Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.
Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti."Wanita cantik itu kini hanya mengangguk pelan. Tak ada sedikit pun keberanian untuk sekedar menjawab ucapan pria di sampingnya itu.Dengan menghela nafas panjang, pria dengan setelan jas hitam itu segera bangkit dari duduknya. "Aku akan pergi sebentar, ada urusan penting yang harus segera diselesaikan."Manik hitam itu menatap lawan bicaranya untuk sesaat. Mendengarkan ucapannya dengan seksama. Tanpa ada sedikit niat pun untuk menimpali.Setelah beberapa langkah, kaki jenjang dengan sepatu pantofel hitam itu seketika berhenti di ambang pintu. "Tidak perlu cemas, mulai sekarang, aku akan tidur di kamar lain."Jantung Adira seketika terasa berhenti berdetak saat kaki itu melanjutkan langkahnya keluar dari dalam ruangan. Pria itu seolah dengan begitu mudah membaca isi dari pikiran Adira.Namun perhatian kecil itu seketika membuat hatinya menghangat. Ada sedikit rasa bergejolak dari dalam dada. Namun Adira masih tidak terlalu yakin akan perasaan itu. Meski beberapa kali otaknya mencoba mencerna, namun ia masih belum mendapatkan jawaban yang pasti akan keraguannya."Sudahlah! Ini hanya perasaanku saja, mungkin orang itu hanya asal menebak." Adira menggeleng cepat. Menghilangkan segala kebingungan yang memenuhi kepalanya.Tangan kurus itu dengan cepat meraih nampan yang teronggok di atas nakas ketika perutnya terasa keroncongan.Tanpa menaruh sedikit curiga, Adira dengan begitu lahap memakan makanan yang dibawakan oleh Aksa ke kamarnya. "Enak sekali."Wajah cantik itu seketika mendongak dengan mata terpejam. Merasakan rasa makanan yang belum pernah ia cicipi sebelumnya. "Ternyata makanan orang kaya rasanya seenak ini?"Meski kerap kali memasak makanan mewah di kediaman mantan suaminya. Namun Adira tak sekali pun mendapat kesempatan untuk mencicipi masakannya sendiri. Sang mantan suami dan mertuanya kerap kali memarahinya ketika ia ketahuan menyentuh masakannya sendiri.Setelah suap demi suap makanan itu masuk ke dalam mulut, akhirnya Adira sampai disuapan terakhirnya.Setelah menyelesaikan pengisian perut yang terasa keroncongan. Adira memutuskan untuk membereskan seluruh peralatan makan yang ia gunakan sendiri, dan membawanya menuju dapur.Bruk!"Akh!" Adira seketika memekik kesakitan saat seorang wanita cantik dengan sengaja menabrakkan dirinya.Tubuhnya terhuyung hebat, namun tak sampai terjatuh. Kedua tangannya berpegangan kuat pada sebuah nampan yang hampir terlepas dari genggaman tangannya. Ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika nampan berisi piring dan gelas mahal itu sampai terjatuh dan pecah. Mungkin ia tak akan mampu membayar dengan tenaganya seumur hidup."Oh ... jadi kamu adalah wanita yang dicari oleh Aksa?"Adira yang sebelumnya tertunduk, dengan cepat mendongak mencari sumber suara.Terlihat seorang wanita cantik dengan balutan dress merah selutut tengah melipat kedua tangannya di bawah dada dengan gestur angkuh.Bibirnya menyeringai dengan tatapan jijik yang ia layangkan pada Adira.Sorot sinis itu mulai menatap ujung kaki hingga ujung rambut Adira yang masih berpenampilan lusuh. "Cih! Lebih mirip seorang Babu," ledeknya.Rahang Adira seketika mengeras. Kedua tangannya mengepal erat, seolah tengah menahan amarah yang begitu bergejolak dalam hati.Meski kerap kali mendapatkan hinaan dari keluarga mantan suaminya. Namun nuraninya merasa tidak terima dengan ledekan dari wanita yang bahkan baru ditemuinya hari ini.Setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk beberapa detik. Adira melayangkan tatapan tajam pada wanita cantik dengan rambut bergelombang itu.Raut wajah sinis itu seketika berubah saat melihat Adira mencoba untuk melawan. "Kamu pikir aku takut dengan wanita murahan sepertimu?"Adira masih terdiam. Hatinya terasa terus memanas, hingga membuatnya hampir tak bisa mengendalikan diri."Aduh! Kenapa kamu