Share

Bab 8

Author: Rina Safitri
Soal ajakan Joko agar ia bawa Indra makan malam di rumah, Puspa nggak pernah benar-benar kasih tahu dia.

Mobil yang ia kemudikan berhenti di depan rumah keluarga Rahayu. Yang bukakan pintu adalah Rini.

Rini Rahayu adalah putri dari pernikahan kedua Joko—empat tahun lebih muda darinya.

Wajah yang awalnya dipenuhi senyum manis, seketika merengut saat hanya melihat Puspa berdiri di ambang pintu. “Kenapa cuma kamu?”

“Menantu sudah pulang.”

Suara Joko terdengar dari dalam rumah.

Namun begitu melihat yang datang hanya Puspa, baik sang ayah maupun putrinya langsung menunjukkan ekspresi yang sama—kekecewaan yang nggak disembunyikan.

“Menantu laki-laki kita mana?” tanya Joko.

Puspa menjawab tenang, “Dia ada pekerjaan. Nggak bisa datang.”

Mendengar itu, wajah Joko menunjukkan rasa kecewa yang kentara.

Namun Rini malah mencibir, “Jangan-jangan kamu emang nggak bilang apa-apa ke Kak Indra?”

Ucapan itu baru saja meluncur, tatapan Joko langsung berubah tajam.

Melihat Rini tampil anggun dan berdandan rapi sore ini, Puspa langsung tahu adik tirinya ini memang sengaja datang untuk membuka pintu.

Dia menaruh hati pada suaminya.

Dulu, saat mendengar kabar Puspa akan menikah sebagai penebus nasib sial, Rini tertawa puas, seakan menyaksikan sebuah pertunjukan tragis. Tapi ketika Puspa nggak jadi menjanda seperti yang diharapkan, cemburu pun perlahan menggantikan ejekan. Siapa yang suruh keluarga Wijaya begitu terpandang?

Niat Rini untuk merebut Indra sudah bukan rahasia baru—dan bukan pula keinginan yang datang dalam semalam.

Wajah Joko menggelap. “Jangan lupa dari keluarga mana kamu berasal! Kalau keluarga Rahayu tetap dihormati, barulah posisimu di keluarga Wijaya bisa kuat.”

Omong kosong seperti ini sudah terlalu sering Puspa dengar—tameng moral yang dipakai untuk membelenggunya.

Tetap, Puspa menjawab lembut, seperti biasa, “Ayah, aku bukan orang seperti itu.”

Melihat putrinya menunduk patuh, Joko pun meredakan sorot curiganya.

Memang, anak angkat ini bukan tipe yang berani melawan.

Namun karena sosok utama dalam acara makan malam itu nggak hadir, suasana makan jadi kehilangan makna.

Joko lantas menyerahkan proposal proyek padanya, dan dengan sikap atasan beri perintah kepada bawahan, ia berkata, “Secepat yakinkan menantuku untuk menyetujuinya.”

Tanpa banyak basa-basi, ia melambaikan tangan, suruh Puspa pulang.

Puspa masih berdiri di tempat, menggenggam proposal itu dengan kedua tangan. Di hadapannya, mereka bertiga sudah duduk manis di meja makan, tertawa dan mengobrol dengan hangat.

Sedangkan dirinya—kayak orang asing.

Pemandangan seperti ini sudah jadi kebiasaan sejak Joko menikah lagi. Saat masih kecil, karena merasa dikucilkan, Puspa pernah menangis, merasa sakit hati, dan sempat bertanya, “Kenapa aku nggak dianggap?”

Yang ia dapat hanyalah cemooh dan hinaan dari ibu tiri dan adik tirinya, serta tatapan dingin penuh ketidakpedulian dari sang ayah. Ia, yang masih kecil waktu itu, akhirnya belajar untuk tak berharap apa pun. Ia tahu, posisinya bahkan lebih rendah dari anjing peliharaan Rini.

Kalau bukan karena neneknya, mungkin ia sudah lama diusir dan terdampar di jalanan.

