Gunawan berdiri dengan kikuk. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Posisinya menjadi serba salah. Dia ingin pergi dari tempat itu tanpa berpamitan namun sudut hatinya menolak itu. Terasa tidak sopan saat pergi tanpa berpamitan pada sang tuan rumah. Tapi…
"Sorry ya, Gun! Bukannya aku nggak punya rasa simpati sama kamu, tapi kamu tahu sendiri kan kalau keluargaku sedang krisis keuangan," ucap seorang wanita yang ternyata adalah istri Samsul.Gunawan hanya manggut-manggut mendengar ucapan wanita betubuh sedang itu. Dalam hati dia merasa tak nyaman saat mendengar ucapan dari istri sahabatnya itu."Jadi sebaiknya kamu pergi dari sini. Karena aku dan mas Samsul nggak bisa menerima pengangguran macam kamu. Apalagi lelaki yang doyan selingkuh seperti kamu," lanjutnya.Gunawan terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia tak menyangka jika ada orang yang mengatakan hal itu. Padahal dia sama sekali tak pernah berkhianat pada Anggun. Justru Anggun yang mGunawan tampak terpaku di tempatnya. Raut wajahnya berubah pucat kala mendengar suara di seberang telepon. Tiba-tiba tubuh Gunawan merosot ke lantai. Paman Kosim yang melihat itu segera menghampiri Gunawan. Pria bertubuh kurus itu membantu keponakannya itu untuk berdiri. "Siapa yang telepon, Gun?" tanya paman Kosim. Gunawan tak lantas menjawab pertanyaan pamannya itu. Dia hanya diam dan menatap kosong ke sudut ruangan. "Mas Gunawan kenapa, Pak?" tanya Mira yang baru saja kembali dari warung. Paman Kosim menggeleng. "Kamu bantuin ibu dulu ya, Nduk! Bapak mau menemani masku dulu," titah paman Kosim. Mira mengangguk paham. Tanpa banyak bicara, gadis manis itu segera berlalu dari ruang tamu. Menyusul sang ibu yang sedang mencuci pakaian di belakang. "Ada apa ya sama mas Gunawan? Ini pasti karena perempuan nggak tahu diri itu deh. Iya, pasti dia penyebabnya." Mira bergumam sembari mengepalkan kedua tangannya. "Kalau benar mas Gun berubah karena tuh perempuan, awas aja dia. Aku biki
Sejak pagi, Gunawan telah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Anggun. Dalam hati dia berharap Anggun mau menerimanya kembali. Dia berharap, Anggun mau mencabut kata-katanya di telepon kemarin. "Buat apa sih ke sana? Buang-buang waktu aja," gerutu bi Darni. "Kita kan sudah bahas ini kemarin, Bu. Kita ke sana untuk mencari tahu sebuah kebenaran," jawab pak Kosim. Bi Darni mencebikkan bibirnya. Perempuan paruh baya itu nampak malas sekali untuk ikut ke rumah mertua Gunawan. Bukan apa-apa, semenjak menjadi besan di keluarga ini ibunda Anggun selalu bersikap sombong dan angkuh. "Sebagai pengganti orang tua untuk Gunawan, kita harus bisa menempatkan diri. Jangan sampai Gunawan kecewa dan merasa tidak diperhatikan," ucap pak Kosim. "Paman dan Bibi sudah siap?" Gunawan menyela obrolan kedua orang tua itu. Bi Darni memaksakan senyumnya. Dia lanta menganggukkan kepalanya. "Kita berangkat selarang?" ujar pak Kosim.
Kondisi Gunawan berangsur-angsur membaik. Dia sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hari ini dia berencana untuk memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan pabrik yang ada di kota tempat tinggalnya. "Kamu sudah sehat, Le?" tanya bi Darni. "Alhamdulillah, Bi. Aku sudah merasa baikan." Gunawan menjawab pertanyaan bibinya dengan senyum terkembang. Bi Darni menghela napas lega saat mendengar jawaban Gunawan. "Alhamdulillah kalau kamu sudah sehat. Sekarang kamu mau ke mana?" tanya bi Darni. "Aku mau mencari pekerjaan, Bi. Enggak enak juga kalau diam di rumah terus," jawab Gunawan. Bi Darni tersenyum sekali lagi mendengar jawaban Gunawan. "Santai saja dulu, Gun. Lagian kan sekarang kamu sudah single lagi. Enggak ada yang menuntut nafkah dari kamu," ucap bi Darni. Mendengar ucapan bibinya, Gunawan menghela napas panjang. Tiba-tiba rasa sesak menyerang dadanya dan membuat dia susah untuk bernapas.
