Gunawan membuka pintu rumah itu. Dia terkejut saat melihat siapa yang datang ke rumahnya.
"Kalian?!" pekik Gunawan tertahan.Orang-orang yang berdiri di depan Gunawan tersenyum. Mereka semua sudah menduga jika Gunawan akan terkejut dengan kedatangan mereka semua."Assalamu'alaikum, Gun!" sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah Samsul, salah satu rekan kerja Gunawan semasa di pabrik dulu."Wa-wa'alaikumusalam," jawab Gunawan."Maaf kami datangnya mendadak. Soalnya baru tahu kalau kamu sedang berduka," ucap Samsul."Iya, Gun. Maaf kami baru bisa datang ke sini setelah pulang kerja," sahut yang lainnya.Gunawan mencoba tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku senang kalian mau datang. Eh iya! Mari silakan masuk!" ajak Gunawan.Mereka lantas masuk ke dalam rumah secara bergantian."Kami turut berdukacita ya, Gun atas meninggalnya Ibu kamu." Samsul berkata setelah mereka semua masuk dan duduk di lantai ruang tamu rumah itu."Iya, Sul. Makasih ya!" jawab Gunawan.Mendengar suara ramai di luar, Anggun berjalan pelan menuju ruang tamu. Dia ingin tahu siapa yang datang bertamu ke rumah kumuh ini."Mau apa mereka ke mari? Kalau cuman mau ngucapin belasungkawa aja kan bisa lewat chat. Enggak perlu datang ke mari!" batinnya.Setelah puas mengamati, Anggun berjalan menuju kamarnya yang terletak di samping ruang tamu. Dia berjalan dengan angkuhnya tanpa peduli ada orang yang sedang duduk di sana."Nggun, tolong buatkan minuman untuk tamu kita ya," pinta Gunawan pada sang istri.Tapi Anggun tak menghiraukan permintaan sang suami. Dia hanya melirik sekilas. Dengan angkuhnya, dia masuk ke dalam sembari membanting pintu.Gunawan hanya bisa beristighfar dalam hati. Sejujurnya dia merasa sangat malu dengan kelakuan sang istri yang tak bisa menghargai tamu."Em… tunggu sebentar ya. Aku buatkan minuman untuk kalian," ucap Gunawan.Para tamu itu mengangguk. Mereka menjadi tak enak hati pada Gunawan dan keluarganya. Karena kedatangan mereka yang mendadak, membuat Anggun menjadi marah.Gunawan berjalan menuju dapur dan mulai menyalakan kompor. Tepat saat itu, Bi Darni masuk ke dapur."Mau bikin apa, Le?" tanya perempuan paruh baya itu."Eh, Bibi! Ini Bi mau bikin minuman. Ada tamu soalnya," jawab Gunawan.Tangannya dengan lincah meracik minuman untuk para tamu yang datang."Tamu siapa, Gun?" tanya bi Darni lagi."Teman-temanku sewaktu kerja di pabrik, Bi. Mereka datang untuk melayat." Gunawan menjawab sembari menuangkan gula ke dalam gelas-gelas yang berjejer di depannya.Bi Darni manggut-manggut mendengar jawaban Gunawan. Dia lantas menyuruh Gunawan untuk masuk ke dalam dan menemani para tamunya. Sedangkan bi Darni meneruskan pekerjaan Gunawan untuk membuat minuman."Makasih ya, Bi. Maaf kalau aku selalu ngerepotin Bibi," ucap Gunawan.Bi Darni tersenyum mendengar ucapan Gunawan. Dia sama sekali tak merasa direpotkan oleh keponakan kesayangannya itu. Dia justru senang jika Gunawan mau meminta bantuan kepadanya.****************Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa 40 hari sudah ibunda Gunawan pergi menghadap yang maha Kuasa. Gunawan kini telah kembali ke kota dan kembali berusaha untuk mencari pekerjaan baru."Dek, aku pamit ya. Mau cari kerjaan," pamit Gunawan pada Anggun."Hhmmm!" Hanya itu yang keluar dari mulut sang istri.Gunawan menghela napas panjang. Dia berusaha untuk tetap bersabar menghadapi sikap sang istri yang tiba-tiba berubah dingin padanya.Gunawan mengulurkan tangannya. Mencoba untuk bersalaman dengan sang istri seperti yang biasa dia lakukan ketika masih bekerja di pabrik dulu."Mau apa?" Anggun bertanya pada Gunawan dengan sinis saat melihat suaminya itu mengulurkan tangan."Salaman, Dek. Seperti yang biasa kamu lakukan dulu," jawab Gunawan.Anggun memalingkan wajahnya. Dia kembali fokus pada ponselnya tanpa mempedulikan sang suami."Enggak usah salam-salaman segala. Kalau mau berangkat, ya tinggal berangkat aja. Enggak usah lebay pakai salam-salaman segala," ketus Anggun."Tapi, Dek. Itu—""Alah, Gun! Enggak