Di tengah gelak tawa keluarga itu, Puspa akhirnya balikkan badan dan pergi dari rumah.

Rini melirik punggung kakaknya yang menjauh, lalu mendengus, “Sok suci banget gayanya.”

“Padahal, waktu dulu Ayah jodohin keluarga kita ke keluarga Wijaya, seharusnya aku yang dinikahin. Kalau aku yang jadi nyonya Wijaya, posisi kita sekarang pasti jauh lebih tinggi.”

Bagi Rini, Puspa telah merebut posisi "Nyonya Wijaya" yang seharusnya jadi miliknya!

Andai bukan karena statusnya sebagai putri sulung keluarga Rahayu, mana mungkin pernikahan menguntungkan seperti itu jatuh ke tangan Puspa?

Joko mengerutkan dahi. “Waktu itu kamu baru sembilan belas tahun.”

Belum bicara soal usia, ramalan tanggal lahir Rini juga ngga cocok dengan yang diminta keluarga Wijaya.

Siapa sangka, anak angkatnya justru mendapat keberuntungan besar, seperti menembus gerbang istana dalam satu lompatan.

Tapi sekarang, Joko menatap putrinya dengan makna tersembunyi. “Tapi sekarang... usiamu sudah cocok.”

Lelaki di dunia ini mana ada yang benar-benar setia?

Kalau Rini benar-benar bisa mengait hati Indra, maka status Joko sebagai mertua pun jadi sah sepenuhnya.

Puspa, dia gimanapun juga, dia orang luar.

Mendapat persetujuan ayahnya, Rini langsung membusungkan dada. Ia benar-benar merasa dirinya layak!

Melihat ayah kandung rela mendorong putri kandungnya untuk merebut suami anak angkatnya, cukup menunjukkan betapa rusaknya akar keluarga Rahayu ini.

Namun semua rencana dan niat kotor keluarga itu nggak pernah diketahui Puspa. Tapi sekalipun ia tahu, ia pasti juga nggak akan terkejut lagi.

Dalam perjalanan pulang dari rumah keluarga Rahayu, perut bagian bawah Puspa tiba-tiba terasa nyeri seperti diremas kuat-kuat. Sesaat kemudian, ia merasakan ada cairan hangat mengalir di antara kedua pahanya, lembap dan menyebar cepat. Saat ia menunduk dan melirik ke bawah, warna merah telah mewarnai celananya.

Rasa sakit di perut tak kunjung reda. Puspa buru-buru menepi dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponsel dari tas dan tanpa pikir panjang langsung menghubungi Indra.

Pada saat yang sama, Indra tengah menemani Wulan di rumah sakit.

Saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, ia belum sempat mengangkat, ketika suara manja Wulan lebih dulu menarik perhatiannya.

“Kak, kepalaku sakit...”

Suaranya lembut, lemah, menyiratkan penderitaan.

Indra segera menanggapi, “Aku panggilkan dokter ya.”

Ia hendak keluar ruangan, tapi Wulan langsung mencegah, “Jangan pergi! Aku takut...”

Melihatnya seperti burung kecil yang kaget dan ketakutan, Indra pun mengurungkan niat untuk meninggalkannya. Ia menekan tombol panggil di dekat ranjang untuk meminta bantuan medis. Sementara itu, panggilan dari Puspa yang tadi sempat berdering langsung terputus sejak Wulan mengeluh sakit kepala.

Melirik sekilas ke arah HP yang kini telah dimasukkan kembali ke saku Indra, Wulan tersenyum samar tanpa ketahuan.

Di sisi lain, Puspa hanya bisa mendengarkan nada sibuk dari telepon. Bulu matanya bergetar, tubuhnya yang sudah lemah karena kehilangan darah terasa makin dingin.

Dengan menggigit bibir menahan nyeri, Puspa memaksakan diri menyetir menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, ia juga menghubungi Tania satu-satunya orang yang bisa ia percaya saat ini. Ia takut, jika ia benar-benar mati karena pendarahan hebat, nggak akan ada yang urus jenazahnya.

