Share

Hari Pernikahan

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2023-09-08 13:37:22

Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak.

"Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.

Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."

Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."

Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu.

"Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya.

"Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adanya?"

Wajah cantik itu kini tersenyum puas melihat raut kekecewaan yang terpancar jelas dari wajah Adira.

"Tuan, saya merasa lelah hari ini, saya mohon pamit untuk beristirahat di dalam kamar," lirih Adira yang terlihat bersusah payah mengumpulkan ketegaran yang tersisa dalam hati.

Otaknya terasa memanas, hingga tidak bisa ia gunakan untuk berpikir jernih hari ini. Biarkan hari ini berlalu seperti kemauan semesta saja. Ia pasrah akan semua hal yang menimpanya.

Tanpa menunggu jawaban, kaki kurus dengan balutan daster panjang itu melangkah pasti kembali memasuki kamar.

Sementara Aksa masih terdiam membisu. 'Helen hanya seorang wanita yang dijodohkan denganku, namun aku tidak memiliki perasaan terhadapnya.' Kalimat itu urung ia ucapkan kala kaki Adira mulai menjauh.

Ia merasa tidak perlu terlalu memperjelas hubungan yang akan kandas itu. Aksa hanya ingin Adira melihat sendiri bagaimana hubungan mereka terjadi.

"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Aksa datar tanpa menatap wajah lawan bicaranya.

Kini rubah betina itu kembali menunjukkan wujud aslinya. "Kenapa? Tentu saja untuk menjelaskan tentang hubungan kita pada Jalang itu."

"Heh." Aksa menyeringai untuk sejenak.

"Bukankah seharusnya kamu lebih tahu akan hubungan kita yang hanya digunakan sebagai keuntungan bisnis saja?"

Aksa mulai melipat kedua tangannya di bawah dada dengan gestur angkuh. Sorot tajam mengintimidasi seolah menciutkan nyali.

Helen terdiam membisu. Mulutnya ingin menimpali, namun nuraninya merasa takut hingga membuat lidahnya seketika terasa keluh.

Pria berperawakan tinggi dan tegap itu kini mulai melangkah mendekati lawan bicaranya. Mendekatkan wajah untuk memperjelas ucapannya. "Sampai mati pun, aku tidak sudi menikah denganmu," bisiknya lirih namun penuh penekanan.

Kalimat itu seketika membuat gigi Helen bergemeretak. Kedua tangannya mengepal kuat. Rasa sakit yang begitu menusuk hati terasa begitu nyeri, hingga membuat matanya terasa berair.

Aksa kembali menarik diri. Kaki jenjang dengan sepatu pantofel hitam kembali melangkah kasar menyusul Adira yang telah berada di dalam kamar.

Merasa terabaikan. Helen masih membeku di tempat semula. Rasa amarah yang begitu bergejolak membuat bulir bening mulai luruh dengan mulut yang tidak berhenti mengumpat. "Mari kita lihat, sejauh apa kamu bisa menolak pesonaku!" geramnya.

Sementara itu. Tanpa sebab yang jelas. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan membasahi bantal yang tengah digunakan Adira untuk merebahkan diri.

Ceklek!

Pergerakan dari gagang pintu kamar yang begitu mendadak, sontak membuat tubuhnya tersentak.

Ia buru-buru menghapus kasar air mata yang telah membasahi pipi.

Mata sembabnya memaksa terpejam kala suara langkah berat mulai terdengar semakin mendekat.

"Kalau mau tidur, jangan lupa untuk mengunci pintu." Suara berat yang terdengar merdu itu membuat hati Adira sedikit bergejolak.

Jujur saja. Dirinya bukan lupa untuk mengunci pintu, melainkan tidak mengerti caranya. Berkali-kali ia mencoba untuk memencet tombol di sekitar gagang pintu, namun pintu tak kunjung terkunci. Mungkin terlalu lama hidup dalam penderitaan membuatnya sedikit ketinggalan jaman.

