Share

2. Perseteruan

Gunawan segera mengajak Anggun untuk pulang ke kampung halamannya begitu mendengar kabar duka itu. Sepanjang perjalanan, air mata Gunawan tak berhenti menetes. Ada segumpal sesal dalam yang bersarang dalam dada saat tak bisa menemani sang ibu di saat-saat terakhirnya.

"Udah deh nggak usah cengeng. Lebay banget sih!" ketus Anggun.

Gunawan menatap sang istri sekilas. Dia kemudian mengusap air matanya tanpa merespon ucapan sang istri yang terdengar menyakitkan hati itu.

"Biarpun kamu tangisin sampai air mata kamu habis. Orang mati nggak bakalan hidup lagi," lanjut wanita bertubuh kurus itu.

Gunawan masih diam saja. Dia tak ingin meladeni ucapan sang istri yang semakin tak enak didengar itu.

"Seandainya aku tahu ibu akan pergi secepat ini… aku pasti akan sering pulang untuk menengok ibu," ucap Gunawan penuh penyesalan.

Anggun melirik malas saat mendengar ucapan sang suami. Dia sama sekali tak suka mendengar penyesalan suaminya itu.

"Lebay banget sih jadi orang," gumam Anggun.

Tak berapa lama, mereka telah sampai di rumah Gunawan. Lelaki itu segera berlari masuk ke dalam rumah. Dia tak peduli pada orang-orang yang memanggil namanya. Dia hanya ingin melihat wajah sang ibu untuk yang terakhir kali.

Anggun berdecak kesal saat melihat sang suami langsung berlari tanpa memperdulikan dirinya. Dia juga tak membalas sapaan para kerabat Gunawan yang berusaha untuk bersikap ramah padanya.

"Huh! Sombong banget sih istrinya Mas Gunawan," ucap seorang perempuan muda yang seusia dengan Anggun. Dia adalah Mira, sepupu Gunawan.

"Iya. Sombong banget. Kok bisa sih dulu Mas Gunawan nikah sama cewek kayak gitu? Udah wajahnya nggak cantik tapi gayanya sok kecakepan banget," sahut yang lain.

"Ssstt… sudah… sudah! Jangan diteruskan lagi. Nanti kalau orangnya dengar kan nggak enak sendiri," timpal seorang perempuan bergamis biru.

"Biarin aja, Mbak. Lagian sombong amat jadi manusia. Padahal Tuhan yang punya segala isi dunia aja nggak sombong. Nah ini! Baru dikasih wajah yang kayak gitu aja udah sok banget!" sahut Mira.

Perempuan bergamis biru itu hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Mira.

Sementara itu, di dalam rumah. Gunawan ingin memeluk jenazah sang ibu. Tapi orang-orang yang ada di sana menghalanginya. Mereka beralasan bahwa jenazah sang ibu sudah disucikan dan siap untuk dikafani. Akhirnya, Gunawan hanya bisa menatap wajah sang ibu tanpa bisa menyentuh.

Anggun lagi-lagi berdecak kesal melihat kelakuan sang suami. Dia merasa sang suami terlalu berlebihan. Dia hanya kehilangan seorang ibu, bukan kehilangan istri atau nyawanya sendiri, kan? Begitu pikir Anggun.

"Aduh lebay banget sih! Enggak usah ditangisi kenapa sih? Enggak bakalan hidup juga kan!" pekik Anggun.

Orang-orang yang ada di sana kompak menoleh ke arah Anggun. Mereka menatap Anggun dengan berbagai ekspresi. Ada yang kaget hingga mengucap istighfar sambil mengelus dada.

"Heh! Bisa berempati dikit nggak sih? Mas Gunawan lagi berduka dan yang meninggal ini mertua kamu. Bisa jaga mulut nggak sih? Atau perlu aku kasih satpam buat jagain mulut kamu?" tegur Mira.

Gadis itu memang paling tak suka pada Anggun. Sejak pertama kali Gunawan memperkenalkan Anggun sebagai calon istrinya dulu hingga sekarang, Mira masih saja tak suka pada perempuan itu.

Anggun sudah akan membuka mulut untuk membalas ucapan Mira. Tapi Gunawan menatapnya dan menggelengkan kepala seolah memberi isyarat agar sang istri diam.

Anggun menatap gadis itu dengan tatapan tajam. Kemudian dia berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

****************

Pemakaman sang ibu selesai saat menjelang sore. Gunawan masuk ke rumah setelah sebelumnya mencuci tangan serta kaki di sumur. Dia masuk melalui pintu belakang yang masih terbuka.