Untung saja, nyawanya masih cukup kuat. Meski parah, kondisinya belum sampai tahap syok karena kehabisan darah.

Dokter mengatakan penyebab pendarahan mendadak ini adalah karena ia sempat minum banyak alkohol saat masih dalam masa pemulihan setelah keguguran, ditambah lagi dengan insiden beberapa hari lalu dipaksa berendam di air dingin oleh adik iparnya. Tubuhnya terluka, tapi nggak pernah benar-benar dirawat.

Tania mengernyit prihatin. “Keguguran ini... Indra tahu nggak?”

Wajah pucat Puspa tampak semakin sayu, sorot matanya seperti lubang hitam. “Sepertinya dia nggak tertarik buat tahu.”

Bagi Indra, mungkin ini bukan hal penting. Toh, wanita yang bisa kasih dia anak bukan hanya dia. Sekarang pun ada yang jauh lebih ia lindungi dan prioritaskan.

Tania langsung mendengus geram. “Bangsat!”

Setelah mendampingi Puspa hingga infus selesai, mereka akhirnya berjalan keluar dari rumah sakit bersama.

Lobi rumah sakit.

Begitu melangkah ke lobi, langkah Puspa terhenti mendadak.

Padahal rumah sakit di kota Ubetu jumlahnya banyak, entah kenapa nasib buruk seperti mengejarnya hingga harus bertemu dengan Indra dan Wulan di sini.

Wulan tampak seperti bunga putih yang rapuh, bersandar penuh manja pada Indra, seakan pria itu adalah satu-satunya sandaran hidupnya.

Pantas saja panggilan darinya nggak diangkat rupanya sedang sibuk nemani wanita tercinta.

"Kamu kenapa?" tanya Tania, heran karena Puspa tiba-tiba berhenti melangkah. Ia mengikuti arah pandangan temannya.

Begitu melihat siapa yang dimaksud, raut wajah Tania langsung berubah masam.

“Busuk banget ini hari!” gerutunya.

Mungkin karena tatapan mereka terlalu menusuk, Indra pun menoleh dan pandangan mereka langsung bertemu.

Kening Indra mengernyit samar.

Lalu ia berjalan mendekat, dan begitu membuka mulut, kalimat yang keluar adalah tuduhan.

“Kamu ngapain di sini?”

Sementara itu, Wulan justru melangkah lebih dulu, menyapa dengan senyum manis. “Kak Puspa, kamu ke sini buat jenguk aku ya?”

Ia lalu menoleh manja ke arah Indra. “Kamu yang kasih tahu Kak Puspa aku dirawat di sini, ya?”

Kalimat itu, meski terdengar seperti pertanyaan, jelas lebih ditujukan untuk Indra daripada untuk Puspa mencoba memancing dan bersandiwara.

Tentu saja, Indra nggak mungkin ngaku. Maka bagi Wulan, kehadiran Puspa di sini pasti karena... menguntit.

Dan jelas terlihat bahwa Indra pun berpikiran sama.

Kalau memang Puspa membuntuti, maka ia jelas merasa terganggu.

Meski nggak bisa bilang kenal luar dalam, setelah lima tahun menikah, Puspa cukup peka menangkap ekspresi di wajah Indra.

Dan reaksi kecil barusan cukup untuk membuat hatinya terasa penuh sesak.

Wulan melirik ke arah Indra sambil menggenggam lengannya erat, lalu berkata pelan,

“Kak, kan aku udah bilang... Kak Puspa itu orangnya baik. Kejadian kemarin pasti bukan sengaja nyakitin aku...”

Puspa memandangi tangan mungil Wulan yang mencengkeram lengan suaminya. Indra dulu selalu hindari kontak fisik dengan perempuan, bahkan dirinya sendiri sebagai istri pun diperlakukan sama. Ia menunggu Indra menarik tangannya menjauh. Namun yang ia dapatkan hanya diam.

