Dug Dug Dug
Adam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.
Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.
Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.
Di antara semua gadis, kenapa harus Azizahnya?
Bibir Adam menyunggingkan sebuah senyum meski perasaannya bagaikan tercabik-cabik mendapati kenyataan nan rumit ini.
“Abang, kapan bisa melamar Azizah? Teuku Idris dan keluarganya, ingin segera melamar. Mereka mengaku, menyanggupi berapapun mahar untuk Azizah. Tapi, Azizah tidak bersedia kalau bukan dengan Bang Adam. Karena itu, Azizah datang dengan Naya, membicarakan hal ini secara langsung.”
Tutur Azizah mendayu di tengah hiruk pikuk para pengunjung restoran itu. Mereka yang sebagian besarnya sibuk menikmati makanan, tidak sempat memedulikan kondisi memprihatinkan di antara Adam dan Azizah.
“Abang?” Azizah kembali bersuara. Air matanya mulai menggenang di pelupuk. Sebelum sempat membasahi pipi, Azizah lebih dulu menyeka dengan sapu tangan putih yang dibawanya. “Apa masih mungkin untuk Azizah berharap?”
“Abang masih punya waktu sebulan lagi, Zizah. Abang pasti akan berusaha untuk mendapatkan sisanya.” Adam mencoba mengontrol diri.
Bibirnya dipaksakan untuk mengucapkan kata pahit nan memalukan ini. Sungguh, dia bukanlah pria sejati, hingga ingin melamar pujaan hati saja dirinya tidak punya kemampuan.
“Tapi ayah sudah tidak mau menunggu selama itu, Bang.”
“I-itu kesepakatan antara ....”
“Azizah tahu, tapi ayah tidak mau menunggu lagi. Minggu depan, orangtua Abang Idris datang ke rumah, dan Azizah akan resmi dilamar mereka. Azizah sudah menegaskan kalau lamaran dari Bang Adam tidak seharusnya ditimpa dengan lamaran yang lain, tapi bagi ayah, sebenarnya Abang Adam sudah ditolak sejak hari itu,” ujar Azizah sebelum kemudian dia menutup wajahnya.
Bibir Azizah mulai bergetar, isak tangisnya tergambarkan melalui pundak yang bergetar. Aziah tidak bisa menghentikan perasaan yang saat ini mengoyak hatinya, memecah dadanya dan menghancurkan harapannya yang hanya secuil.
Begitu pun dengan Adam. Pria itu tertegun cukup lama mendengar penuturan dari gadis yang ingin dijadikan istri.
Mereka berbagi rasa sakit dalam diam, menikmati gejolak cinta yang akan sirna karena harta. Baik Adam atau Azizah, tidak ada yang bersuara, selain deru napas, isak tangis nan pilu dan remasan jemari di atas meja yang menjadi penyuara akan luka yang mereka rasa.
“Cengeng!” Naya kemudian berceletuk lagi.
Tubuhnya berputar, tangannya terangkat ke udara. Naya berseru di tengah kegelisahan yang melanda, “Bang, aku pesan jus jeruk dan bakso beranak, ya? Abang ini yang bayarin!” Dia menunjuk Adam.
“Oke, Siap, Dek!” balas pria dengan celemek di pinggangnya. Siapa yang peduli dengan rasa sakit dua insan ini?
Setelahnya, Naya kembali berbalik arah. Dia mengitari Azizah dan Adam bergantian melalui sorot mata, kemudian menggeleng kesal.
“Orang dewasa itu cengeng, ya? Aku kira, mereka akan lebih tegar saat menghadapi masalah. Tapi, malah enggak ada bedanya dengan siswi SMA yang putus cinta.”
Azizah merenggangkan tangannya yang sedari tadi menutup wajah, pun Adam yang mulai melirik Naya. Gadis muda itu manyun luar biasa. Dia meraih kerupuk kulit dari keranjang di depan Adam, merobek plastik dan mengunyah isinya dengan cepat.