mendorongku?" Wanita itu menjatuhkan diri di depan kaki Adira dengan wajah memelas.Adira mengerinyitkan alis untuk sesaat. Ia belum menyentuh tubuh wanita itu sama sekali, bagaimana mungkin wanita itu langsung terjatuh?Otaknya masih mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi di depan matanya, hingga suara langkah cepat berhasil merebut perhatiannya.Adira memutar kepala menghadap sumber suara. Terlihat jelas raut wajah kecemasan dari seorang pria tampan yang baru datang memasuki rumah. "Ada apa ini? Kenapa begitu ribut?"Aksa dengan begitu cekatan membantu wanita cantik itu untuk kembali berdiri."Aku hanya ingin membantumu untuk menaruh piring kotor itu di dapur. Jika kamu tidak bersedia menerima bantuanku, seharusnya bilang saja baik-baik, tidak perlu mendorongku seperti ini," ucap wanita cantik itu dengan wajah memelas.Adira kembali dibuat kebingungan. Dahinya mengernyit, hingga beberapa detik berlalu, ia baru sadar akan sesuatu. Ternyata wanita itu sedang mencari perhatian dari Aksa yang baru memasuki rumah.Adira hanya terdiam membisu. Ia tak berniat sedikit pun untuk beradu akting dengan wanita yang baru ditemuinya hari ini.Karena tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban dari mulut Adira. Aksa dengan begitu sembarangan mengira jika hal itu benar adanya. Dengan wajah datar, ia memanggil Adira dengan begitu lantang, "Adira."Adira yang tengah tertunduk seketika mendongak."Cepat pergi ke kamarmu sekarang! Jangan keluyuran tanpa ijin dariku," tegasnya dengan tatapan nyalang.Tubuh dengan daster lusuh itu seketika tersentak. Ada perasaan nyeri yang seketika menjalar ke dalam hati.Meski demikian, ia tidak berniat menampik sedikit pun tuduhan yang dilayangkan padanya."Baik, Tuan," ucapnya seraya berbalik badan hendak melangkah pergi.Namun dengan cepat wanita cantik itu menyambar lengan Adira dengan lembut, hingga langkah itu seketika terhenti."Aksa, jangan bersikap seperti itu pada tamu. Itu tidak baik," timpalnya dengan wajah polos.Aksa terlihat menghela nafas panjang dengan kedua tangannya menyisir kepala.Rasa pening seketika menyerang kepala. Belum selesai mengurusi urusan pekerjaan, ia kembali disuguhkan dengan urusan wanita yang kini tengah berebut perhatian darinya."Baiklah, maafkan atas sikap Adira yang kurang menyenangkan padamu. Mungkin sebenarnya dia tidak sengaja melakukan itu." Hati Aksa dipaksa melunak untuk menghadapi dua wanita cantik yang tidak bisa ia sakiti untuk saat ini."Ya sudah, sebagai calon Nyonya di rumah ini, aku akan berbesar hati untuk memaafkan sikap Nona Adira yang telah berusaha menyakitiku hari ini."Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan
Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo
Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me
Ruangan yang sengaja dibuat meredup itu membuat kantuk seketika menghampiri. Hingga membuat keduanya melupakan kegelisahan yang sebelumnya melanda hati.***Halaman utama kediaman Aksa Adhitama. Pukul sepuluh pagi."Tuan, ada telepon untuk Anda." Pria tampan berkacamata terlihat memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepada atasannya yang hendak memasuki mobil.Membuat langkah itu seketika terhenti untuk menerima ponsel dari tangan asisten pribadinya.Aksa sangat mengetahui sikap asistennya. Jika bukan termasuk telepon penting, ia tidak akan memberikan telepon itu pada atasannya dan akan menangani segala sesuatunya sendiri."Ada apa?" Aksa berbicara keras dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia tidak ingin banyak basa-basi yang akhirnya akan membuang banyak waktunya.Wajah kesal itu seketika berubah menjadi tegang dalam waktu persekian detik. Membuat paras tampan nan berwibawa semakin terlihat jelas dari seorang pria yang tengah mendengarkan penjelasan lawan bicaranya melalu
