Aksa terdiam untuk sejenak. Ia tak pernah menyangka, amarah itu akan membuat Adira menjadi wanita yang penuh dendam.
Namun di balik semua itu, Aksa merasa bersyukur, karena dendam yang begitu membara dalam hati, seketika mengantarkan Adira dengan mudah ke dalam pelukannya."Baiklah, aku akan membuat mereka membayar semua penderitaan yang kamu alami," pungkasnya. Seketika itu, bibirnya menyunggingkan senyuman manis yang berhasil menghipnotis Adira untuk waktu yang cukup lama.Hingga beberapa detik berlalu, Adira baru menyadari keheranannya, "Tu-tunggu, mereka? Kamu tahu siapa Keenan yang aku maksud?"Pria tampan itu tersenyum tipis dengan mengedarkan pandangan matanya. Sebelum kembali menatap lekat manik hitam pekat yang hampir membuatnya gila. "Tidakkah kamu lebih penasaran bagaimana caraku untuk menemukanmu?"Sebelah alis tebal itu diangkat sekilas dengan menelengkan kepala.Adira hanya melengos, ketika pria bermata tajam itu tak berhenti menatapnya lekat.Entah kenapa, ada perasaan aneh yang begitu mengganjal dalam hati. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Selain jantungnya yang memburu hebat, keringat dingin pun mulai bercucuran membasahi kening wanita cantik yang terlihat gugup itu."Jadi, kapan kamu siap untuk melangsungkan pernikahan kita?"Adira membelalak, menatap wajah seorang pria yang diduga ayah dari anak dalam rahimnya.Pertanyaan itu seketika membuatnya tersentak. Ia awalnya berpikir, jika Aksa mencarinya hanya untuk sekedar mengutarakan hawa nafsu yang masih menggebu dalam hati.Adira mengira jika pernikahan bukanlah tujuan utama dari pria itu mencarinya, melainkan hanya sebuah gurauan semata yang ia tujukan pada beberapa wanita yang pernah menjadi mainan pemuas nafsu duniawinya, dan Adira hanyalah salah satu dari mereka.Sebab itu, Adira secara terang-terangan berpura-pura meminta kompensasi untuk membantunya balas dendam, dan di luar dugaan, pria itu menyetujuinya begitu saja."Apakah aku akan menjadi Istri ke-sekian, Anda, Tuan?"Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut Adira yang seketika disesalinya."Apa aku terlihat setua itu?" Aksa tertawa geli untuk beberapa saat. Tak bisa dipungkiri, meski termasuk awet muda, namun kerutan yang terlihat di ujung mata ketika ia tertawa tidak bisa menutupi usianya yang hampir menginjak kepala empat. Hingga Adira mengira dirinya merupakan pria mesum yang memiliki banyak istri.Adira tertunduk malu. Dia tidak berniat untuk mengajukan pertanyaan memalukan seperti itu, namun ia tak bisa memilah kata-kata yang keluar dari mulutnya yang seketika terasa keluh."Ikuti saya!" Titah Aksa yang hendak melangkah lebar menuju sebuah ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya.Wajah wanita itu mendongak pasti. Menatap lurus pada punggung lebar yang semakin menjauh dan berusaha mengimbangi langkah kakinya."Beristirahatlah sejenak, persiapkan dirimu untuk melakukan ijab qobul besok pagi." Langkah itu berhenti mendadak di ambang pintu masuk sebuah kamar mewah yang didominasi oleh warna biru muda yang lembut, hingga membuat tubuh wanita cantik itu seketika kualahan menghentikan langkah kakinya yang hampir menabrak tubuh kekar sang pria."I-ijab qobul? Ta-tapi aku masih berstatus sebagai Istri sah dari Mas Keenan," timpalnya terbata.Wajah tampan itu menyeringai sekilas, "Cih! Istri sah? Kamu hanya dinikahi secara siri kan? Mudah saja untuk membuatnya melayangkan talak padamu," pungkasnya.Adira kembali dibuat tercengang dengan ucapan dari ayah bayi yang berada di dalam kandungannya itu.Sebenarnya siapa orang ini? Bahkan ia bisa mengetahui jika dulu Keenan memang menikahinya secara siri karena merasa malu atas perjodohan yang direncanakan oleh ibunya."Sebenarnya, Anda ini siapa?" Mulut Adira kembali tidak terkontrol. Ia mengungkapkan seluruh kebingungan yang tengah melanda hatinya."Aku? Aku hanyalah seorang pria biasa yang belum menikah," jelasnya singkat.Namun penjelasan itu seolah menggantung, tak mampu menepis segala rasa penasaran yang kian memuncak dalam hati.Dengan rumah mewah, puluhan pelayan dan