Share

Bab 6: Pesan dari Azizah

Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.

Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.

Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.

[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal. Azizah gadis biasa, pun sederhana. Diberikan mahar semampu Bang Adam sudah lebih dari cukup, asal kita bisa bersama.]

[Bang Adam, hari ini, ayah bertanya pada Azizah, sudah sejauh mana pencapaian Bang Adam, dan Azizah tahu kalau Bang Adam sedang berjuang. Tetapi, ayah tidak mau menunggu lebih lama. Ayah sudah menyebutkan soal ingin menikahkan Azizah dengan Teuku Idris, anak Toke Emas lain di Aceh Utara. Azizah tidak mau menikah dengan lelaki lain.]

[Bang Adam, tolong Azizah ....]

Adam memejamkan mata, mencoba menikmati perih yang terus menggoda dada. Begitu kedua kelopak merapat, bayangan akan masa lalu saat pertemuan pertama dengan Azizah mulai tercipta.

Assalamualaikum, boleh tanya jalan, Bang?”

Hari itu, dua gadis jelita menyapa Adam yang sedang duduk di taman sendirian. Dia yang disibukkan dengan tugas akhir hampir menolak untuk mengangkat wajah. “Perpustakaan di mana, ya, Bang? Maaf, kami mahasiswa baru di sini,” imbuh suara gadis lain. Lebih syahdu, lebih indah dan amat menentramkan jiwa Adam.

Segera, dia mengangkat wajahnya, demi melihat dengan lebih jelas sang pemilik suara yang baru saja menyentuh hatinya. Adam tertegun untuk beberapa detik. Paras indah dengan manik mata berkilauan itu tersenyum kikuk ke arahnya. Jemarinya yang lentik mengulurkan sebuah brosur lecek, terlihat oleh Adam pula, betapa beningnya kulit putih sang gadis. Juga, kuku merah mudah yang bersih walau tanpa polesan apapun.  

“Ini, di brosurnya, tertera kalau di kampus ini ada perpustakaannya. Lengkap dan memiliki Wifi,” imbuh gadis itu lagi.

“Bang? Apa Abang mahasiswa baru juga?” Gadis itu menelisik sebab Adam belum menjawab dirinya.

“Oh, ti-tidak. Mahasiwa tua! Eh, mahasiswa lama, sudah semester akhir. Ta-tadi nanyain apa?” balas Adam jauh lebih kikuk dibandingkan gadis cantik itu.

“Jadi, di mana perpustakaannya?” Gadis yang lain menyergah sebelum Adam semakin terlena.

Pemuda itu mengerjapkan mata, lalu menoleh ke kanan seraya menunjuk sebuah bangunan yang tiga puluh persennya berupa kaca. “Itu perpustakannya!” seru Adam.

Kedua gadis itu mengangguk paham, kemudian mengucapkan kata pamit sebelum melangkah meninggalkan Adam sendirian. Pemuda yang baru saja merasakan gejolak yang berbeda, seketika berkata, “Namanya siapa, ka-kalau boleh tahu?”

“Azizah, Bang!” balas sang gadis.

Tring!

Bayangan yang ada di kepala Adam seketika menghilang. Bunyi berdenting itu mengusik ingatan Adam tentang pertemuan pertamanya dengan Azizah dulu. Mereka yang masih begitu muda dan polos, belum mengerti tentang pahitnya masa depan hanya mampu menyusun setiap langkah agar bisa bersama.

Namun kini, baik Adam ataupun Azizah, dihadapkan dengan sebuah kenyataan nan memilikan, tentang cinta yang terhalang oleh harta. Klise, itulah yang Adam rasakan, meski begitu dia tetap mengusap layar gawai dengan ibu jarinya hingga pesan dari gadis yang begitu didamba muncul.

[Azizah berharap, Abang Adam bisa lebih berusaha. Azizah pun terus berdo’a. Ayah terus mendesak sampai bertengkar dengan mamak.]

Usai membaca pesan tersebut, Adam menghela napas. Entah berusaha seperti apa lagi yang dimaksudkan Azizah. Andai saja gadis itu tahu yang sebenarnya, tentang bagaimana Toke Sofyan mencoba menggagalkan usahanya.

[InsyaAllah, Zizah. Istirahatlah.]

Hanya sepotong kalimat itulah yang dikirimkan Adam, sampai matanya terlelap, dan Adam tertidur dalam buaian mimpi yang pedih.

--

Langit kian mendung siang ini, saat Adam melangkahkan kedua kakinya keluar dari kelas. Diantar tatapan bingung para siswa serta diekori Naya dengan setumpuk buku di pelukannya, Adam menuju kantor.

Baru saja menderapkan langkah di keramik kantor, Adam melirik sesuatu yang terletak di meja guru kelas di sebelahnya. Sesuatu yang menarik mata Adam, namun tidak segera dia sentuh mengingat bukan miliknya.

“Mau pulang, Pak Adam?” sapa Bu Erna ramah.

Wanita pemilik meja tersebut buru-buru memindahkan lipatan kertas cantik yang ada di mejanya. “Sudah selesai ngajarnya, ya? Oh, iya ... gaji honorer sudah masuk, loh. Hm, satu jam lalu dikirim operator sekolah,” sambungnya dengan senyum yang lebih merekah.

Adam membalas kecut. Rasa penasaran terus menguak hatinya saat melihat gelagat aneh dari Bu Erna. Meski begitu, Adam tidak ingin berburuk sangka, dia mengumpulkan buku-buku di atas meja, memasukkannya ke dalam tas kerja dan mengisi absensi harian sebelum kemudian pamit pada Bu Erna.

“Pak? Ini taruh di mana?” cegat Naya. Adam mengunci rapat bibirnya. Pemuda itu terus berjalan hingga keluar dari kantor guru.

Baru saja mencapai koridor panjang, Adam dikejutkan dengan dering gawai yang disimpannya di saku. Nama Azizah lagi-lagi terpampang di layar.

[Abang Adam, sudah sebulan dan belum ada kabar baik, ya? Apa Abang bisa bertemu nanti sore? Azizah ajak sepupu supaya tidak cuma berdua.]

Entah mengapa, perasaan Adam semakin tidak karuan. Memang, sudah sebulan berlalu sejak dia melamar gadis itu. Setidaknya bagi Adam, dia sedang melamar, sedang bagi Toke Sofyan, lamarannya sudah ditolak mentah-mentah.

Juga, sejauh ini dia baru mengumpulkan lima belas mayam. Perjalanannya terlalu panjang dan berliku, itu juga sudah berhutang ke teman-teman meski mereka menertawai keinginan Adam yang di luar nalar.

[Baik, Azizah. Abang akan datang sore nanti, di restoran kesukaan Azizah, kan?]

[Ya, Abang.]

“Semoga, bukan sesuatu yang buruk, Zizah,” harap Adam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status