Pria tampan yang masih mengenakan baju dinas itu mulai duduk di tepian ranjang. Netra itu menatap sendu ke arah tubuh yang kini tertutupi oleh selimut yang didominasi warna putih.

"Apa kamu perlu penjelasan dariku tentang kejadian tadi?" tanyanya lirih. Sorot kecemasan mulai terpancar jelas dari wajah penat itu.

Namun hanya kesunyian yang ia dapat. Adira masih terdiam membisu. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulut wanita cantik itu.

"Adira?" Tak kunjung mendapat jawaban. Wajah penuh kebingungan itu sedikit menunduk untuk memastikan wajah wanita yang sebagian tengah tertutupi oleh selimut.

"Apa kamu sudah tidur?" Aksa menghentikan pergerakan saat kepalanya mendekati wajah cantik yang terpaksa memejam erat itu.

Namun di luar dugaan, ia mendapati kedua bulu mata lentik yang terlihat sedikit bergetar. Seolah mata itu dipaksa untuk terpejam.

Aksa kembali menarik diri ke posisi semula. Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. "Tidurlah, suatu hari kamu akan mengetahui kebenarannya, jadi, tolong jangan salah paham padaku."

Kaki jenjang itu kembali melangkah. Namun langkahnya terhenti untuk sesaat sebelum pintu kamar kembali tertutup. "Aku tahu kalau kamu sedang pura-pura tidur."

Mata Adira seketika terbelalak saat mendengar pintu mulai tertutup kembali. Kedua tangannya menarik selimut untuk menutupi seluruh wajahnya yang memerah akibat merasa malu.

Kesunyian terus berlanjut hingga membawa Adira ke alam mimpi.

***

Pukul sembilan lewat dua puluh menit. Masih dalam kediaman Aksa Adhitama, sang CEO perusahaan properti terbesar se-Asia tenggara.

Kediaman yang biasanya ramai oleh para pelayan dan pengawal kediaman, hari ini mendadak sunyi. Tak ada sedikit pun aktivitas yang terlihat dari luar kediaman.

Hal itu tentunya tidak terjadi tanpa sebab. Aksa tidak ingin pernikahannya mengundang perhatian Carlos Ducan, ayah dari Helena Ducan yang menjodohkannya dengan sang putri semata wayangnya untuk kelangsungan bisnis.

"Tuan, Penghulu Anda telah tiba di halaman kediaman," ucap Gavin yang ikut serta mengatur segala urusan atasannya.

Dengan perawakan tegap, asisten pribadi itu membungkukkan tubuh di depan sang atasan yang terlihat tengah merias diri.

Dua pelayan wanita nampak memakaikan setelan jas berwarna putih, sedangkan dua lainnya tengah sibuk menata rambut.

"Kawal untuk segera memasuki kediaman, tapi usahakan untuk tidak terlalu mencolok," tegasnya.

"Siap, akan segera saya laksanakan."

Gavin memutar tubuh untuk segera melakukan tugas yang diberikan oleh atasannya. Namun karena suatu hal yang seketika merebut perhatiannya, Gavin terjatuh karena menabrak seorang pelayan wanita.

Bruk!

"Aduh!" Gavin dan pelayan wanita itu jatuh terduduk di atas lantai. Namun pandangan mata Gavin tidak berpaling sedikit pun dari suatu hal yang berhasil merebut perhatiannya.

"Gavin, biasakan dirimu untuk tidak berjalan sembari melam ...." Ucapan Aksa seketika menggantung, kala pandangan mata itu ikut serta terpanah pada sosok wanita cantik yang kini dibalut dengan kebaya pengantin yang didominasi oleh warna putih, berdiri tegak dengan wajah tertunduk malu.

"A-adira? Benarkah ini kamu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kelahiran anak kedua

    ***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Tebakan bapak tua

    "Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Pemakaman Betari

    Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kabar duka dari rumah sakit jiwa

    "Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Betari mengakhiri hidupnya

    ***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Penderitaan Mayang

    "Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status