Share

Hari Pernikahan

Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak.

"Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.

Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."

Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."

Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu.

"Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya.

"Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adanya?"

Wajah cantik itu kini tersenyum puas melihat raut kekecewaan yang terpancar jelas dari wajah Adira.

"Tuan, saya merasa lelah hari ini, saya mohon pamit untuk beristirahat di dalam kamar," lirih Adira yang terlihat bersusah payah mengumpulkan ketegaran yang tersisa dalam hati.

Otaknya terasa memanas, hingga tidak bisa ia gunakan untuk berpikir jernih hari ini. Biarkan hari ini berlalu seperti kemauan semesta saja. Ia pasrah akan semua hal yang menimpanya.

Tanpa menunggu jawaban, kaki kurus dengan balutan daster panjang itu melangkah pasti kembali memasuki kamar.

Sementara Aksa masih terdiam membisu. 'Helen hanya seorang wanita yang dijodohkan denganku, namun aku tidak memiliki perasaan terhadapnya.' Kalimat itu urung ia ucapkan kala kaki Adira mulai menjauh.

Ia merasa tidak perlu terlalu memperjelas hubungan yang akan kandas itu. Aksa hanya ingin Adira melihat sendiri bagaimana hubungan mereka terjadi.

"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Aksa datar tanpa menatap wajah lawan bicaranya.

Kini rubah betina itu kembali menunjukkan wujud aslinya. "Kenapa? Tentu saja untuk menjelaskan tentang hubungan kita pada Jalang itu."

"Heh." Aksa menyeringai untuk sejenak.

"Bukankah seharusnya kamu lebih tahu akan hubungan kita yang hanya digunakan sebagai keuntungan bisnis saja?"

Aksa mulai melipat kedua tangannya di bawah dada dengan gestur angkuh. Sorot tajam mengintimidasi seolah menciutkan nyali.

Helen terdiam membisu. Mulutnya ingin menimpali, namun nuraninya merasa takut hingga membuat lidahnya seketika terasa keluh.

Pria berperawakan tinggi dan tegap itu kini mulai melangkah mendekati lawan bicaranya. Mendekatkan wajah untuk memperjelas ucapannya. "Sampai mati pun, aku tidak sudi menikah denganmu," bisiknya lirih namun penuh penekanan.

Kalimat itu seketika membuat gigi Helen bergemeretak. Kedua tangannya mengepal kuat. Rasa sakit yang begitu menusuk hati terasa begitu nyeri, hingga membuat matanya terasa berair.

Aksa kembali menarik diri. Kaki jenjang dengan sepatu pantofel hitam kembali melangkah kasar menyusul Adira yang telah berada di dalam kamar.

Merasa terabaikan. Helen masih membeku di tempat semula. Rasa amarah yang begitu bergejolak membuat bulir bening mulai luruh dengan mulut yang tidak berhenti mengumpat. "Mari kita lihat, sejauh apa kamu bisa menolak pesonaku!" geramnya.

Sementara itu. Tanpa sebab yang jelas. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan membasahi bantal yang tengah digunakan Adira untuk merebahkan diri.

Ceklek!

Pergerakan dari gagang pintu kamar yang begitu mendadak, sontak membuat tubuhnya tersentak.

Ia buru-buru menghapus kasar air mata yang telah membasahi pipi.

Mata sembabnya memaksa terpejam kala suara langkah berat mulai terdengar semakin mendekat.

"Kalau mau tidur, jangan lupa untuk mengunci pintu." Suara berat yang terdengar merdu itu membuat hati Adira sedikit bergejolak.

Jujur saja. Dirinya bukan lupa untuk mengunci pintu, melainkan tidak mengerti caranya. Berkali-kali ia mencoba untuk memencet tombol di sekitar gagang pintu, namun pintu tak kunjung terkunci. Mungkin terlalu lama hidup dalam penderitaan membuatnya sedikit ketinggalan jaman.

Pria tampan yang masih mengenakan baju dinas itu mulai duduk di tepian ranjang. Netra itu menatap sendu ke arah tubuh yang kini tertutupi oleh selimut yang didominasi warna putih.

"Apa kamu perlu penjelasan dariku tentang kejadian tadi?" tanyanya lirih. Sorot kecemasan mulai terpancar jelas dari wajah penat itu.

Namun hanya kesunyian yang ia dapat. Adira masih terdiam membisu. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulut wanita cantik itu.

"Adira?" Tak kunjung mendapat jawaban. Wajah penuh kebingungan itu sedikit menunduk untuk memastikan wajah wanita yang sebagian tengah tertutupi oleh selimut.

"Apa kamu sudah tidur?" Aksa menghentikan pergerakan saat kepalanya mendekati wajah cantik yang terpaksa memejam erat itu.

Namun di luar dugaan, ia mendapati kedua bulu mata lentik yang terlihat sedikit bergetar. Seolah mata itu dipaksa untuk terpejam.

Aksa kembali menarik diri ke posisi semula. Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. "Tidurlah, suatu hari kamu akan mengetahui kebenarannya, jadi, tolong jangan salah paham padaku."

Kaki jenjang itu kembali melangkah. Namun langkahnya terhenti untuk sesaat sebelum pintu kamar kembali tertutup. "Aku tahu kalau kamu sedang pura-pura tidur."

Mata Adira seketika terbelalak saat mendengar pintu mulai tertutup kembali. Kedua tangannya menarik selimut untuk menutupi seluruh wajahnya yang memerah akibat merasa malu.

Kesunyian terus berlanjut hingga membawa Adira ke alam mimpi.

***

Pukul sembilan lewat dua puluh menit. Masih dalam kediaman Aksa Adhitama, sang CEO perusahaan properti terbesar se-Asia tenggara.

Kediaman yang biasanya ramai oleh para pelayan dan pengawal kediaman, hari ini mendadak sunyi. Tak ada sedikit pun aktivitas yang terlihat dari luar kediaman.

Hal itu tentunya tidak terjadi tanpa sebab. Aksa tidak ingin pernikahannya mengundang perhatian Carlos Ducan, ayah dari Helena Ducan yang menjodohkannya dengan sang putri semata wayangnya untuk kelangsungan bisnis.

"Tuan, Penghulu Anda telah tiba di halaman kediaman," ucap Gavin yang ikut serta mengatur segala urusan atasannya.

Dengan perawakan tegap, asisten pribadi itu membungkukkan tubuh di depan sang atasan yang terlihat tengah merias diri.

Dua pelayan wanita nampak memakaikan setelan jas berwarna putih, sedangkan dua lainnya tengah sibuk menata rambut.

"Kawal untuk segera memasuki kediaman, tapi usahakan untuk tidak terlalu mencolok," tegasnya.

"Siap, akan segera saya laksanakan."

Gavin memutar tubuh untuk segera melakukan tugas yang diberikan oleh atasannya. Namun karena suatu hal yang seketika merebut perhatiannya, Gavin terjatuh karena menabrak seorang pelayan wanita.

Bruk!

"Aduh!" Gavin dan pelayan wanita itu jatuh terduduk di atas lantai. Namun pandangan mata Gavin tidak berpaling sedikit pun dari suatu hal yang berhasil merebut perhatiannya.

"Gavin, biasakan dirimu untuk tidak berjalan sembari melam ...." Ucapan Aksa seketika menggantung, kala pandangan mata itu ikut serta terpanah pada sosok wanita cantik yang kini dibalut dengan kebaya pengantin yang didominasi oleh warna putih, berdiri tegak dengan wajah tertunduk malu.

"A-adira? Benarkah ini kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status