Keenan seketika mendongak, matanya membelalak sempurna. Hatinya begitu bergejolak hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Sudahlah, Keenan ... lagi pula dari dulu kamu menolak perjodohan itu kan? Apa salahnya jika hari ini kita menukar kalimat talak itu dengan uang," timpal Betari yang secara tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Matanya begitu berbinar melihat kembali gepokan uang merah dalam tas koper. Hingga membuatnya tak mampu menahan diri untuk segera merebut tas hitam itu dari tangan Gavin.Keenan tertunduk dengan tatapan nanar. Kalimat talak itu memang telah lama ia siapkan untuk Adira. Namun entah kenapa, ketika hari ini benar-benar tiba, justru nuraninya menolak untuk mengucapkan kalimat itu secara lantang."Cepat ucapkan! Ibumu telah menerima uangnya." Gavin mendekatkan layar ponsel di depan wajah Keenan yang seketika berlinang air mata. Entah kenapa, bayangan wajah Adira seketika membuat hatinya terasa perih, seperti tertusuk ribuan busur panah.Keenan menghadap ke arah kamera, namun hanya pantulan dirinya dan layar hitam saja yang menghiasi layar ponsel itu.Nampaknya, sang pemilik sengaja mematikan video dari seberang sana, agar Keenan tidak bisa melihat siapa yang tengah menjadi penerima panggilan video tersebut."Jika dalam hitungan ke-tiga kamu tidak kunjung mengucapkan talak itu, aku akan membawa kembali uangku," ucap Gavin dengan nada mengancam.Betari seketika memutar kepala menghadap sang putra. Melayangkan tatapan tajam pada Keenan yang masih terdiam membisu. "Keenan! Apa yang sedang kamu pikirkan?! Cepat ucapkan kalimat itu!""Satu!" Gavin memulai hitungannya.Namun Keenan masih terdiam. Otaknya tak mampu berpikir secepat itu. Mana yang harus ia pilih di antara Adira dan sejumlah uang dalam koper?"Keenan! Cepat katakan!" Betari terlihat panik. Sorot kecemasan mulai terpancar dari matanya."Dua!"Betari yang merasa frustasi, akhirnya menghampiri sang putra dan mulai mengguncang kuat tubuhnya. "Keenan! Kamu ini sebenarnya sedang apa?!"Namun Keenan masih terdiam. Matanya terpejam erat untuk beberapa detik. Sampai di mana ia memutuskan keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya."Ti ....""Aku, Keenan Putra Mahardika, dengan ini menyatakan talak pada Adira Azkadina binti Abdul Aziz." Kalimat lantang itu seketika terucap begitu saja ketika sang ibu terus memaksa.Sontak nafas berat pria tampan itu menderu hebat. Ia hampir tidak percaya dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya.Senyum penuh kemenangan terpancar dari wajah Gavin dan Betari yang berbahagia mendapatkan kompensasi berupa uang ratusan juta.Tubuh kekar itu seketika terasa rapuh. Lututnya terasa lemas hingga tak mampu menopang berat tubuhnya. Merosot hingga terduduk di lantai teras saat cengkeraman kuat dari dua pengawal itu terlepas.'Ada apa ini? Kenapa hatiku terasa sesakit ini?' Kedua tangan itu memegangi dada yang tiba-tiba terasa sesak. Hatinya bergejolak kuat, hingga membuat bulir bening mulai merembes membasahi pelupuk mata.Keenan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Meski otaknya bekerja keras untuk mencerna semua ini, namun ia masih belum menemukan jawaban yang pasti.Sementara orang yang tengah menyaksikan adegan itu dari balik panggilan video kini tersenyum puas."Kamu dengar? Sangat mudah membuat dia menalakmu," ucap Aksa dengan senyum kemenangan.Adira masih terdiam. Matanya menatap nanar pada wajah pria yang seketika terasa begitu menjijikkan di matanya.Teganya Keenan, setelah semua pengorbanan yang Adira berikan untuk keluarganya, ia dengan begitu tegas memilih uang dibandingkan dirinya."Iya, saya mendengarnya dengan sangat jelas," jawab Adira datar.Kekecewaan yang mendalam itu kini tertutupi oleh rasa sakit yang amat sangat. Membuat Adira kini meyakini seperti apa wujud asli sang suami yang dulu pernah menjadi pujaan hatinya."Jadi, penyiksaan apa yang kamu inginkan untuk membalas mereka semua?" Aksa menelengkan kepala di hadapan Adira dengan sebelah alis yang terangkat."Jika