Gunawan berdecak kesal saat melihat Ambar menepuk pundaknya dan berlagak sok akrab padanya. Tanpa banyak bicara, dia segera menyalakan mesin motornya dan berlalu dari sana. Kini tinggallah Ambar yang nampak kebingungan sendiri. "Dasar cowok aneh. Tapi, kalau dilihat-lihat dia ganteng juga ya!" Ambar berkata sambil tersenyum sendirian. "Eh kok malah muji-muji cowok itu sih!" Dia mencoba membantah apa yang dikatakannya barusan.Sementara itu, pikiran Gunawan masih tertuju pada Anggun. Orang yang selama ini selalu ada dalam hatinya walaupun Anggun sudah berubah dan sudah mengkhianatinya. 'Kenapa harus bertemu dengan dia lagi? Kenapa harus bertemu dengannya di saat aku sudah mulai bisa melepaskan dia?' ucap Gunawan dalam hati. Tanpa sadar, Gunawan mengumpat sembari memukul stang motornya. Dia lalu memelankan laku kendaraannya sebelum akhirnya berhenti di pinggir jalan. Gunawan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya d
Semenjak selesai mengantarkan paket ke rumah Anggun, Gunawan lebih banyak diam. Faizal menjadi merasa heran karena Gunawan hanya diam saja dan hanya menjawab sekadarnya saja. "Kita istirahat dulu ya, Gun!" ajak Faizal. Gunawan mengangguk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. "Kamu bawa bekal apa mau beli, Gun?" tanya Faizal. Gunawan mengangkat sebuah kantong plastik yang sejak tadi ia simpan dalam tasnya. Kemudian dia membuka bekal yang dibawanya dari rumah tadi. Faizalpun melakukan hal yang sama. Lelaki itu membuka bekal yang ia bawa dari rumahnya sendiri. "Sorry, Gun! Tadi itu siapa sih? Kok kayaknya nggak suka sama kamu?" tanya Faizal hati-hati. Dia takut menyinggung perasaan teman barunya itu. Gunawan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Faizal. "Dia… dia manta istri aku, Bang," jawab Gunawan lirih. Faizal terhenyak mendengar jawaban Gunawan. Dia tak menduga jika Gunawan sudah pernah men
Gunawan mengernyitkan keningnya kala mendengar suara itu. Dia lantas menoleh untuk melihat siapa yang berbicara barusan."Pinter ya lo jilat atasan?" sindir seorang lelaki berbadan besar itu pada Gunawan. Gunawan menatap lelaki itu dengan heran. Dia menemukan sejumput rasa iri dalam sorot mata lelaki itu. "Saking penginnya diterima jadi karyawan tetap, lo sampai harus jilat atasan kayak gitu! Hebat lo," ucap lelaki itu. Gunawan hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian dia segera berlalu dari sana tanpa memperdulikan lelaki itu yang menatapnya dengan penuh kebencian. Lelaki berbadan besar itu mengepalkan kedua tangannya. Dia merasa direndahkan oleh anak baru yang dianggapnya tak tahu apa-apa itu. "Gue nggak akan tinggal diam. Lihat aja entar! Gue bakalan bikin perhitungan sama lo!" geramnya. Sementara itu, Anggun dan ibunya tampak sedang berada di sebuah salon kecantikan. Di tangannya tampak banyak sekali paper bag a
Bu Ika tampak berkacak pinggang sambil melotot tajam ke arah seseorang yang berdiri di depannya. "Mau ngapain kamu ke sini? Anggun nggak bakalan pernah mau ketemu sama kamu lagi!" ucap bu Ika. "Saya cuman mau—""Enggak usah banyak alasan. Saya sudah tahu maksud kedatanganmu ke mari. Kamu pasti mau ngajak Anggun rujuk lagi, kan?" potong bu Ika cepat. "Bukan. Saya cuman mau—""Dengar ya, lelaki miskin tak guna! Anggun sekarang sudah bahagia bersama suami barunya. Jadi kamu jangan coba-coba mendekati Anggun dan mengajaknya rujuk kembali. Karena saya tidak sudi memiliki menantu miskin dan pengangguran kayak kamu!" lanjut bu Ika. Gunawan beristighfar dalam hati. Niat hati hanya ingin mengantarkan paket, dirinya malah mendapatkan hinaan dan cacian seperti ini. "Mending sekarang kamu pergi sebelum saya telepon menantu saya yang kaya raya itu untuk mengusir kamu," usir bu Ika. Gunawan menggeleng. Kemudian dia berkata, "Saya akan tetap di sini sampai Anggun keluar."Bu Ika berang dan meme
Gunawan terpaku saat melihat siapa gadis itu. Matanya menatap gadis itu tanpa berkedip. Bukan karena kecantikannya yang membuat Gunawan seperti ini. Tapi dia kembali teringat saat gadis itu bertanya tentang hal-hal pribadinya. "Mas Gunawan! Mau pesan apa pesan apa Mas?" Gadis yang ternyata Ambar itu menyunggingkan senyuman manisnya pada Gunawan. Faizal tampak melongo saat gadis cantik incaran pada jejaka itu mengenal Gunawan. Bahkan dia memanggil Gunawan dengan sebutan mas. Dia lantas menyenggol lengan Gunawan untuk menanyakan sesuatu. "Kamu udah kenal sama dia?" Faizal berbisik pada Gunawan agar Ambar tak mendengar suara mereka. Gunawan hanya mengangguk saja. "Enggak kenal-kenal banget sih. Tapi kita pernah ketemu di tempat lain." Gunawan menjawab dan mencoba mengklarifikasi agar tak ada salah paham antara dirinya dan Faizal. "Kenal di mana?" Faizal kembali bertanya. Jiwa keponya semakin menjadi-jadi kala mendengar jawaban Gunawan barusan. Gunawan menatap wajah Faizal dengan he