Tawa wanita cantik itu terdengar menggema di seluruh penjuru mobil. Membuat pak sopir dan Gavin seketika memutar kepala menghadap ke belakang.Adira yang baru sadar akan tindakannya seketika menghentikan tawa. Wajahnya tertunduk malu kala pak sopir kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalanan kota.'Astaga, kenapa aku bisa tertawa keras seperti itu?' Rancaunya dalam hati. Rasa malu kian terpancar jelas dari sorot matanya.Setelah hampir satu jam perjalanan menerobos kebisingan kota. Akhirnya mobil jenis Buggati itu berhenti di sebuah halaman luas rumah mempelai wanita yang akan menjadi istri mantan suami Adira.Meski masih merasakan kegusaran dalam hati. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengumpulkan setiap ketegaran yang tersisa.Hingga sang asisten pribadi membukakan pintu dan mempersilahkannya untuk turun.Adira menghela nafas panjang sebelum menjejakkan kaki di depan gedung mewah dengan beberapa penjaga pria di depan pintu masuk.Gavin menatap sang atasan untuk sejenak. Dirinya
"Baiklah, mari kita buktikan." Mayang tersenyum puas untuk sesaat. Tangannya mencoba meraih kasar tas yang berada dalam pangkuan Adira, namun segera ditepis oleh pemiliknya."Jangan keterlaluan! Saya diam karena menghormati acara kalian. Jika kehadiran kami tidak diterima di sini, lebih baik kami pergi," tegas Adira dengan berdiri tegak. Sorot tajam mengiris ia layangkan pada pengantin wanita yang seolah ingin mencari masalah dengannya."Kita pergi dari sini," ucapnya lirih dengan tangan menarik paksa sang asisten. Namun langkah kakinya seketika terhenti kala beberapa penjaga menghadangnya di depan pintu."Kamu pikir aku bodoh hingga membiarkan pencuri sepertimu pergi begitu saja dari sini?" Mayang menyeringai."Geledah tasnya!" lanjutnya dengan lantang.Hal itu membuat Keenan sedikit tersentak. Ada kecemasan yang seketika melanda hati. Meski tidak tahu siapa, namun dirinya sangat yakin jika pasangan Adira yang sekarang bukanlah orang biasa.Beberapa penjaga seketika melaksanakan peri
"Pa-patahkan?" lirih Mayang dengan bibir bergetar. Rasa takut seketika memenuhi hati.Seluruh tamu undangan nampak terperangah, kala puluhan pengawal bertubuh besar yang sebelumnya mengekor di belakang tubuh atasannya mendadak menjejakkan kaki melaksanakan perintah tuannya.Puluhan penjaga nampak membela diri dengan beradu tinju untuk sejenak. Sampai beberapa saat berlalu. Seluruh penjaga telah terkapar begitu saja dengan seluruhnya yang menderita patah tangan.Sementara itu, Bagaskara hanya mampu memijat pelipis kala melihat seluruh anak buahnya terkapar tak berdaya. Ia tak ada niatan sedikit pun untuk melawan, mengingat seorang petinggi perusahaan bernama Aksa Adhitama bukanlah tandingannya."Sayang, tidak perlu khawatir. Setelah pulang dari sini aku akan membelikanmu satu toko perhiasan. Kamu bisa memilih dan mengganti perhiasan sesukamu," ucap Aksa dengan nada lembut. Sorot matanya menatap teduh ke arah sang istri yang masih terperangah tidak percaya.Meski ucapan Aksa hanya sekeda
Teriakkan lantang terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan.Hingga beberapa menit berlalu, sebuah ambulans nampak berhenti di depan pintu gedung. Nampak beberapa petugas kesehatan menjejakkan kaki dengan kepanikan hebat menghampiri Keenan dan Bagaskara yang telah tidak sadarkan diri.Mayang tidak mengetahui siapa yang telah memanggil ambulans untuk segera datang. Ia bisa memastikan jika para tamu undangan hanya menonton tanpa turut serta membantunya.Hanya tinggal satu kemungkinan yang terjadi. Aksa sang petinggi perusahaan yang begitu ditakuti sang ayah telah membaca situasi yang akan terjadi, hingga memanggil ambulans datang untuk sekedar berjaga-jaga. 'Syukurlah, ternyata pria bernama Aksa Adhitama itu masih punya hati.'Mayang berlutut dengan air mata haru yang mulai bercucuran, kala sang suami dan ayahnya dibopong memasuki mobil berwarna putih dengan sirene yang masih menyala."Papa, jangan sampai terjadi apa pun padamu. Aku tidak memiliki siapa pun sebagai sandaran di dunia