Share

Bab 6

Penulis: Rina Safitri
Begitu melangkah keluar dari gerbang sekolah, punggung Puspa yang semula tegap akhirnya merosot lemas.

Semakin keras ia berusaha terlihat kuat tadi, semakin cepat pula detak jantungnya sekarang.

Sebagai anak angkat, sejak kecil Puspa sudah terbiasa menahan diri. Kepribadiannya cenderung penurut, bahkan bisa dibilang seperti “tanah liat”—lunak, mudah dibentuk.

Namun, ia bukan tanah liat yang bisa diinjak tanpa perlawanan.

Ia hanya berharap pertunjukan barusan cukup memancing Lisa untuk membantu mewujudkan tujuannya—bercerai dari Indra.

Tiba-tiba rasa nyeri menusuk di pelipisnya, mengingatkan Puspa pada insiden beberapa menit lalu. Ia pun menuju rumah sakit terdekat.

Baru saja keluar dari rumah sakit, ponselnya berdering—nama Joko Rahayu, ayah angkatnya, terpampang di layar.

Puspa ingin mengabaikannya, tapi nggak berani. Ketakutan itu sudah mendarah daging sejak kecil. Ia menghela napas panjang, lalu menggeser layar untuk menerima panggilan. Suara dari seberang langsung bernada perintah.

"Besok bawa Indra pulang ke rumah, makan malam bersama."

Puspa menundukkan kepala, bulu matanya bergetar pelan. Jari-jarinya mulai mencabik kuku. Ia tahu, makan malam ini bukan soal keluarga. Joko pasti sedang mengincar proyek baru.

Kalau mau dibungkus manis, namanya kerja sama. Tapi pada kenyataannya? Ayah angkatnya itu hanya ingin menyedot keuntungan—lagi.

Tak mendapat jawaban, Joko membentak tanpa basa-basi, “Kamu tuli? Atau sudah jadi bisu?”

Kepala Puspa makin merunduk. Bibir yang kaku akhirnya bergerak pelan, “Okay, Ayah.”

Belum selesai gema suaranya, sambungan sudah terputus. Tangannya yang menggenggam ponsel kini lemas jatuh ke sisi tubuh.

Nggak heran Indra nggak suka dia. Siapa yang tahan punya mertua seperti lintah darat? Jika dirinya di posisi lelaki itu, ia pun akan jijik.

Ia hanya ingin cari tempat tenang untuk menenangkan diri. Tapi kenyataan sepertinya nggak kasih dia kesempatan.

Telepon kembali berdering. Kali ini dari atasannya—memintanya hadir di jamuan makan malam bisnis malam ini.

Jamuan seperti itu biasanya hanya menjadikan karyawan humas seperti dirinya sebagai umpan depan—senyum, basa-basi, dan menyambut ledakan emosi para mitra bisnis.

Padahal sifat Puspa nggak cocok untuk pekerjaan seperti ini. Tapi ia tetap berusaha keras menyesuaikan diri. Karena ia tahu—Indra benci wanita manja yang hanya bergantung.

Demi bisa dipandang berbeda di matanya, Puspa hanya bisa terus menguatkan diri.

Namun...

Mengingat tubuhnya yang belum pulih usai keguguran, Puspa menolak dengan suara lembut, “Pak, saya sudah ambil cuti hari ini.”

Atasannya tahu arah bicaranya, langsung memotong mundurnya, “Ini perintah dari atasan.”

Puspa langsung paham. Yang dimaksud ‘atasan’ itu tak lain adalah—Indra.

Bukankah dia yang menyetujui cutinya? Kenapa sekarang justru menyuruhnya kembali bekerja?

Puspa akhirnya berkata, “Aku sedang mengurus pengunduran diri.”

Atasannya menanggapi dingin, “Tapi prosesnya belum selesai.”

Teguran itu sekaligus peringatan: selama belum resmi keluar, ia tetap bawahan perusahaan.

Tak punya alasan lagi untuk menolak, ia pun harus pasrah dan kembali bertugas.

Di malam harinya, Puspa tiba lebih awal di tempat perjamuan.

Meskipun hatinya enggan, profesionalisme buat dia nggak bisa sembarangan.

Baru saja tiba, ia terkejut. Yang dimaksud ‘atasan’ oleh manajernya ternyata—Wulan!

Perempuan itu yang jebak dia untuk datang.

Setahu Puspa, mitra bisnis malam ini adalah klien penting dalam proyek terbaru mereka.

Dan sekarang,Indra menyerahkan proyek sebesar ini pada Wulan—yang bahkan baru masuk perusahaan. Jelas sebuah bentuk keistimewaan.

