Era menghentikan motornya di depan pagar yang menjulang tinggi. Dia menggigit bibirnya sambil berpikir. Apa dia harus masuk? Dengan cepat Era menggeleng dan segera menyalakan motornya. Dia tidak tahu kenapa bisa sampai di rumah Aksa. Seharusnya dia langsung pulang dan membantu Bu Asih.
"Mbak Era?" panggil satpam saat melihat Era yang akan pergi.
"Pak," sapa Era canggung.
"Mau jenguk Dek Bian ya, Mbak?"
Alis Era terangkat, "Jenguk? Bian sakit, Pak?"
"Loh, Mbak Era nggak tau? Udah dua hari Dek Bian sakit dan nggak masuk sekolah."
"Boleh saya masuk, Pak?" tanya Era pada akhirnya.
"Boleh, Mbak. Silahkan."
Pagar mulai terbuka dan Era masuk dengan mengendarai motornya. Dia khawatir tentu saja. Ini pertama kalinya Era mendengar jika Bian sakit sampai tidak masuk sekolah.
"Kenapa Pak Aksa nggak kabarin gue?" tanya Era pada dirinya sendiri.
Sekarang dia yakin jika Aksa memang benar marah padanya. Sudah tiga hari Era
Aksa duduk di sofa sambil memberikan daster dengan motif batik pada Era, baju milik ibunya. Entah sudah berapa banyak pakaian ibunya yang Era kenakan."Nggak capek?" tanya Aksa melirik Bian yang tidur di pangkuan Era."Capek sih, Pak, tapi nggak papa.""Bian kalau sakit memang manja." Aksa mengelus kepala anaknya sayang.Jujur, dia merasa lega saat Era memilih untuk menginap. Bukan tanpa alasan karena Bian sendiri tidak ingin terlepas dari Era. Bahkan dirinya yang merupakan seorang ayah tidak dianggap sama sekali."Bu Ratna ngapain ke Bandung, Pak. Kok nggak pulang?""Ada saudara yang lahiran.""Bu Ratna nggak tau kalo Bian sakit?" tanya Era lagi. Aksa hanya menggeleng sebagai jawaban."Kirain saya doang yang nggak dikasih kabar, ternyata Bu Ratna juga.""Kamu tau dari mana kalau Bian sakit?" tanya Aksa bingung.Era berdehem pelan, "Tadi saya ke sini.""Ngapain?""Mau ketemu Pak Aksa.""
Minggu pagi langit terlihat begitu cerah, secerah wajah Bian yang berdiri di samping mobil dengan tas kecil di punggungnya. Dia memainkan tanah dengan sepatunya. Sesekali matanya melirik ke arah pintu panti untuk menyambut Era."Pa, Kak Era lama. Panggil aja ya?""Sebentar lagi Kak Era keluar. Sabar ya." Aksa mengelus rambut Bian pelan.Bian mengangguk dan kembali berlarian sambil bermain tanah. Aksa sendiri memilih bersandar di mobil dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Dia sudah menghubungi Era sebelum berangkat, tapi sepertinya gadis itu belum siap. Sesuai janjinya, setelah Bian sembuh, Aksa berniat untuk mengajaknya jalan-jalan, bersama Era tentu saja. Kali ini Aksa tampak santai dengan kaos berkerah dan celana selutut. Terlihat nyaman karena akhirnya dia bisa terbebas dari setelan kemeja dan dasi yang selalu mencekik lehernya.Aksa tersenyum saat Era keluar dengan tas yang terlihat berat di tangannya. Sama seperti Bian, wajah ga