“Kalau aku yang jadi Kak Azizah, aku pasti bantuin Pak Adam cari modal nikah, bukannya cuma duduk nuntut siang dan malam.” Naya mengomeli Azizah seraya menatap Adam. Lalu, berganti arah, dia melirik Azizah untuk membicarakan Adam . “Kalau aku jadi Pak Adam, mending aku mundur dari lama. Lagian, menikah kalau orangtuanya enggak sreg sama aku, sama saja melempar diri ke jurang. Bukannya selamat dan bahagia, yang ada mati pelan-pelan karena tersiksa.”
Naya berhenti sesaat, bibirnya komat kamit menguyah kerupuk kulit gurih dan renyah. “Kalau mau sama Pak Adam, Kak Azizah usaha juga. Ambil tabungannya, biar bisa beli emas untuk nikahan. Kalau cuma merengek begini, siswi SMA pun bisa!”
Celetukan Naya nyatanya menggores perasaan Azizah. Gadis itu buru-buru menarik tasnya dari meja, kemudian meninggalkan Naya dan Adam begitu saja.
“Zizah?”
“Enggak usah dipanggil, Pak. Memangnya Kak Zizah mau kemana? Pasti nungguin di dekat motor juga, tuh. Mending, Bapak duduk dulu, biar aku bantu cari solusinya!” Naya berkata seraya tersenyum.
Lengkungan di bibirnya memanjang saat pria muda datang membawa nampan berisi pesanannya. Satu gelas jus jeruk nan segar dan semangkuk bakso gendut yang mengepulkan asap tersaji, membuat manik mata Naya melebar cepat.
“Pak, mau dengerin aku, enggak? Aku punya cara buat Bapak dan Kak Zizah,” imbuhnya dengan senyum yang nakal.
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta
Toke Jaya menunggu dengan sabar. Pemuda yang baru saja kehilangan impiannya itu meringkuk tidak berdaya di atas sofa ruang kerjanya yang mulai kusam. Ekspresi Adam sudah menjelaskan semua hal yang ingin diketahui oleh Toke Jaya tanpa harus bertanya.Toke Jaya memilih menyesap lagi kopi hitamnya yang nikmat. Lalu, memandangi bergantian antara cangkir kopi dengan Adam yang diam di sofa.Di mata Toke Jaya, keduanya terlihat mirip. Bibir hitam Toke Jaya melengkung sesaat, telunjuknya mengitari bibir cangkir yang basah dengan cairan hitam beraroma pekat.“Kamu tahu, Dam ... nasibmu itu seperti kopi di mata orang yang tidak menyukai kopi.”Adam menoleh sejenak, setelah menemukan keberadaan Toke Jaya, dia kembali memejamkan mata. Ingin dirasakannya ketenangan dari apapun yang ada di sekitar, termasuk Toke Jaya sekalipun.“Kamu itu, ditolak, bukan berarti kamu buruk. Kalau orangnya tidak suka kopi, mau diceritakan nikmatnya segelas kopi p
Mereka terlibat dalam pertempuran sorot mata dalam hening. Baik itu Naya atau Adam sekalipun, sibuk memandang. Naya menyoroti Adam, sedang pemuda itu menjatuhkan pandangannya pada seorang pemuda nan gagah di belakang Azizah.Pemuda yang disebut oleh Toke Sofyan sebagai orang yang paling tepat untuk Azizahnya itu, kini hanya berjarak tiga meter darinya. Dia baru saja menuruni mobil pajero yang berharga fantastis, kemudian membukakan pintu untuk wanita yang berumur namun tetap terlihat menawan dalam balutan gamis gelap serta kerudung panjangnya.Wanita itu menggenggam satu tas mungil yang berkilauan saat binar matahari menimpa. Indah, dan tentunya menjelaskan stratanya kepada siapapun yang melihat.“Pak! Syarat apa yang Bapak terima dari ayah kemarin, huh?” cerocos Naya di tengah gemuruhnya dada Adam. Gadis itu tidak mau menunggu lebih lama, mengingat jika dia merasa dikhianati oleh Toke Jaya. Seharusnya, kemarin, saat keduanya berbicara