Suka atau nggak suka... ternyata memang sejak awal sudah berbeda takdirnya.

“Tunggu! Apa yang kamu lakukan?!”

Saat Puspa sedang melamun, tiba-tiba suara keras Wulan terdengar dari dalam ruangan VIP. Begitu ia tersadar, ia melihat Wulan melempar botol wine ke arah klien—mengenai tubuhnya langsung!

Puspa hanya bisa terdiam.

Serangannya cukup brutal. Darah langsung terlihat menetes dari tubuh pria itu.

Klien marah besar, sedangkan Wulan menangis sesenggukan.

Suasana ruangan langsung kacau, seolah bukan dia pelaku utamanya.

Dengan suara pilu, Wulan berkata, “Kamu melecehkanku!”

Sang klien membentak keras, “Apa-apaan ini?! Kalian pikir aku bodoh? Mau jebak aku dengan skenario murahan?!”

Wulan berteriak lantang, “Siapa yang jebak kamu?! Aku akan lapor polisi!”

Sekali lagi, ia berhasil menyulut ketegangan dalam ruangan hingga nyaris meledak.

Puspa nggak bisa membiarkan kekacauan terus memburuk. Dengan cepat, ia minta anak buah membawa Wulan keluar untuk menenangkan situasi. Ia sendiri tetap tinggal, mengurusi puing-puing yang tersisa.

Setelah berhasil meredakan kemarahan pihak klien dan memastikan kontrak ditandatangani, Puspa nggak bisa nolak deretan gelas anggur yang disodorkan malam itu.

Di depan restoran, Puspa dengan sopan membukakan pintu mobil untuk kliennya. Pria itu menepuk tangannya perlahan, senyum penuh makna terukir di bibir. “Semoga lain waktu, kita bisa makan malam lagi bersama.”

Dengan gerakan halus, Puspa menarik tangannya sambil mempertahankan senyum profesional. “Hati-hati di jalan.”

Baru saja kliennya pergi,Indra muncul di belakangnya, seolah sedang menunggu dari kejauhan.

"Indra..."

Tanpa aba-aba, Wulan langsung menubruk pelukanIndra, tangisnya tumpah penuh kepiluan. Indra menahan bahunya, membantu agar ia tidak jatuh.

Puspa berdiri hanya beberapa langkah dari mereka. Angin malam yang dingin menerpa, membuyarkan sisa mabuk dari tubuhnya dan menyisakan kesadaran pahit.

Betapa kokohnya pelukan pria itu, tubuh Puspa mengenalnya dengan sangat baik—di ranjang. Tapi begitu kaki menginjak lantai, tak pernah sekalipunIndra memeluknya di depan umum.

Pasti terasa aman sekali, pikir Puspa getir. Kalau tidak, mana mungkin Wulan memeluknya sedekat itu?

Angin bertiup sekali lagi. Tiba-tiba, rasa sakit mencengkeram perutnya. Puspa menggigil kecil, lalu menarik napas dalam-dalam, melangkah ke depan dan menyerahkan dokumen. “Pak Indra, ini kontrak kerja sama yang baru saja aku tanda tangani dengan Asia Pasifik.”

Indra menatapnya dingin, matanya menyipit. “Perusahaan kita belum sejatuh itu sampai harus suruh karyawan jual tubuhnya.”

Puspa tertegun, nggak paham mengapa ia berkata begitu. Ia ingin jelaskan, “Aku nggak...”

“Kolegamu dilecehkan, dan kamu malah membiarkan pelakunya mempermalukannya. Apa ini cara kerjamu selama ini? Kamu anggap perusahaan itu tempat apa? Rumah pelacuran?"

Wajah Puspa langsung memucat, rasa malu menamparnya begitu keras.

Pikiran melayang ke masa lalu—saat pertama kali ia ikut jamuan bisnis. Ia juga pernah alami pelecehan. Reaksinya saat itu? Sama seperti Wulan sekarang.

Hanya ada satu perbedaan. Ia nggak berani melawan. Ia hanya diam, menggigil dalam ketakutan.

Indra ada di sana waktu itu. Dan waktu lihat "ketakutan berlebihan" Puspa, ia hanya memandangnya dengan jijik.

Puspa masih mengingat dengan jelas ucapannya saat itu.

“Tempat ini bukan taman bermainmu. Nggak ada yang akan maklumi drama kecilmu. Nggak sanggup kerja? Pulang dan berhenti saja.”

Lihatlah. Betapa munafiknya standar ganda itu.

Demi mendapat pengakuannya, Puspa mengasah diri tanpa henti, hingga akhirnya ia pun menjadi pekerja tangguh dalam dunia bisnis.

Dan sekarang, ia malah disalahkan karena nggak lindungi Wulan?

