Share

Bab 8: Ungkapan Hati Azizah

Dug Dug Dug

Adam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.

Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.

Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.

Di antara semua gadis, kenapa harus Azizahnya?

Bibir Adam menyunggingkan sebuah senyum meski perasaannya bagaikan tercabik-cabik mendapati kenyataan nan rumit ini.

“Abang, kapan bisa melamar Azizah? Teuku Idris dan keluarganya, ingin segera melamar. Mereka mengaku, menyanggupi berapapun mahar untuk Azizah. Tapi, Azizah tidak bersedia kalau bukan dengan Bang Adam. Karena itu, Azizah datang dengan Naya, membicarakan hal ini secara langsung.”

Tutur Azizah mendayu di tengah hiruk pikuk para pengunjung restoran itu. Mereka yang sebagian besarnya sibuk menikmati makanan, tidak sempat memedulikan kondisi memprihatinkan di antara Adam dan Azizah.

“Abang?” Azizah kembali bersuara. Air matanya mulai menggenang di pelupuk. Sebelum sempat membasahi pipi, Azizah lebih dulu menyeka dengan sapu tangan putih yang dibawanya. “Apa masih mungkin untuk Azizah berharap?”

“Abang masih punya waktu sebulan lagi, Zizah. Abang pasti akan berusaha untuk mendapatkan sisanya.” Adam mencoba mengontrol diri.

Bibirnya dipaksakan untuk mengucapkan kata pahit nan memalukan ini. Sungguh, dia bukanlah pria sejati, hingga ingin melamar pujaan hati saja dirinya tidak punya kemampuan.

“Tapi ayah sudah tidak mau menunggu selama itu, Bang.”

“I-itu kesepakatan antara ....”

“Azizah tahu, tapi ayah tidak mau menunggu lagi. Minggu depan, orangtua Abang Idris datang ke rumah, dan Azizah akan resmi dilamar mereka. Azizah sudah menegaskan kalau lamaran dari Bang Adam tidak seharusnya ditimpa dengan lamaran yang lain, tapi bagi ayah, sebenarnya Abang Adam sudah ditolak sejak hari itu,” ujar Azizah sebelum kemudian dia menutup wajahnya.

Bibir Azizah mulai bergetar, isak tangisnya tergambarkan melalui pundak yang bergetar. Aziah tidak bisa menghentikan perasaan yang saat ini mengoyak hatinya, memecah dadanya dan menghancurkan harapannya yang hanya secuil.

Begitu pun dengan Adam. Pria itu tertegun cukup lama mendengar penuturan dari gadis yang ingin dijadikan istri.

Mereka berbagi rasa sakit dalam diam, menikmati gejolak cinta yang akan sirna karena harta. Baik Adam atau Azizah, tidak ada yang bersuara, selain deru napas, isak tangis nan pilu dan remasan jemari di atas meja yang menjadi penyuara akan luka yang mereka rasa.

“Cengeng!” Naya kemudian berceletuk lagi.

Tubuhnya berputar, tangannya terangkat ke udara. Naya berseru di tengah kegelisahan yang melanda, “Bang, aku pesan jus jeruk dan bakso beranak, ya? Abang ini yang bayarin!” Dia menunjuk Adam.

“Oke, Siap, Dek!” balas pria dengan celemek di pinggangnya. Siapa yang peduli dengan rasa sakit dua insan ini?

Setelahnya, Naya kembali berbalik arah. Dia mengitari Azizah dan Adam bergantian melalui sorot mata, kemudian menggeleng kesal.

“Orang dewasa itu cengeng, ya? Aku kira, mereka akan lebih tegar saat menghadapi masalah. Tapi, malah enggak ada bedanya dengan siswi SMA yang putus cinta.”

Azizah merenggangkan tangannya yang sedari tadi menutup wajah, pun Adam yang mulai melirik Naya. Gadis muda itu manyun luar biasa. Dia meraih kerupuk kulit dari keranjang di depan Adam, merobek plastik dan mengunyah isinya dengan cepat.

“Kalau aku yang jadi Kak Azizah, aku pasti bantuin Pak Adam cari modal nikah, bukannya cuma duduk nuntut siang dan malam.” Naya mengomeli Azizah seraya menatap Adam. Lalu, berganti arah, dia melirik Azizah untuk membicarakan Adam . “Kalau aku jadi Pak Adam, mending aku mundur dari lama. Lagian, menikah kalau orangtuanya enggak sreg sama aku, sama saja melempar diri ke jurang. Bukannya selamat dan bahagia, yang ada mati pelan-pelan karena tersiksa.”

Naya berhenti sesaat, bibirnya komat kamit menguyah kerupuk kulit gurih dan renyah. “Kalau mau sama Pak Adam, Kak Azizah usaha juga. Ambil tabungannya, biar bisa beli emas untuk nikahan. Kalau cuma merengek begini, siswi SMA pun bisa!”

Celetukan Naya nyatanya menggores perasaan Azizah. Gadis itu buru-buru menarik tasnya dari meja, kemudian meninggalkan Naya dan Adam begitu saja.

“Zizah?”

“Enggak usah dipanggil, Pak. Memangnya Kak Zizah mau kemana? Pasti nungguin di dekat motor juga, tuh. Mending, Bapak duduk dulu, biar aku bantu cari solusinya!” Naya berkata seraya tersenyum.

Lengkungan di bibirnya memanjang saat pria muda datang membawa nampan berisi pesanannya. Satu gelas jus jeruk nan segar dan semangkuk bakso gendut yang mengepulkan asap tersaji, membuat manik mata Naya melebar cepat.

“Pak, mau dengerin aku, enggak? Aku punya cara buat Bapak dan Kak Zizah,” imbuhnya dengan senyum yang nakal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status