Di sebuah restoran mewah yang menyajikan Chinese Cuisine."Tunggu dulu, Tuan Martin," ucap Marigold yang tertegun menatap satu meja bulat melingkar, penuh dengan para penghuni istana penyihir. Mereka berenam ditambah dengan seorang ratu penyihir, sudah lengkap duduk cantik disana, sedang menyantap hidangan yang tersaji di atas meja bulat itu."Ya?""Tuan Martin bilang kalau aku akan makan siang dengan Tuan Max, tapi kenapa aku tidak melihat sosoknya di restoran ini? Aku malah melihat para siluman itu sedang duduk makan bersama disini? Apa mungkin Tuan Martin salah memberikan informasi padaku?"Martin memandang datar ke arah Marigold dan menjawab, "Tidak. Tidak salah. Anda memang dijadwalkan untuk makan bersama dengan Nyonya Alexander, mama dari Tuan Max. Beliau ingin makan siang bersama dengan para istri Tuan Max."Mendengar jawaban asisten pribadi tuan milayder, Marigold berkacak pinggang dengan gemas. "Apa kita berdua bermusuhan, Tuan Martin yang terhormat?""Bermusuhan? Apa maksud
"Apa kamu sudah hamil, Marigold?"Bibir Marigold sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan Nyonya Alexander, namun sudut matanya tiba-tiba menangkap satu sosok yang membuat tertegun. Otak Marigold seketika menjadi buram dan berkabut. Marigold memicingkan matanya ke arah sosok itu. Tubuh Marigold seolah mati rasa, saat mengenali bahwa sosok itu adalah Nolan, mantan kekasihnya.Saat ini Nolan sedang duduk satu meja bersama seorang wanita cantik. Posisi meja mereka berada tersembunyi di ujung restoran sehingga tidak terlihat jelas oleh orang yang berlalu lalang. Sekujur tubuh Marigold semakin membeku melihat interaksi Nolan dengan wanita itu. Keduanya... terlihat sangat akrab, malah terlalu akrab hingga bisa disebut intim."Tapi, wanita itu... terlihat lebih tua dari Nolan," batin Marigold yang tidak berkedip menatap bergantian, Nolan dan pasangannya. "Jadi.. semua itu benar?! Apa yang dikatakan Tuan Max tentang Nolan adalah benar?! Bahwa Nolan adalah gigolo, kekasih tante-tante?!" rintihn
"Pak, bisa saya minta tolong satu lagi?" pinta Marigold dengan mengerahkan semua aktingnya."Apa yang bisa saya bantu lagi?" tanya pak satpam yang menemaninya berjalan menuju lobi apartemen."Apa anda bisa mengantarkan saya ke lantai empat? Waktu saya muntah tadi, kartu kunciku jatuh entah dimana.""Lantai empat? Apa itu unit anda berada?" tanya pak satpam memastikan.Marigold mengangguk dengan tatapan memohon."Baiklah.""Terima kasih," ucap Marigold dengan mengangguk sopan, padahal dalam hati bersorak gembira, "Yes. Berhasil!"Jika bukan penghuni, tidak akan bisa mengakses lift. Jadi Marigold harus bisa merayu pak satpam untuk membantunya hingga ke lantai empat. Untung saja, tadi Marigold sempat melihat angka di atas kotak lift saat Nolan dan si tante itu masuk. Marigold sampai harus memicingkan mata hingga nyaris copot ketika memelototi angka berwarna merah di dinding."Itu dia," gumam Marigold setelah keluar dari kotak besi itu. Marigold berjalan cepat, menyusul Nolan yang berangk
Sroot-sroot... Marigold membuang ingus untuk kesekian kalinya. Air mata Marigold mengalir tanpa henti. Marigold menangisi hatinya yang patah karena Nolan ternyata benar-benar seorang gigolo. Marigold melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana mantan kekasihnya itu bersikap sangat romantis pada tante kaya itu. "Mbak, nanti waktu turun taksi, jangan lupa bekas tisunya tolong dibawa. Jangan dibuang di dalam mobil ya. Itu jorok," tegur ketus sopir taksi yang ditumpangi Marigold setelah meluncur keluar dari lobi apartemen Nolan si mantan luknut yang menjadi gigolo untuk tante kaya, menuju apartemen lamanya. Marigold memberikan pelototan jengkel pada sopir yang nyinyir. "Kalau bapak mau bantu buang bekas tisu ini, aku akan kasih uang tip yang banyak," semprotnya kesal. Dirinya tentu saja tahu sopan santun yaitu membuang sampah pada tempatnya. Marigold kesal diejek jorok oleh si sopir menyebalkan itu. "Ck, dasar orang kaya sombong." Marigold geram dengan komat-kamit mulut nyinyir si s