Jadi bukan karena ia benci sentuhan perempuan. Hanya saja Puspa yang nggak boleh sentuh dia.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fajar Adiguna
kalau dilihat dari semua cerita disini semuanya hampir sama,, istri sah selalu ditindas ,,kalah sama selingkuhan,,
goodnovel comment avatar
Aidasatri Yudianti
Ayo puspa jgn jadi wanita yg mau ditindas sana sini .... Bangkit ....
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 248

    Puspa memang gantungkan harapan ke dia, tapi Puspa nggak pernah nyangka semuanya berjalan secepat ini. Hanya dalam sehari saja sudah ada kabar baik, gimana mungkin ia nggak senang? Ia spontan genggam tangan Wilson, penuh semangat tanya, “Gimana hasilnya?”Wilson menunduk, sekilas melirik tangan yang mencengkeramnya erat. Nadi di bawah kulitnya bahkan ikut bergetar. Puspa menyadari arah pandangannya, buru-buru lepaskan genggamannya. Wajahnya tersipu, lalu ia tersenyum canggung. “Maaf, aku terlalu semangat.”Mata Wilson berkilat, sempat memendam secercah kehilangan, tapi ia tetap menanggapi lembut. “Nggak apa-apa.”Percakapan pun kembali mengalir, beralih ke masalah Joko. Orangnya bisa segera usahakan keluar dengan jaminan. Untuk bukti-bukti yang beratkan ayahnya, kalau sedikit diatur, hukuman bisa diperingan. Dengan tambahan denda, ditambah masa tahanan yang sudah dijalani, besar kemungkinan ayahnya bisa segera bebas. Bagi Puspa, ini sungguh kabar baik! Dia berutang budi padanya.

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 247

    Namun dia tetap dirinya sendiri, ia nggak bisa pura-pura itu bukan masalah. Indra bukakan pintu mobil untuk Puspa. Kalau dia sudah bersikeras ingin layani kayak begini, Puspa merasa nggak ada gunanya nolak. Baru saja ia hendak pakai sabuk pengaman, mendadak terasa ada tatapan menusuk dari luar jendela. Naluri buat dia noleh ke luar, namun yang terlihat hanya pemandangan biasa. Alis Puspa berkerut tipis. Itu sudah yang kedua kalinya. Apa mungkin belakangan ini pikirannya terlalu lelah, sampai ia mulai halusinasi? Faktanya, ia sama sekali nggak halusinasi. Justru kepekaan dirinya amat tajam, memang ada seseorang yang sedang buntuti mereka. Dan orang itu adalah suruhan Wulan.Dikirim ke pulau terpencil, kehidupan Wulan nggak seindah yang ia pamerkan di depan Puspa. Ya, semua kebutuhan hidupnya memang terjamin, tapi ia terpenjara. Nggak ada kebebasan, nggak ada kebahagiaan. Ia nggak tahu berapa lama harus terjebak di sana. Telepon Indra pun nggak segampang dulu. Dari sepuluh panggilan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 246

    Keluar dari ruang VIP, Indra langsung genggam tangan Puspa. Langkah Puspa terhenti. Ia menoleh, menatapnya, “Ngapain?”Puspa melirik ke arah tangan yang mencengkeramnya erat. “Lepaskan!”Namun bukannya lepaskan, Indra justru tekan jemarinya lebih dalam, lalu mengaitkan sepuluh jari mereka dengan paksa. “Biasakan saja.” Dulu, mereka jarang sekali pergi berdua. Sekarang, mendadak lakukan hal ini apa maksudnya? Puspa mencibir. “Kenapa? Sudah nggak mau jaga kesucianmu untuk mantan pacarmu?”Ekspresi Indra sama sekali nggak berubah. “Kamu bisa marah sepuasmu, nggak ada gunanya. Aku nggak akan ceraikan kamu.”Puspa benar-benar nggak ngerti. Jelas-jelas Indra nggak suka Puspa, lalu kenapa begitu keras kepala tolak perceraian? “Kalau menurutmu aku yang minta cerai buat kamu malu, kamu boleh bilang ke orang lain kalau kamu yang ceraikan aku. Aku nggak masalah.”Indra menatap lurus padanya. “Aku nggak pernah peduli omongan orang.”“Kalau gitu, kenapa kamu nggak mau cerai?”Tatapan Indra mele