Tapi kenapa? Kenapa ia harus lindungi perempuan yang telah mencuri suaminya?

Puspa akhirnya berkata, “Manajer Wicak tadi sudah bilang, dia nggak lakukan apa-apa ke Wulan.”

Mata Wulan memerah, suara bergetar menyusul. “Jadi maksudmu aku fitnah dia? Siapa yang mau mempertaruhkan kehormatannya untuk main-main seperti ini?”

Begitu Puspa mengangkat kepala, pandangannya langsung bertemu mata dingin Indra. Tenggorokannya tercekat, nggak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Sejujurnya, Puspa nggak melihat kejadian apa pun yang menunjukkan Wulan dilecehkan.

Wulan mengaku dilecehkan, Manajer Wicak membantah, nggak ada bukti. Apa yang bisa ia lakukan?

Dengan wajah penuh luka, Wulan tersedu, “Puspa, aku salah apa ke kamu? sampai kamu nuduh aku seperti ini?”

Puspa menatap perempuan itu yang terus memainkan peran tragisnya. Ekspresinya datar, namun di dalam hati ia berpikir ternyata “pria memang menyukai gadis kecil yang tampak rapuh dan menyedihkan seperti ini.”

Apa Wulan begitu yakin Puspa nggak berani bongkar siapa dia sebenarnya?

Dan memang benar. Karena masih ada yang ingin ia dapatkan, Puspa nggak bisa nyinggung Indra. Termasuk orang-orang yang kini berada di bawah perlindungannya, semua harus ia tahan, telan, dan diamkan.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ujang Supri
apakah Puspa itu pemeran utama? qo digambarkan nya jadi wanita rapuh yang idiot capek ya baca nya padahal ini baru diawal cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 442

    Dokter Yulia? Psikolog pribadi Puspa?Tania mendadak teringat. Wanita yang dulu ia lihat bersama Wulan di restoran, bukannya itu psikolog yang ia temui di Vila Asri?Wajah Tania langsung berubah drastis, napasnya menjadi terburu-buru.“Puspa!”Puspa dengar suaranya lewat earphone bluetooth, ia jawab pelan, “Kenapa?”Tania cepat tanya, “Kamu sekarang sedang di mobil psikologmu?”“Mm, iya.” Puspa mengiyakan.Nada Tania langsung melonjak panik.“Cepat turun! Puspa, segera turun dari mobil itu!”Nada teriakannya begitu mendesak sampai Puspa sempat membeku.Tania segera tambahkan cepat, “Psikologmu itu pernah ketemu diam-diam dengan Wulan!”Ia nggak bisa pastikan hilangnya Nenek Yanti ada hubungannya dengan Wulan.Namun kemunculan Yulia di saat sepenting itu benar-benar terlalu kebetulan. Hal itu buat insting profesionalnya berteriak. Ada yang nggak beres!Dengar itu, pupil Puspa menegang. Ia menoleh ke arah Yulia yang sedang nyetir. Wajah yang biasanya tampak akrab kini seolah tertutup ba

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 441

    Puspa tertegun. “Apa maksudmu hilang?”Perawat pendamping buru-buru jelaskan, “Aku cuma keluar sebentar untuk terima telepon. Begitu kembali, nenek sudah nggak ada. Aku sudah cari ke semua arah tapi tetap nggak ketemu, HP-nya juga tertinggal.”Hal pertama yang terlintas di kepala Puspa adalah, “Nenekku apa mungkin keluar sebentar untuk jalan-jalan?”Tapi perawat langsung membantah.“Bukan waktunya keluar ruangan, dan lagian sebentar lagi waktunya minum obat.”Nenek Yanti sudah seperti pasien tetap di rumah sakit ini, hampir semua perawat kenal dia. Tapi anehnya, nggak ada satu pun yang tahu kapan ia hilang.Bahkan ketika Puspa minta rekaman CCTV rumah sakit, hasilnya seperti orang itu lenyap begitu saja, benar-benar menguap tanpa jejak.Puspa panik. Sambil hubungi polisi, ia juga keliling rumah sakit mencari keberadaan neneknya. Saat itulah nada dering HP-nya tiba-tiba bunyi.Nomornya asing. Entah kenapa, naluri Puspa langsung berkata: telepon ini pasti ada hubungannya dengan nenek.“H