uang adalah segalanya untuk mereka, maka saya ingin membuat mereka hidup dalam kemiskinan," jawab Adira datar namun penuh penekanan.Kini belas kasih seketika sirna dari nuraninya. Tak ada ampun bagi mereka yang telah menyakiti hati Adira untuk waktu yang cukup lama."Baiklah, mari buat kesepakatan. Aku akan membantumu untuk balas dendam, asalkan kamu mau menikah denganku, dan menuruti seluruh perintahku kedepannya," ucap Aksa tersenyum tipis.Adira kembali terbelalak. Ia merasa takut dengan kalimat terakhir yang pria itu ucapkan padanya.Ia tidak mengetahui asal usul dari pria ini, bahkan sang pria merahasiakan identitas aslinya. Lantas, perintah seperti apa yang akan diberikan padanya ketika ia menerima tawaran itu?Melihat Adira yang hanya termenung menatapnya, Aksa kembali menanyakan hal yang sama, "Jadi, bagaimana?""Baiklah, tapi hanya sampai Anak ini lahir. Aku akan memberikan Anak ini pada, Anda, dan setelah itu, Anda harus membiarkan saya pergi," pungkasnya.Adira tidak ingin terjebak terlalu lama dalam belenggu yang tidak jelas apa maksud tujuannya.Itu saja alasan yang ia pakai untuk saat ini. Setelah ini, ia akan memikirkan cara untuk membawa pergi anaknya setelah melahirkan nanti.Bagaimana pun, seorang ibu tidak akan pernah bisa meninggalkan anak kandungnya begitu saja.Aksa terdiam untuk sejenak. Otaknya berusaha mencerna persyaratan yang diajukan oleh Adira padanya."Baiklah, aku setuju," tegasnya. Meski demikian, Aksa masih memiliki waktu yang cukup untuk membuat Adira jatuh cinta padanya sebelum bayi itu lahir ke dunia.Adira terdiam membisu. Prasangka buruk kembali terlintas dalam pikirannya.Benar saja, Pria itu begitu mudahnya menyetujui permintaan Adira saat dia mengatakan akan meninggalkan bayinya ketika telah lahir ke dunia nanti. Mungkin dari awal pria itu hanya menginginkan anak yang masih berada dalam kandungannya saja. Namun Adira dengan begitu percaya diri mengira jika pria itu masih menginginkan kehangatan tubuhnya.Waktu terus berlalu begitu saja. Namun Adira masih ingin berlama-lama berbaring di tempat tidurnya. Bahkan berkali-kali ia mengabaikan ketukan pintu yang menyuruhnya segera turun untuk makan malam."Tubuhku lelah sekali, baru kali ini aku merasa sesantai ini," gumamnya lirih. Matanya terpejam tatkala dirinya merebahkan tubuh.Namun suara langkah kaki seketika membuatnya segera bangkit dari tempat tidurnya.Adira terduduk cepat, saat gagang pintu kamar mulai bergerak. Hatinya berharap cemas. Perasaan bergidik seketika menjalar ke sekujur tubuhnya. 'Si-siapa itu?'"Sudah berapa banyak Pelayan yang menyuruhmu untuk turun? Kenapa kamu tidak menghiraukannya sama sekali?" Aksa tidak berhenti mengomel sejak menampakkan kakinya di dalam kamar tidur yang didominasi warna biru muda itu.Adira tertunduk menyembunyikan ketakutannya. Bagaimana pun, Aksa adalah orang asing yang baru ia temui untuk beberapa kali."Sa-saya akan segera turun," jawabnya terbata, dengan tangan yang tak berhenti meremas ujung daster lusuhnya.Kaki jenjang itu mulai mendekat. Menaruh sebuah nampan di atas nakas dengan mendengus kesal. "Tidak perlu, aku sudah membawa makanannya kemari. Jadi, makanlah! Aku tidak ingin Anakku kekurangan asupan gizi.""Ba-baik, saya akan segera memakannya."Adira terdiam cukup lama. Menunggu Aksa keluar dari dalam ruangan itu dengan sabar. Ia bahkan tidak berani berkutik sedikit pun. Masih terdiam dengan posisi semula.Hingga beberapa menit berlalu, kaki Adira terasa begitu kesemutan, yang akhirnya membuatnya memberanikan diri untuk segera bersuara. "Tuan, kenapa Anda tidak kunjung keluar dari sini?"Aksa yang tengah sibuk dengan gawai di tangannya seketika memutar kepala menghadap Adira. "Keluar? Kenapa aku harus keluar? Dari awal ini memang kamarku."Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti
Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan
Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo
Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me
