlalu banyak memecahkan papan kayu itu. "Aku harus menyelesaikan jadwal latihanku yang sudah lama terbengkalai.""Ya, tapi tidak berlatih gila-gilaan seperti ini. Yang ada, kamu bukannya sehat dan kuat, malah justru akan melukai dirimu sendiri. Hentikan sekarang juga, Marigold," bantah Nin