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 440

    Ini bukannya sama saja dengan menghina dia?Wulan menatap tajam ke arah Puspa.“Jangan asal bicara! Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan pria ini!”Puspa tersenyum miring, nada suaranya penuh sindiran, “Sudah sampai ada urusan transaksi uang, masih bilang nggak ada hubungan?”Begitu kata-kata itu keluar, bayangan kelam melintas di mata Wulan.Dia dengar? Sejauh mana dia dengar? Apa soal anak juga sudah sampai ke telinganya?Sebenarnya Puspa hanya tonton pertunjukan.Soal Wulan main laki-laki lain, ia sama sekali nggak tertarik, cuma geli saja.Selama ini ia kira Wulan benar-benar cinta Indra. Ternyata? Sama saja.Lihatlah, “adik perempuan kesayangan” yang selalu disimpan Indra di hatinya, jiwa dan raganya ternyata juga gampang terpecah begitu saja.Puspa malas berlama-lama menatap drama busuk ini. 'Nggak baik untuk bayi kalau kebanyakan lihat sampah dunia,' pikirnya. Ia segera alihkan pandangan dan berbalik pergi.Namun Wulan terus menatap punggungnya, matanya seolah ingin tembus dan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 439

    “Anakku, cepat lihat siapa yang datang. Itu pamanmu, ayo, cepat panggil ‘paman’.”Jimmy sambil berkata, tiba-tiba rubah suaranya, tirukan nada suara anak kecil.“Aku nggak suka Paman. Aku benci Paman.”Begitu kalimat itu selesai, ia langsung kembalikan suaranya normal.“Benar kan, anakku! Lihat, selera kita sama persis. Apa yang aku benci, kamu juga benci.”Puspa benar-benar kembali dibuat terdiam oleh tingkah Jimmy.Orang aneh! Super aneh!Tatapan Indra semakin gelap, tajam seolah hendak menguliti adiknya hidup-hidup.Sementara Jimmy, kedua tangannya tetap santai masuk ke saku celana, gaya malas nggak berubah sedikit pun.“Kenapa lihat aku begitu? Iri ya, karena hubungan ayah-anak kami lebih baik daripada hubunganmu dengannya?”Puspa nggak mau jadi korban perdebatan mereka.Ia langsung berdiri, buka mulut dengan datar, “Perlu aku kasih tempat buat kalian berdua?”Meskipun terdengar seperti bertanya, tindakannya sangat tegas.Ia melangkah keluar dari kamar rawat, bahkan dengan ramah tu

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 438

    Kepalanya sakit, tapi pada saat yang sama ia juga nggak berdaya, hanya bisa turuti keinginan putrinya....Di sisi lain, kondisi Puspa dalam perawatan medis dan terapi makan perlahan mulai membaik.Dokter bilang, dua hari lagi ia sudah bisa keluar dari rumah sakit.Kabar tentang Lisa yang akhirnya dikirim ke luar negeri, justru disampaikan langsung oleh Jimmy.Puspa dengar itu sambil dalam hati mendengus. Pasti orang ini diam-diam pasang semacam alat pemantau di sekitar mereka. Kalau nggak, gimana mungkin ia bisa tahu semua gerakan mereka dengan begitu detail?Jimmy duduk santai di kursi dekat ranjangnya, satu kaki disilangkan di atas kaki lain, gaya seenaknya.Dengan nada bercanda, ia bertanya, “Sekarang aku harus panggil kamu ‘kakak ipar’ atau ‘Puspa’?”Puspa menatapnya dingin.“Kalau mau, kamu bisa panggil aku orang asing.”Jimmy terkekeh. “Itu nggak bisa. Aku masih niat kejar kamu.”Puspa mendengus, malas tanggapi.“Kalau gitu, silakan naik ke lantai tiga.”Jimmy menaikkan alis. “N

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 437

    Puspa sedang makan makanan yang dibawakan Bu Sekar.Makanannya belum habis, ketika Indra masuk dan kembali ke kamar.Dia nggak temani Wulan, tapi balik ke sini? Ngapain?Indra duduk di hadapannya. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, suaranya tenang namun penuh penjelasan.“Dia pingsan tiba-tiba, aku cuma…”Namun sebelum ia sempat selesaikan kalimatnya, Puspa memotong dingin, “Kamu nggak perlu jelaskan ke aku. Aku juga nggak butuh penjelasanmu. Kita sudah cerai. Kamu mau ngapain, pergi ke mana, itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku.”Di mata orang luar, mereka masih suami istri.Tapi pada kenyataannya, kalau bicara lebih kejam, ia kini lebih mirip seperti seorang ibu pengganti. Seorang “surrogate”. Dan bagi Puspa, urusan perasaan antara dirinya dan Indra, sama sekali nggak penting.Asalkan nggak sentuh dirinya, Indra boleh lakukan apa saja. Itu bukan urusannya.Indra tercekat dengar kata-kata itu. Menatap wajah tenang Puspa, sikapnya yang nggak terusik sedikit pun, buat hati Indra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status