Suasana di dalam rumah seketika membeku.Bagi Puspa, sama sekali nggak mengejutkan Lisa akan cari-cari kesalahan. Tempat rehabilitasi hanya ajarin dia berhenti dari narkoba, bukan ajarin dia jadi manusia. Rasa merendahkan yang sudah mendarah daging dalam dirinya nggak akan hilang begitu saja.Baru saja pulang, adik iparnya sudah tahu soal “aib” dirinya. Puspa nggak perlu tebak siapa yang sebarkan itu, tentu saja, ibu mertuanya yang “baik hati”.Wajah Indra mengeras. “Kamu bicara apa? Jangan bicara sembarangan!”Endah langsung menyambar pembicaraan, “Lisa nggak salah bicara, kenapa kamu malah bentak dia?”Indra mengernyit. “Ibu.”Ekspresi Endah juga dingin. “Selama ini aku masih tahan diri demi dirimu, nggak cari gara-gara dengan Puspa. Tapi bukan berarti aku nggak punya pendapat tentang apa yang terjadi di perjamuan itu!”Ucapannya berhenti, lalu tatapannya menusuk ke arah Puspa. “Ucapan Bibi Ida memang benar, kamu sudah permalukan seluruh Keluarga Wijaya!”Ia yang seumur hidup begitu
Nenek Yanti mengelus lembut kepala Puspa. “Capek, ya?”Puspa seperti seekor anak kucing, menggesekkan wajahnya di bahu nenek. “Nenek, apa kamu pernah merasa nggak berdaya?”“Hidup ini, kebanyakan orang justru selalu berada dalam keadaan nggak berdaya."Telapak tangan nenek yang kering tapi hangat menepuk pelan punggung tangannya.“Namun selama kita mau belajar lepaskan itu, sesulit apa pun sebuah masalah, ia akan jadi kecil. Jangan kasih dirimu beban terlalu besar. Hidup ini singkat, Nak. Belajar untuk lepaskan, juga belajar mengasihi dirimu sendiri.”Puspa memejamkan mata, biarkan kata-kata itu meresap, tenangkan semua energi kelam di dalam dirinya.“Aku ingat, waktu SMA kamu pernah bilang ingin pergi ke luar negeri, melihat dunia. Puspa, pergi saja,” lanjut Nenek Yanti,Bulu matanya bergetar, kelopak mata tertutup rapat menahan rasa perih di hati. Pelukan di sekeliling nenek pun mengencang sedikit.“Nggak, aku nggak mau. Aku nggak rela tinggalkan nenek.”Mata keruh Nenek Yanti dipenu
Tubuh Wulan menegang, wajahnya seketika memucat, matanya memerah dengan luka yang nggak bisa disembunyikan.“Kak Indra…”Indra keluarkan sebatang rokok, menyalakannya, menghisap dalam-dalam lalu hembuskan asap. “Kasih HP-mu ke aku.”Wulan nggak paham maksudnya, tapi tetap patuh serahkan itu.Indra ambil HP itu. “Mulai sekarang, kamu akan tinggal di pulau ini untuk istirahat. Jika ada urusan, aku akan menghubungi Bu Aisyah.”Bu Aisyah adalah pengasuh yang Indra sediakan khusus untuk Wulan.Dengar itu, mata Wulan dipenuhi ketidakpercayaan. “Kak Indra, kamu ingin kurung aku di sini? Bukannya kamu bilang, setelah beberapa waktu kamu akan jemput aku pulang?”Indra jawab dengan tenang, “Dengan keadaan emosimu sekarang, kamu nggak pantas berada di luar.”“Aku nggak mau!” Wulan menolak keras. Ia mencengkeram lengan Indra, menangis memohon.“Kak Indra, jangan biarkan aku tinggal di sini sendirian. Aku bisa pergi minta maaf ke Puspa, aku akan berusaha dapatkan pengampunannya. Aku tahu aku salah.
Perutnya yang kosong buat Puspa tersungkur di lantai, ia duduk jongkok, memeluk lutut, wajahnya pucat seperti kertas, dan air mata mengalir nggak tertahan dari kelopak mata.Setelah tinggalkan Puspa, Indra perintahkan Cakra atur pesawat pribadi.Cakra tahu betul apa tujuan bosnya, jemput Wulan.Begitu aib Puspa tersebar, Wulan segera mengetahuinya, ia langsung buka sebotol sampanye untuk rayakan, menunggu dengan gembira saat Puspa akan dipermalukan.Dengar Indra datang, Wulan menyambutnya dengan suka cita.“Kak Indra…”Namun sebelum tangannya sempat sentuh bajunya, Indra berpaling, menghindar dengan satu langkah.Senyum Wulan kaku seketika. “Kak Indra, kamu kenapa?”Indra nggak berhenti melangkah, ia masuk ke dalam rumah, dan Wulan ikuti di belakangnya.Para pelayan di rumah menyambut kedatangannya, tetapi dengan satu kali lambaian tangan, Indra suruh mereka menyingkir.Ia duduk di sofa, menatap Wulan tanpa ekspresi, tatapan itu membuat Wulan merinding. Dengan suara gemetar ia bertanya
Puspa tentu saja paham maksud dari kata-katanya, dan sikapnya yang seolah besar hati itu malah buat dia merasa geli sekaligus getir.Ia mengibaskan tangan Indra, mata memerah, suara penuh sarkasme.“Lalu aku harus terima kasih ke kamu karena kemurahan hatimu? Terima kasih sudah lapang dada terima aibku? Terima kasih sudah mau tampung aku jadi istrimu?”“Jangan emosi dulu.”Indra mencoba tenangkan, melangkah mendekat.Namun Puspa segera mundur, jaga jarak.“Indra, aku nggak akan terima kasih ke kamu. Karena sejak awal ini bukan salahku. Kamu peduli atau nggak, itu urusanmu. Aku nggak peduli.”Ia menambahkan, dingin menusuk, “Dan simpan rasa kasihan palsu itu. Di mataku, semua itu cuma rasa pura-pura yang menjijikkan.”Ia sudah lama nggak ingin posisi sebagai Nyonya Wijaya ini. Indra yang paksa dia duduk di kursi itu, dan kini Indra tampil seakan dermawan? Menurutnya, itu hanya buat orang mual.Wajah Indra mengeras, tapi ia tetap diam. Ia tahu, Puspa sedang menyimpan amarah. Biarlah ia m
Ia nggak salah, nggak pantas tanggung kesalahan orang lain.Ketika ia buka mata lagi, fajar sudah menyapa hari kedua.“Sudah bangun, gimana rasanya?”Suara Indra memecah kabut di kepalanya, menariknya pelan dari sisa-sisa mimpi.Puspa menoleh ke arah pria yang berdiri di tepi ranjang, berkedip sebentar, lalu berkata, “Aku nggak apa-apa kok.”Indra jawab singkat, “Bagus kalau begitu.”Dengan gerakan lembut ia rapikan helaian rambut yang berserak di pelipisnya. “Tentang kejadian kemarin, aku sudah selidiki, pelakunya namanya Bagas. Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku ada dendam di antara kalian?”Buka luka lama memang nggak pernah mudah. Puspa nggak mau bicara tentang itu. Ia balas pertanyaan dengan pertanyaan, “Di mana dia sekarang?”Indra mengalihkan jawaban. “Aku nggak akan biarkan dia lolos begitu saja. Untuk apa yang ia lakukan ke kamu, aku akan balas berkali-kali lipat. Dia nggak akan pernah lagi muncul di depanmu.”Puspa tanya lagi, “Apa dia bilang siapa yang suruh dia?”Sekila