Di kantor Max.Max baru saja meletakkan ponselnya di meja, ketika tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Zahra, sekretarisnya berusaha mencegah seorang pria masuk ke dalam ruangannya."Maafkan saya, Tuan Max. Tuan ini memaksa masuk. Saya tidak bisa mencegahnya," ucap Zahra meminta maaf."Tidak apa. Sekarang keluarlah." Tanpa mengalihkan tatapannya dari tamu yang menerobos ruang kerjanya, Max mengibaskan tangannya menyuruh sekretarisnya pergi."Baik."Blam."Mau apa kamu datang kemari, Archie?" tanya Max dengan ketus sambil bersandar di kursi kerjanya, lalu menyatukan kesepuluh jarinya."Aku hanya ingin ngobrol denganmu.""Cepat katakan saja apa maumu!" gerutu Max sambil mengambil ponsel dan membuka games menyusun angka. Max tidak ingin Archie tahu bahwa dirinya tegang dan waspada. Max mengubah sikap tubuhnya sesantai mungkin, seolah kemunculan Archie tidak berarti apa pun untuknya.Archie tersenyum dingin melihat Max yang bersikap acuh tak acuh. "Aku yakin, kakek tentu sudah bilang padam
"Marigold, kamu baik-baik saja?" seru Max yang berlari mendekati istrinya. Max memegang erat kedua bahunya dan sedikit mengguncangnya."Aku.." Marigold tidak bisa meneruskan jawabannya karena tubuhnya dipeluk erat tuan milyader."Aku mengkhawatirkanmu."Marigold terkejut mendengar Tuan Max memberikan perhatian padanya. Dengan sedikit panik, mata Marigold bergerak liar mencari Nina, seolah ingin meminta kepastian bahwa apa yang didengarnya itu bukan karena telinganya berdenging, melainkan sebuah ungkapan isi hati.Tetapi... sialan!Nina tidak ada dimana pun. Dimana sepupunya itu? Masa dia menghilang begitu saja?"Eng.. Tuan Max," cicit Marigold yang merasa gelisah dipeluk tuan milyader. "To-long lepas. A-aku ti-tidak bisa nafas."Merasakan gerakan protes dari Marigold, Max melonggarkan pelukannya. "Maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar dalam pelukanku. Aku mencarimu kemana-mana. Kamu baik-baik saja kan, Marigold?" tanyanya memastikan sambil menelusuri sekujur t
Reaksi Martin berbeda dengan reaksi Max setelah berhasil mendobrak pintu apartemen Marigold. Max yang panik segera menghampiri istrinya dan mencecarnya dengan kekhawatirannya. Sedangkan Martin.. berdiri dengan syok saat melihat kondisi apartemen yang porak poranda, seolah diterjang angin puting beliung.Kres..Sepatu pantofel Martin yang mengkilap tidak sengaja menginjak bungkus camilan. Martin berdecak kesal saat sisa selai camilan itu terciprat ke sepatu hitamnya. Dengan jijik, Martin mencoba melewati lautan kekacauan ini hingga duduk di sofa, dimana Nina sedang duduk dan memandanginya dengan sebal."Kamu ini wanita kan?" omel Martin sambil memasang wajah jengkel pada Nina yang dengan polosnya menjilat ujung jari telunjuknya. "Kenapa jorok sekali?""Satu menit yang lalu aku sudah memastikan diriku, kalau aku adalah wanita tulen. Tapi entah satu menit ke depan, aku tidak tahu akan berubah menjadi spesies apa," jawab Nina acuh tak acuh sambil melemparkan dua butir kacang ke mulutnya.
Kemudian...Kedua pria tampan yang duduk bersebelahan di mobil, saling melirik satu sama lain. Martin duduk di kursi pengemudi dan Max di kursi penumpang depan. Mobil itu sedang melaju ke Edelweis Mansion. Max mengizinkan Marigold untuk menghabiskan waktu beberapa hari di apartemen lamanya."Kenapa dengan wajahmu?"Pertanyaan itu dilontarkan bersamaan.Max tergelak melihat ekspresi Martin yang cemberut seperti habis menikmati semangkuk penuh pecahan beling dan paku. Sedangkan Martin, dengan muram memperhatikan ekspresi ceria Max yang membuat silau dan bercahaya bak aura orang suci dan para santa."Kita perlu mampir ke IGD?" tanya Max dengan menahan gelak tawa. "Luka di bibirmu membutuhkan perawatan ekstra dari suster cantik nan seksi supaya cepat sembuh.""Brengsek! Tidak perlu mengejekku," geram Martin jengkel sambil mengelus sudut bibirnya yang pecah. "Berapa ronde yang diberikan istrimu? Wajahmu terlihat terlalu sombong, tidak mungkin hanya satu ronde permainan.""Ha-ha-ha.."Marti