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 245

    Lukman merasa dadanya sesak, seolah ada api yang nggak bisa keluar. Ia sengaja, tepat di depan Puspa, buka mulut, “Kapan kamu rencana bawa Wulan balik ke sini?”Indra angkat gelasnya, meneguk sedikit minuman, lalu jawab dengan nada datar, “Cuaca di sana lebih cocok untuk pemulihannya.”Lukman melirik sekilas ke arah Puspa yang duduk di sisi Indra, lalu tambahkan dengan nada tajam, “Cuaca di Kota Ubetu juga nggak kalah bagus. Kalau saja bukan karena ada kotoran yang ngerusak pemandangan, Wulan nggak mungkin terus-terusan kesal gitu.”Telinga Puspa nggak tuli, matanya nggak buta. Ia jelas paham siapa yang disebut “kotoran” itu. Ia bahkan sudah siap-siap untuk meledak. Namun sebelum sempat bicara, Indra lebih dulu menekan suara rendah penuh peringatan, “Lukman Darkan.”Suara dingin itu, ditambah dengan panggilan nama lengkapnya, buat Lukman mendadak terdiam. Bahkan orang-orang lain di meja ikut menoleh dengan terkejut. Selama ini Indra selalu jadi pusat kelompok ini. Apa pun yang ia putu

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 244

    Semua orang tahu kalau Wulan itu “milik” Indra. Jadi, ketika Puspa seenaknya coba jodohkan dia dengan orang lain, semua orang terdiam. Nggak tahu harus berkata apa.Lukman langsung mengerutkan kening, matanya membulat. “Kamu gila yah? Omong kosong apa itu! Siapa bilang aku suka Wulan?” Namun dimaki begitu, Puspa nggak marah. Ia hanya jawab dengan tenang, “Oh, kalau gitu apa kamu suka Indra? Kalau nggak, kenapa begitu peduli siapa wanita yang di sebelahnya?”“Aku ini murah hati. Nih, aku kasih kamu tempat duduk. Kebetulan hari ini ulang tahunmu. Meskipun aku nggak suka kamu, anggap saja ini hadiah dariku. Gratis,” ucap Puspa enteng sambil bergeser menjauh dari Indra lalu kasih isyarat tangan seolah mempersilakan.Suasana di ruang VIP makin tegang, bahkan lebih mencekam daripada saat Puspa jodohkan Lukman dengan Wulan tadi. Sebagai orang yang langsung disebut, wajah Indra dan Lukman sama-sama kelam. Lukman seperti belalang yang diinjak ekornya, wajahnya merah padam. “Puspa, otakmu kem

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 243

    “Aku nggak mau pindah!” Puspa dengan tegas nolak.Indra tetap tenang, suaranya datar namun penuh kuasa. “Sekarang kamu nggak punya hak untuk tawar nawar denganku.”Dengar itu, Puspa menggertakkan gigi, matanya menatap dengan penuh kebencian. Indra justru bersikap lembut, bahkan menyuapkan sepotong daging sapi ke mangkuknya. “Aku kasih kamu waktu untuk pikir dulu. Begitu kamu sudah bisa ngerti, waktu itu baru bisa kumpul keluarga lagi.”Ia lalu tambahkan, “Makan yang cepat. Kalau dingin, perutmu bisa sakit.”Tapi kenyataannya, perut Puspa sudah mulai sakit bahkan tanpa sentuh makanan itu. ...Malam itu di kamar tidur utama. Indra melingkarkan lengannya dari belakang, meraih pinggang Puspa. Ia menepis dengan penuh rasa jijik, tapi setiap kali berhasil ngehindar, Indra akan tarik dia lagi. Sampai akhirnya, nggak ada tempat untuk lari lagi, tubuhnya pun terkunci dalam pelukan itu. Suara rendah dan serak Indra terdengar di atas kepalanya, menusuk ke dalam keheningan kamar. “Aku beri kam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status