pengawal, bahkan pria itu memiliki seorang asisten pribadi. Bagaimana mungkin Adira akan mempercayai pengakuan jika dia hanyalah pria biasa."Tidak masalah jika tidak ingin mengakuinya, cepat atau lambat saya akan mengetahui identitas, Anda." Adira memaksakan senyum tipis pada bibirnya.Meski ketakutan tiada tara mulai melanda, ia tidak bisa memaksa seseorang untuk mengungkapkan identitas aslinya.Beberapa prasangka buruk mulai memenuhi kepala. Dengan kehidupan semewah ini, bagaimana jika pria ini adalah seorang penjahat kelas kakap yang pekerjaannya adalah meretas uang?'Tunggu-tunggu! Bagaimana bisa aku berpikir hal seperti itu?' Adira menggeleng cepat. Menepis segala pikiran buruk yang terlintas dalam pikirannya.Aksa seketika mengerutkan kening, menatap Adira dengan penuh tanda tanya. "Ada apa?""Ti-tidak apa-apa, saya hanya merasa tempat ini sedikit panas." Adira mengedarkan pandangannya sesaat, sebelum mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke arah wajah.Pria itu menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Tangannya mulai merogoh saku celana untuk mengambil sesuatu dari dalam sana.Ia menggeser layar ponsel miliknya untuk beberapa kali, hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Iya, Tuan." Jawab seorang pria dari seberang telepon."Kembalilah ke rumah Keenan, buat dia melayangkan talaknya hari ini juga. Jika perlu, kamu bisa mengunakan uang sebanyak apa pun yang kamu butuhkan," pungkas Aksa sebelum menutup panggilan telepon. Ia tidak berniat sedikit pun untuk menunggu jawaban seorang pria yang diduga adalah asisten pribadi yang sebelumnya menjemput Adira.Adira membelalak. Perasaan menusuk kembali menyerang hatinya.Keenan akan dengan mudahnya mengucapkan kalimat talak itu, terlebih dengan iming-iming sejumlah uang sebagai kompensasi yang akan ia terima setelah itu.Aksa menyadari ekspresi wajah tidak biasa dari Adira yang seketika termenung. "Ada apa?"Namun wanita dengan daster lusuh itu hanya menggeleng cepat, dengan mata yang mulai sedikit berair."Kamu mencintai pria itu?" ucap Aksa datar. Sorot mata tajam mengintimidasi kini menatap lurus ke arah lantai rumahnya."Dia memiliki hubungan dengan wanita lain di belakangmu, apa kamu tahu itu?" lanjutnya.Tatapan sendu itu dibuat kembali membulat. Meski hubungan mereka tidak seharmonis pasangan pada umumnya, namun ia tak pernah melihat Keenan berkhianat di belakangnya. Apakah hal itu benar terjadi?Sementara itu, Gavin, sang asisten pribadi kembali ke kediaman Keenan yang berjarak cukup jauh dari kediaman atasannya.Keenan yang menyadari kedatangan pria itu kembali dibuat murka.Ia melangkah kasar dan meraih paksa kerah jas hitam Gavin secara brutal. "Mau apa lagi datang kemari?!"Tatapan tajam kembali saling mengimbangi untuk beberapa detik. Membuat suasana mencekam kembali menusuk dalam rumah berlantai dua itu.Dua pengawal seketika menyeret paksa tubuh Keenan hingga menjauh dari tubuh asisten itu.Gavin merogoh saku jasnya untuk mengambil selembar sapu tangan di dalam sana. Menggosoknya pelan pada seluruh bagian tubuhnya yang sempat tersentuh oleh tangan Keenan.Nafas Keenan dibuat memburu hebat, ketika Gavin membuang sapu tangan itu di depannya dengan tatapan jijik dan seringainya yang seolah meremehkan.Seolah malas berkata-kata, Gavin hanya melambaikan tangannya pelan untuk beberapa kali. Hingga beberapa pengawal yang mengekor padanya mengerti dengan gestur isyarat yang diberikan tuannya.Salah seorang pengawal berpakaian serba hitam, terlihat berlari tunggang langgang menghampiri mobil yang terparkir di halaman sempit rumah itu.Tak butuh waktu lama, pengawal kembali dengan menenteng tas koper hitam yang seketika diberikan pada atasannya."Belum puas mengambil Istriku? Sekarang mau apa lagi kamu dengan uang itu?!" murka Keenan dengan lantang. Tubuhnya meronta sekuat yang ia bisa, namun kekuatan dua pria bertubuh kekar yang tengah menahan kedua tangannya tak mampu ia tandingi."Mudah saja. Talak Nona Adira dari panggilan video sekarang juga!"***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg