Share

Bab 7

Penulis: Rina Safitri
Dalam pandangan Indra, diam adalah tanda setuju.

Beberapa hari terakhir, Puspa terus mempermasalahkan soal Wulan. Indra merasa gerah melihatnya terus-menerus menyudutkan Wulan, seolah sengaja mendorong perempuan itu ke dalam kobaran api. Di hatinya, ketidakpuasan mulai tumbuh.

Wulan menangis sangat sedih, tubuhnya nyaris ambruk dalam pelukan Indra, seolah-olah dia telah sangat dirugikan.

"Indra, aku mau pulang."

Indra melemparkan pandangan tajam dan dingin pada Puspa, nggak bicara sepatah kata pun, lalu memapah Wulan naik ke dalam mobil, mengantarnya pulang.

Pandangan itu membuat dada Puspa terasa sesak, seperti ditindih oleh beban yang tak terlihat.

Menatap mobil mewah yang menjauh, seorang rekan dari bagian humas menghampirinya dengan suara takut-takut, “Puspa, kau pikir Pak Indra akan pecat kita semua karena... nyonya bos?”

Dua kata itu "nyonya bos" terasa seperti jarum tajam yang menusuk langsung ke hatinya.

Dan dia masih berani bilang kalau Wulan hanya adiknya?

Adik macam apa yang bisa lebih penting dari seorang istri?

Dengan nada pelan, Puspa hanya menjawab, “Siapa yang tahu.”

Lagipula, ia memang berniat mengundurkan diri. Dipecat atau nggak, sudah nggak ada bedanya lagi.

Mereka pun berpisah di depan restoran. Puspa naik mobil, pulang menuju villa Asri.

Begitu melangkah masuk, Bu Sekar dan Bu Widya segera menyambutnya dengan langkah cepat.

Begitu mencium aroma alkohol yang tajam dari tubuhnya, Bu Sekar buru-buru pergi membuat teh penawar. Bu Widya justru langsung memarahi, “Kenapa minum sebanyak ini? Sedang program hamil, nggak boleh minum alkohol. Apa nyonya nggak tahu?”

“Kalau terus menyiksa diri seperti ini, Bu Endah bisa menimang cucu? Kapan keluarga Wijaya ini punya penerus?”

Sikap Bu Widya sudah bukan hal asing. Ia datang bukan sekadar sebagai pembantu—tapi utusan resmi ibu mertua, dengan mandat seperti pedang sakti di tangan.

Puspa pusing. Nggak ingin memperpanjang argumen, ia hanya menanggapi singkat, “Aku nggak akan minum lagi.”

Ia segera berbalik, berniat naik ke lantai atas.

Namun Bu Widya menghentikannya. “Saya sudah hangatkan sup sehat di dapur. Minumlah dulu sebelum istirahat.”

Puspa tahu betul, jika ia menolak, maka laporan akan segera sampai ke mertuanya. Endah bahkan sebelum ia sempat duduk.

Setelah meneguk sup itu, perutnya terasa penuh dan sesak. Malam ini ia sudah minum alkohol, lalu ditambah sup—perutnya seperti balon berisi air.

Begitu lepas dari “mulut harimau,” ia akhirnya bisa naik ke atas dan menarik napas lega.

Kamar tidur.

Menatap kamar yang sunyi dan sepi, pikirannya diserbu adegan Wulan yang menangis dalam pelukan Indra. Rasa asam menyeruak di tenggorokannya, dan perutnya mulai bergolak. Ia bergegas ke toilet, lalu muntah habis-habisan.

Di wastafel, Puspa mengambil air mengumur mulutnya, mengusap dagu yang basah, lalu menatap bayangannya di cermin. Matanya merah menyala karena reaksi tubuh.

Puspa memang cantik—bukan sekadar cantik, tapi jenis kecantikan yang bisa mencuri napas dalam sekali pandang. Soal wajah, sebenarnya Wulan jauh di bawahnya. Di luar kesejukan biasanya, malam ini wajah Puspa tampak pucat dan lembab, menyiratkan kelembutan yang membuat siapa pun ingin melindunginya.

Tapi apa gunanya?

Kelemahan orang yang dicintai adalah senjata, tapi kelemahan orang yang nggak disukai... hanya mengundang rasa muak. Dan jelas, di mata Indra, Puspa termasuk yang terakhir.

Setelah mandi, ia langsung rebah di tempat tidur.

Ia meringkuk seperti biasa, membungkus tubuh rapat-rapat dengan selimut. Posisi itu selalu memberinya sedikit kenyamanan.

Indra pulang larut malam. Ia nggak menggubris sambutan dari Bu Sekar dan lainnya, langsung menaiki tangga menuju lantai atas.

Tirai kamar tak tertutup, membiarkan cahaya bulan menelusup masuk. Dalam sekejap, Indra dapat melihat Puspa yang tertidur lelap.

Wajah mungilnya setengah tenggelam di balik selimut—sebuah posisi tidur yang sangat khas miliknya.

Di balik selimut tipis, lekuk tubuhnya masih tampak jelas. Aroma samar yang manis mengambang di udara—wangi khas Puspa.

Tatapan Indra tertumbuk pada pinggang ramping itu. Matanya meredup, dan jemarinya masih bisa merasakan lembutnya kulit yang pernah disentuh.

Ia tahu persis betapa menggoda tubuh itu. Tanpa sadar, tangannya jatuh perlahan di atas selimut.

Puspa yang baru saja terlelap, terseret ke dalam mimpi buruk. Dalam mimpinya, binatang buas mengejarnya, taring mengerikan siap mengoyak tubuhnya. Ia berlari panik, lalu jatuh ke dalam kehampaan. Seketika, ia terbangun dengan napas memburu.

Begitu membuka mata dan melihat Indra berdiri di depan tempat tidur, ia langsung terduduk dan memeluknya erat.

“Sayang, aku mimpi buruk...” bisiknya, tubuh masih gemetar.

Mimpi itu terasa terlalu nyata. Binatang pemangsa itu seperti benar-benar akan mencabiknya hidup-hidup.

Tubuh Indra menegang, sempat ragu dua detik. Namun akhirnya, tangan yang semula menggantung pun jatuh, menepuk-nepuk tubuh Puspa yang bergetar.

Waktu perlahan berlalu. Saat kesadaran mulai kembali, barulah Puspa sadar kalau dirinya masih memeluk seorang pria sungguhan. Tubuh yang semula lembut dalam dekapannya, kini perlahan mengeras kaku.

Kecuali saat di ranjang, mereka nyaris nggak pernah saling pelukan. Karena Indra memang nggak suka kedekatan seperti itu.

Puspa buru-buru mundur, menjaga jarak di antara mereka. Refleks, ia bertanya pelan, “Kenapa kamu pulang?”

Dengan kondisi Wulan yang tampak begitu terluka dan tersakiti tadi, ia mengira Indra akan temani wanita itu semalaman.

Meski tubuh Puspa sudah menjauh, aroma lembut yang tertinggal di udara belum sepenuhnya sirna. Namun pertanyaan itu berhasil menyadarkan Indra akan alasan ia datang malam ini.

“Kamu bahkan masih bisa tidur tanpa merasa bersalah sedikit pun.”

Puspa hanya bisa terdiam.

‘Kenapa memangnya aku nggak bisa tidur?'

Indra menatapnya tajam. “Kamu tahu nggak? Wulan pernah alami trauma buruk soal ini. Karena ulahmu malam ini, traumanya kambuh. Keadaannya sekarang sangat buruk.”

Baru saja ia ingin menghangatkan kenangan saat berada dalam pelukannya, tapi dinginnya tuduhan itu langsung membekukan seluruh perasaannya.

Di wajah pria yang selama ini begitu ia kenal, kini terpahat kekhawatiran yang sangat asing baginya.

Entah karena habis bangun tidur atau bukan, dadanya terasa seperti tertusuk oleh sesuatu yang tajam—menusuk pelan tapi dalam.

“Jadi... ini alasan kau pulang?” tanyanya lirih.

Indra mengernyit. “Sudah kubilang, Wulan hanya adikku. Dia nggak ngancam posisimu sama sekali. Kenapa kamu harus terus bersikap seolah dia musuhmu?”

Puspa menatap ekspresinya yang penuh emosi. Baru kali ini ia melihat Indra menampakkan lebih dari sekadar wajah datar tak berekspresi.

Adik, lagi-lagi adik.

Dia sekarang jijik dengan kata "adik".

"Untuk apa aku nargetin dia?" Nada suara Puspa tetap tenang. “Proyek itu kamu yang berikan padanya. Pekerjaanku juga dia yang atur. Bukannya dulu kamu sendiri yang bilang, kantor bukan taman bermain? Kalau dia merasa tertekan, kenapa nggak bisa selesaikan sendiri?”

Indra membalas, “Dia memanggilmu bukan karena apa-apa, tapi karena dia hargai kemampuanmu.”

Oh, jadi sekarang ia harus berterima kasih karena dianggap berguna?

Indra melanjutkan, “Perusahaan sudah didik kamu bertahun-tahun. Apa kamu hanya bisa makan gaji buta? Masalah sekecil ini saja nggak bisa kamu atasi?”

Kata-katanya menusuk lebih dari apapun. Hidung Puspa memanas, matanya mulai basah.

Apa dia lupa? Bahwa dirinya adalah istri sah pria ini?

Demi wanita lain, ia tega menuding dan menyalahkan dirinya. Kalau begitu, bukankah Indra juga gagal sebagai suami?

Dalam temaramnya malam, air mata yang menggenang tak begitu terlihat. Puspa menahan ludah di tenggorokannya, lalu berkata lirih, “Kalau kamu begitu takut dia disakiti orang luar, kenapa nggak bangun istana emas, lalu kurung saja dia di dalam? Dengan begitu, nggak ada satu pun yang bisa menyentuhnya.”

Nada sindiran dalam suaranya sangat kentara, membuat wajah Indra langsung memerah karena marah. “Puspa!”

“Apa menurutmu itu saran yang buruk?” Ia menatapnya datar.

'Bukannya itu yang dia mau? Lindungi si kesayanganmu, jauh dari semua risiko.'

Indra mengerutkan mata. “Kenapa aku dulu nggak sadar kamu bisa sejahat ini?”

Puspa tersenyum pahit. Aku juga dulu nggak tahu, ternyata kamu bisa sebegitu menyebalkannya.

Ia menoleh ke tempat tidur. “Kalau nggak ada urusan lain, aku mau tidur.”

Tanpa menunggu jawaban, ia kembali berbaring dan menarik selimut, memunggungi pria itu.

Indra tampak ingin bicara lagi, namun suara HP menyela. Ia melirik layar, lalu mengangkat sambil menuju lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.

Wulan, rupanya, karena kejadian malam ini, emosinya nggak stabil hingga harus dibawa ke rumah sakit. Indra datang ke rumah hanya untuk mengambil baju bersih.

Dalam gelap, pendengaran Puspa terasa semakin tajam. Ia bisa mendengar jelas nada lembut dan penuh perhatian yang digunakan Indra saat bicara di telepon. Ia tahu pasti siapa yang menelepon.

Meskipun dalam hati sudah bulat berniat bercerai, tapi melihat suaminya bersikap begitu peduli di hadapannya pada wanita lain, tetap membuat hatinya nyeri tak tertahankan.

Lima tahun pernikahan ini... semua perjuangannya terasa seperti sebuah lelucon.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
puspa njing. kebanyakan drama kau. seorang humas perusahaan tapi g bisa menyuarakan kebenaran utk dirinya. kau g ubahnya seperti anjing penjaga. terlalu tolol,menye2 dan lemot. kirain tegas ternyata ssma saja dg cerita dari cina sana. cerita szmpah yg menguras energi positif
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
cepat pergi Puspa tinggalkan keluarga DAJJAL juga laki-laki tidak tahu berterimakasih itu
goodnovel comment avatar
Meliala Kolompoy
bosen baca nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 248

    Puspa memang gantungkan harapan ke dia, tapi Puspa nggak pernah nyangka semuanya berjalan secepat ini. Hanya dalam sehari saja sudah ada kabar baik, gimana mungkin ia nggak senang? Ia spontan genggam tangan Wilson, penuh semangat tanya, “Gimana hasilnya?”Wilson menunduk, sekilas melirik tangan yang mencengkeramnya erat. Nadi di bawah kulitnya bahkan ikut bergetar. Puspa menyadari arah pandangannya, buru-buru lepaskan genggamannya. Wajahnya tersipu, lalu ia tersenyum canggung. “Maaf, aku terlalu semangat.”Mata Wilson berkilat, sempat memendam secercah kehilangan, tapi ia tetap menanggapi lembut. “Nggak apa-apa.”Percakapan pun kembali mengalir, beralih ke masalah Joko. Orangnya bisa segera usahakan keluar dengan jaminan. Untuk bukti-bukti yang beratkan ayahnya, kalau sedikit diatur, hukuman bisa diperingan. Dengan tambahan denda, ditambah masa tahanan yang sudah dijalani, besar kemungkinan ayahnya bisa segera bebas. Bagi Puspa, ini sungguh kabar baik! Dia berutang budi padanya.

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 247

    Namun dia tetap dirinya sendiri, ia nggak bisa pura-pura itu bukan masalah. Indra bukakan pintu mobil untuk Puspa. Kalau dia sudah bersikeras ingin layani kayak begini, Puspa merasa nggak ada gunanya nolak. Baru saja ia hendak pakai sabuk pengaman, mendadak terasa ada tatapan menusuk dari luar jendela. Naluri buat dia noleh ke luar, namun yang terlihat hanya pemandangan biasa. Alis Puspa berkerut tipis. Itu sudah yang kedua kalinya. Apa mungkin belakangan ini pikirannya terlalu lelah, sampai ia mulai halusinasi? Faktanya, ia sama sekali nggak halusinasi. Justru kepekaan dirinya amat tajam, memang ada seseorang yang sedang buntuti mereka. Dan orang itu adalah suruhan Wulan.Dikirim ke pulau terpencil, kehidupan Wulan nggak seindah yang ia pamerkan di depan Puspa. Ya, semua kebutuhan hidupnya memang terjamin, tapi ia terpenjara. Nggak ada kebebasan, nggak ada kebahagiaan. Ia nggak tahu berapa lama harus terjebak di sana. Telepon Indra pun nggak segampang dulu. Dari sepuluh panggilan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 246

    Keluar dari ruang VIP, Indra langsung genggam tangan Puspa. Langkah Puspa terhenti. Ia menoleh, menatapnya, “Ngapain?”Puspa melirik ke arah tangan yang mencengkeramnya erat. “Lepaskan!”Namun bukannya lepaskan, Indra justru tekan jemarinya lebih dalam, lalu mengaitkan sepuluh jari mereka dengan paksa. “Biasakan saja.” Dulu, mereka jarang sekali pergi berdua. Sekarang, mendadak lakukan hal ini apa maksudnya? Puspa mencibir. “Kenapa? Sudah nggak mau jaga kesucianmu untuk mantan pacarmu?”Ekspresi Indra sama sekali nggak berubah. “Kamu bisa marah sepuasmu, nggak ada gunanya. Aku nggak akan ceraikan kamu.”Puspa benar-benar nggak ngerti. Jelas-jelas Indra nggak suka Puspa, lalu kenapa begitu keras kepala tolak perceraian? “Kalau menurutmu aku yang minta cerai buat kamu malu, kamu boleh bilang ke orang lain kalau kamu yang ceraikan aku. Aku nggak masalah.”Indra menatap lurus padanya. “Aku nggak pernah peduli omongan orang.”“Kalau gitu, kenapa kamu nggak mau cerai?”Tatapan Indra mele