usah lebay kamu. Anggun tuh ogah salaman sama pengangguran macam kamu. Dia alergi salaman sama suami yang nggak berguna kayak kamu." Tiba-tiba bu Ika menotong ucapan Gunawan.Gunawan melihat ke arah sang ibu mertua. Ingin rasanya dia menjawab ucapan menyakitkan dari perempuan beralis seperti celurit itu. Tapi dia berusaha untuk menahan emosinya."Benar kata ibu. Kalau mau aku kayak dulu, kamu harus bisa mendapatkan uang yang banyak. Kalau perlu lebih banyak dari yang dulu," sahut Anggun.Tanpa menyahuti perkataan kedua wanita itu, Gunawan segera keluar dari dalam rumah. Dia berjalan menuju jalan besar yang setiap hari dilaluinya.Di tengah jalan, dia bertemu dengan salah seorang tetangganya."Eh, Gun! Mau ke mana?" tanya orang itu."Eh, Bu Ida. Ini mau cari kerjaan, Bu," jawab Gunawan.Perempuan yang disapa bu Ida itu tersenyum. "Semangat ya cari kerjanya. Jangan menyerah," ucap bu Ida memberi semangat.Gunawan membalas ucapan perempuan itu dengan senyuman. Setelah itu dia berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya untuk mencari pekerjaan.Tempat pertama yang Gunawan kunjungi adalah sebuah pabrik pengolahan ikan. Dia datang ke sana setelah diberitahu oleh temannya jika di sana sedang membuka lowongan."Maaf, Gun! Ternyata posisi itu sudah ada yang ngisi." Temannya berkata penuh penyesalan saat Gunawan datang ke sana.Gunawan tersenyum. "Iya, Zis. Enggak apa-apa. Mungkin belum rejekiku aja," jawab Gunawan.Setelah berpamitan, Gunawan melanjutkan langkahnya menuju sebuah pabrik pengolahan kayu."Maaf, Gun! Bosnya nyari yang lulusan SMP. Dia nggak nerima yang lulusan D1 kayak kamu," ucap temannya itu.Gunawan menghela napas panjang. Dia kemudian tersenyum. Setelah itu, dia berpamitan dan kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat lain.Hari sudah beranjak siang. Tapi Gunawan belum juga mendapatkan pekerjaan sama sekali. Setiap pabrik atau toko yang dia kunjungi, selalu bilang tidak ada lowongan. Atau tidak menerima lulusan D1 seperti dirinya. Lalu, lulusan apa yang mereka cari? Lulusan sekolah dasar atau lulusan sekolah menengah yang bisa mereka kibuli?Gunawan berhenti sejenak di sebuah warung yang tak jauh dari tempat pembangunan sebuah proyek. Kakinya sudah terasa pegal karena hampir seharian ini berjalan untuk mencari pekerjaan.Gunawan masuk dan memesan segelas es teh. Dia juga mengambil sebungkus roti yang ada di meja warung untuk mengganjal perutnya."Cari kerjaan ya, Mas?" tanya sang pemilik warung."Eh! Iya, Bu," jawab Gunawan."Lulusan apa Mas?" tanya pemilik warung itu lagi."Kenapa, Bu?" Gunawan balik bertanya pada ibu pemilik warung."Enggak apa-apa, Mas. Cuman nanya aja!" jawab ibu itu.Gunawan hanya menanggapi jawaban ibu itu dengan senyuman. Kemudian dia kembali menikmati makan siangnya."Lagi nyari kerjaan ya, Mas?" Seseorang yang duduk tak jauh darinya ikut bertanya pada Gunawan."Iya, Mas. Ada info lowongan kerja nggak, Mas?" tanya Gunawan.Orang itu tersenyum saat mendengar pertanyaan Gunawan. Dia lantas menjawab, "kalau Mas mau, ikut kerja sama saya aja. Kebetulan saya sedang butuh satu orang pekerja."Mata Gunawan berbinar kala mendengar tawaran itu. Dia segera mengiyakan tawaran itu tanpa memikirkan yang lainnya."Kalau gitu, besok kamu datang ke proyek untuk bertemu dengan saya dan mandor kepala ya," ucap orang itu lagi.Gunawan tampak sangat senang. Dia mengucapkan banyak-banyak terimakasih pada orang itu. Kemudian dia segera berlalu dari tempat itu.Tak berapa lama, dia sampai di depan rumah sang mertua. Dia akan memberitahukan kabar gembira ini pada mertua dan istrinya. Tapi saat akan mengucapkan salam, dia mendengar sesuatu yang membuat hatinya teriris perih.Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik
Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i
Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut
Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya
Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”
Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te