Ruangan yang sengaja dibuat meredup itu membuat kantuk seketika menghampiri. Hingga membuat keduanya melupakan kegelisahan yang sebelumnya melanda hati.***Halaman utama kediaman Aksa Adhitama. Pukul sepuluh pagi."Tuan, ada telepon untuk Anda." Pria tampan berkacamata terlihat memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepada atasannya yang hendak memasuki mobil.Membuat langkah itu seketika terhenti untuk menerima ponsel dari tangan asisten pribadinya.Aksa sangat mengetahui sikap asistennya. Jika bukan termasuk telepon penting, ia tidak akan memberikan telepon itu pada atasannya dan akan menangani segala sesuatunya sendiri."Ada apa?" Aksa berbicara keras dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia tidak ingin banyak basa-basi yang akhirnya akan membuang banyak waktunya.Wajah kesal itu seketika berubah menjadi tegang dalam waktu persekian detik. Membuat paras tampan nan berwibawa semakin terlihat jelas dari seorang pria yang tengah mendengarkan penjelasan lawan bicaranya melalu
Tawa wanita cantik itu terdengar menggema di seluruh penjuru mobil. Membuat pak sopir dan Gavin seketika memutar kepala menghadap ke belakang.Adira yang baru sadar akan tindakannya seketika menghentikan tawa. Wajahnya tertunduk malu kala pak sopir kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalanan kota.'Astaga, kenapa aku bisa tertawa keras seperti itu?' Rancaunya dalam hati. Rasa malu kian terpancar jelas dari sorot matanya.Setelah hampir satu jam perjalanan menerobos kebisingan kota. Akhirnya mobil jenis Buggati itu berhenti di sebuah halaman luas rumah mempelai wanita yang akan menjadi istri mantan suami Adira.Meski masih merasakan kegusaran dalam hati. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengumpulkan setiap ketegaran yang tersisa.Hingga sang asisten pribadi membukakan pintu dan mempersilahkannya untuk turun.Adira menghela nafas panjang sebelum menjejakkan kaki di depan gedung mewah dengan beberapa penjaga pria di depan pintu masuk.Gavin menatap sang atasan untuk sejenak. Dirinya
"Baiklah, mari kita buktikan." Mayang tersenyum puas untuk sesaat. Tangannya mencoba meraih kasar tas yang berada dalam pangkuan Adira, namun segera ditepis oleh pemiliknya."Jangan keterlaluan! Saya diam karena menghormati acara kalian. Jika kehadiran kami tidak diterima di sini, lebih baik kami pergi," tegas Adira dengan berdiri tegak. Sorot tajam mengiris ia layangkan pada pengantin wanita yang seolah ingin mencari masalah dengannya."Kita pergi dari sini," ucapnya lirih dengan tangan menarik paksa sang asisten. Namun langkah kakinya seketika terhenti kala beberapa penjaga menghadangnya di depan pintu."Kamu pikir aku bodoh hingga membiarkan pencuri sepertimu pergi begitu saja dari sini?" Mayang menyeringai."Geledah tasnya!" lanjutnya dengan lantang.Hal itu membuat Keenan sedikit tersentak. Ada kecemasan yang seketika melanda hati. Meski tidak tahu siapa, namun dirinya sangat yakin jika pasangan Adira yang sekarang bukanlah orang biasa.Beberapa penjaga seketika melaksanakan peri
"Pa-patahkan?" lirih Mayang dengan bibir bergetar. Rasa takut seketika memenuhi hati.Seluruh tamu undangan nampak terperangah, kala puluhan pengawal bertubuh besar yang sebelumnya mengekor di belakang tubuh atasannya mendadak menjejakkan kaki melaksanakan perintah tuannya.Puluhan penjaga nampak membela diri dengan beradu tinju untuk sejenak. Sampai beberapa saat berlalu. Seluruh penjaga telah terkapar begitu saja dengan seluruhnya yang menderita patah tangan.Sementara itu, Bagaskara hanya mampu memijat pelipis kala melihat seluruh anak buahnya terkapar tak berdaya. Ia tak ada niatan sedikit pun untuk melawan, mengingat seorang petinggi perusahaan bernama Aksa Adhitama bukanlah tandingannya."Sayang, tidak perlu khawatir. Setelah pulang dari sini aku akan membelikanmu satu toko perhiasan. Kamu bisa memilih dan mengganti perhiasan sesukamu," ucap Aksa dengan nada lembut. Sorot matanya menatap teduh ke arah sang istri yang masih terperangah tidak percaya.Meski ucapan Aksa hanya sekeda