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 245

    Lukman merasa dadanya sesak, seolah ada api yang nggak bisa keluar. Ia sengaja, tepat di depan Puspa, buka mulut, “Kapan kamu rencana bawa Wulan balik ke sini?”Indra angkat gelasnya, meneguk sedikit minuman, lalu jawab dengan nada datar, “Cuaca di sana lebih cocok untuk pemulihannya.”Lukman melirik sekilas ke arah Puspa yang duduk di sisi Indra, lalu tambahkan dengan nada tajam, “Cuaca di Kota Ubetu juga nggak kalah bagus. Kalau saja bukan karena ada kotoran yang ngerusak pemandangan, Wulan nggak mungkin terus-terusan kesal gitu.”Telinga Puspa nggak tuli, matanya nggak buta. Ia jelas paham siapa yang disebut “kotoran” itu. Ia bahkan sudah siap-siap untuk meledak. Namun sebelum sempat bicara, Indra lebih dulu menekan suara rendah penuh peringatan, “Lukman Darkan.”Suara dingin itu, ditambah dengan panggilan nama lengkapnya, buat Lukman mendadak terdiam. Bahkan orang-orang lain di meja ikut menoleh dengan terkejut. Selama ini Indra selalu jadi pusat kelompok ini. Apa pun yang ia putu

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 244

    Semua orang tahu kalau Wulan itu “milik” Indra. Jadi, ketika Puspa seenaknya coba jodohkan dia dengan orang lain, semua orang terdiam. Nggak tahu harus berkata apa.Lukman langsung mengerutkan kening, matanya membulat. “Kamu gila yah? Omong kosong apa itu! Siapa bilang aku suka Wulan?” Namun dimaki begitu, Puspa nggak marah. Ia hanya jawab dengan tenang, “Oh, kalau gitu apa kamu suka Indra? Kalau nggak, kenapa begitu peduli siapa wanita yang di sebelahnya?”“Aku ini murah hati. Nih, aku kasih kamu tempat duduk. Kebetulan hari ini ulang tahunmu. Meskipun aku nggak suka kamu, anggap saja ini hadiah dariku. Gratis,” ucap Puspa enteng sambil bergeser menjauh dari Indra lalu kasih isyarat tangan seolah mempersilakan.Suasana di ruang VIP makin tegang, bahkan lebih mencekam daripada saat Puspa jodohkan Lukman dengan Wulan tadi. Sebagai orang yang langsung disebut, wajah Indra dan Lukman sama-sama kelam. Lukman seperti belalang yang diinjak ekornya, wajahnya merah padam. “Puspa, otakmu kem

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 243

    “Aku nggak mau pindah!” Puspa dengan tegas nolak.Indra tetap tenang, suaranya datar namun penuh kuasa. “Sekarang kamu nggak punya hak untuk tawar nawar denganku.”Dengar itu, Puspa menggertakkan gigi, matanya menatap dengan penuh kebencian. Indra justru bersikap lembut, bahkan menyuapkan sepotong daging sapi ke mangkuknya. “Aku kasih kamu waktu untuk pikir dulu. Begitu kamu sudah bisa ngerti, waktu itu baru bisa kumpul keluarga lagi.”Ia lalu tambahkan, “Makan yang cepat. Kalau dingin, perutmu bisa sakit.”Tapi kenyataannya, perut Puspa sudah mulai sakit bahkan tanpa sentuh makanan itu. ...Malam itu di kamar tidur utama. Indra melingkarkan lengannya dari belakang, meraih pinggang Puspa. Ia menepis dengan penuh rasa jijik, tapi setiap kali berhasil ngehindar, Indra akan tarik dia lagi. Sampai akhirnya, nggak ada tempat untuk lari lagi, tubuhnya pun terkunci dalam pelukan itu. Suara rendah dan serak Indra terdengar di atas kepalanya, menusuk ke dalam keheningan kamar. “Aku beri kam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status