"Sudah pulang, Gun?" tanya seorang perempuan paruh baya padanya.

"Sudah, Bi." Gunawan menjawab sambil menatap wajah bibinya dengan tatapan sendu.

Gunawan menghela napas panjang. "Maafin aku ya, Bi. Aku jarang pulang untuk menengok keadaan ibu di rumah. Ibu sakit keras pun aku tak ada di sisinya. Sampai ibu meninggal—"

"Sudah, Gun. Enggak perlu disesali. Semua sudah takdir dari yang maha Kuasa," potong perempuan itu cepat.

"Oh iya, Gun. Nanti malam akan ada acara tahlilan. Kamu masih menginap di sini kan sampai tahlilan selesai?" lanjut perempuan paruh baya itu.

Gunawan menatap bibinya dan mengangguk. "Aku masuk dulu ya, Bi. Mau istirahat!" ucap Gunawan.

Perempuan itu mengelus pundak keponakannya dengan lembut. Kemudian dia mengangguk. Dia menatap punggung keponakannya hingga menghilang di balik pintu kamar.

Di kamar, Gunawan mendapati sang istri tengah memainkan ponselnya. Dia sama sekali tak menegur Gunawan yang baru saja pulang dari pemakaman.

Gunawan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap tak acuh sang istri. Wanita yang dinikahinya dua tahun lalu itu sama sekali tak menunjukkan rasa empatinya pada kejadian yang menimpa Gunawan.

"Mau ambil apa kok buka-buka tas?" Anggun menegur Gunawan saat melihat sang suami membuka tas ransel yang tadi dibawanya dari rumah.

Gunawan tak menghiraukan pertanyaan perempuan itu. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Gunawan bergegas keluar kamar.

"Bi, Bi Darni!" panggil Gunawan.

Seorang perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh menghampiri Gunawan.

"Ada apa, Gun? Ada yang bisa Bibi bantu, Nak?" tanya perempuan itu. Ada gurat kecemasan dalam wajahnya.

Gunawan tersenyum. Dia lalu memberikan amplop putih yang dia bawa pada Bi Darni.

"Apa ini, Gun?" tanya bi Darni tak mengerti.

"Aku ada sedikit rezeki, Bi. Lumayanlah bisa buat tambahan untuk membeli camilan orang-orang yang ikut tahlilan nanti," jawab Gunawan.

Mata perempuan yang dipanggil Bi Darni itu berkaca-kaca. Dia merasa terharu melihat sikap sang keponakan. Dia tahu bagaimana hidup keponakannya itu di kota.

"Enak aja main kasih uang ke orang lain!" Tiba-tiba Anggun datang dan langsung merebut amplop dalam genggaman Bi Darni.

"Mas, kalau punya duit banyak tuh dikasih ke istri dulu. Jangan kamu kasihkan ke orang lain. Apalagi buat acara apa itu? Tahlilan?" Anggun berkata sambil membuka amplop putih itu.

"Tolong kembalikan amplopnya, Dek. Itu untuk acara tahlilan ibu nanti malam. Hanya itu yang bisa Mas lakukan untuk menebus rasa bersalah pada ibu." Gunawan memohon agar Anggun mau memberikan amplop itu kembali.

"Enak aja! Denger ya Mas. Mau kamu tahlilan sampai mulut berbusa, yang namanya orang mati tuh nggak bakalan hidup lagi. Orang mati juga nggak butuh duit, Mas. Yang butuh duit tuh ini!" Anggun menunjuk dadanya sembari menatap tajam ke arah sang suami.

"Astaghfirullahalazim. Istighfar kamu, Dek," ucap Gunawan.

"Enggak usah nyuruh-nyuruh orang buat istighfar kamu. Enggak usah sok paling benar kamu jadi orang." Anggun berkata dengan nada ketus.

"Uang ini pesangon kamu, kan? Pesangon kamu dari pabrik, kan?" Anggun berujar sambil mengangkat amlop putih itu.

"Sudah! Sudah! Jangan bertengkar. Ambil saja uang itu. Kami tak butuh uang dari kalian. Kami masih mampu mengadakan acara tahlilan itu dengan cara kami," ucap Bi Darni.

Anggun sudah akan membuka mulut untuk membalas ucapan Bi Darni. Tapi suara ketukan di pintu, membuat Anggun mengurungkan niatnya itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gogot Puji
baca bab ini serasa pengin nonjok muka si Anggun deg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status