“Ayah!” Naya berseru begitu mendapati keanehan dari cara bicara Adam terhadap Toke Jaya.Gadis muda itu meringsek masuk, melewati Adam hingga berhadapan langsung dengan pria yang darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Naya mengangkat dagu, menatap balik paras tirus dari Toke Jaya tanpa rasa gentar sedikitpun.“Ayah harus jelasin ke aku!” tuntutnya.“Jelasin apa, Naya? Kamu ini ... sekolah saja yang benar, ya? Jangan mikirin urusan orang dewasa. Kalau sudah kuliah nanti, Ayah belikan mobil yang kamu mau. Sekarang, kamu keluar dulu!” balas Toke Jaya.Pria itu memutar paksa tubuh Naya walau gadis itu meronta. Baginya, pembiaraan nan rahasia antara dirinya dan Adam tidak boleh terdengar oleh siapapun, walau hanya seekor semut. Segalanya begitu rahasia dan harus dijaga agar tidak mengundang petaka.Toke Jaya mendorong pelan tubuh anak gadisnya melewati Adam, menyebabkan kaki gadis itu menggesek lantai hingga bunyi yang
Langit kebiruan di puncak kepala dua anak adam itu menandakan malam yang mulai menggantikan siang. Keduanya berjalan di antara selipan motor dan mobil yang berlomba-lomba mencapai sarang. Sesekali klakson beradu kencang, meminta kendaraan di depan agar terus bergerak.Naya begitu cekatan dengan tubuhnya yang terbiasa meliuk-meliuk saat meniru artis idolanya. Adam di belakang hanya memerhatikan gadis itu, memastikan Naya aman dalam jangkauan, meski pikiran Adam terus berkelana pada Azizah dan Teuku Idris. Dua insan yang akan mengikat janji suci di depan Rabbi dalam waktu dekat.Sesaat, pria itu berhenti berjalan. Meski Naya di depannya terus melangkah, Adam memutuskan untuk mengangkat wajahnya ke langit sedetik. Di atas sana, gumpalan awan berarak dalam jumlah besar, entah seluas apa jangkauannya, Adam tidak akan pernah mampu menghitung luasnya langit Sang Ilahi di atas sana. Namun, benarkah antara dirinya dan Azizah juga sejauh ini? Semuanya begitu sulit, rumit dan sak
“Contohnya aku! Ada aku yang suka Bapak, bahkan lebih dari Kak Azizah. Apa menurut Bapak akan ada gadis lain yang mengusahakan mahar untuk lelaki yang disukainya? Bahkan seratus mayam. Kalaupun ada, sudah pasti dia gila. Sama seperti aku, yang gila karena orang yang aku suka bodohnya sudah akut.” Naya terus meneriaki Adam tanpa henti.Saat itu, suara Azan melantun tinggi di langit. Orang-orang yang semula memerhatikan mereka, kembali sibuk mengejar waktu. Detik terus berlari dan waktu magrib semakin menipis. Tersisa Adam dan Naya di ruangan terbuka itu, terdiam untuk beberapa saat setelah Naya berteriak tentang perasaan dan kebodohan yang dipelihara oleh Adam.“Bapak jangan pernah berharap setelah hari ini aku akan bersikap baik, Pak. Aku nyesal sudah suka sama orang bodoh seperti Bapak. Sana! Kejar saja Kak Azizah sampai ayahnya memaki Bapak lagi. Perjuangkan saja cinta Bapak sendirian, di saat yang dilakukan Kak Azizah hanya pasrah dan menunggu. Harusnya, cinta itu diperjuangkan ber