Pemandangan pantai yang indah membuat Era tersenyum tipis. Hatinya terasa campur aduk sekarang. Dia senang bisa melihat pantai, tapi juga sedih karena harus teringat akan ibunya. Seharusnya Era tidak boleh larut dalam kesedihan, tapi ia tidak bisa menahannya.Dia merindukan ibunya.Air laut yang menyentuh kakinya membuat Era bergerak mundur. Dia sibuk melamun sampai akhirnya berakhir di tepi pantai, meninggalkan Aksa dan Bian yang sedang berada di restoranseafood."Semoga Ibuk bahagia di atas sana," ucap Era dengan tersenyum.Tepukan pelan di bahunya membuat Era tersadar. Dia menoleh dan melihat Ezra sudah berada di belakangnya. Tubuh yang basah seolah membuktikan jika pria itu baru saja berenang di pantai."Lo di sini?" tanya Ezra sambil mengusap wajahnya yang basah."Kok lo ada di sini?" Era kembali bertanya."Liburan sama keluarga." Ezra menunjuk gazebo tempat di mana keluarganya berlindung dari panasnya mataha
Perasaan bisa mengalahkan logika. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Bergelut dengan pikirannya sendiri membuatnya lelah. Kepalanya sudah pusing karena memikirkan pekerjaan, jangan ditambah lagi dengan cinta. Dia sudah tidak bisa lagi untuk mengedepankan cinta. Namun takdir seolah memainkannya. Era berhasil membuatnya terusik. Selama beberapa hari terakhir ini Aksa berusaha mati-matian untuk mengeluarkan nama Era dari kepalanya. Dia berusaha menyangkal semuanya dengan logika jika ia dan Era tidak akan mungkin bersama. Aksa mencoba untuk berpikir realistis. Dia pikir setelah berusaha, nama Era akan lenyap dari pikirannya, tapi ternyata tidak. Melihat Era bersama Ezra membuatnya terusik. Rasa cemburu membuatnya lupa akan usia. Aksa sudah mengumpati dirinya sendiri tapi tetap saja, dia tidak bisa menahannya.Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengambil langkah dengan logika atau perasaan?"Ngelamunin apa, Sa?" tanya Bu Ratna sambil meletakkan sarapan di meja makan.
Malam akan tiba. Era sudah selesai mandi dengan pakaian Bu Ratna yang ia pinjam. Entah sudah berapa banyak baju yang ia pakai selama di sini. Mungkin Era harus memindahkan beberapa bajunya ke rumah ini."Sini, Bian. Duduk dulu." Bu Ratna berusaha untuk menggapai cucunya. Seperti tidak kenal lelah, Bian kembali berlarian dengan hanya menggunakan celana dalam.Bu Ratna berdecak dengan bedak tabur di tangannya, "Bian!" panggilnya kesal."Nggak mau pake bedak, Nek." Bian menggeleng cepat."Biar ganteng, Bian.""Nggak mau! Nanti diejek temen," ucapnya mulai keluar dari kamar."Gusti, remuk punggungku." Bu Ratna memegangi punggungnya yang mulai sakit."Sini, Buk. Biar aku yang urus." Era dengan cekatan mengambil pakaian Bian dan bedak dari tangan Bu Ratna."Makasih ya, Ra. Anak itu cuma mau nurut kalau sama kamu."Era terkekeh, "Kan aku pawangnya."Ruang tengah menjadi tujuan Era. Dari kejauhan dia bisa mendengar
Suara jari telunjuk yang beradu dengan meja makan menemani Aksa yang asik melamun. Setelah kepergian Era, entah kenapa hatinya mendadak tidak tenang. Dia merasa bodoh karena hanya dirinya sendiri yang merasakan hal ini. Bian masih duduk di sampingnya dengan ponsel yang memutar video kartun. Anak itu masih belum kenyang dan berniat menghabiskan satu ekor ikan, sedangkan ibunya duduk di depannya sambil mengupas buah."Buah masih banyak tapi Era nggak mau bawa," gumam Bu Ratna.Aksa masih melamun dengan tatapan kosong. Alisnya saling bertaut menandakan jika dia sedang memikirkan sesuatu sekarang.Perlahan Aksa mulai melirik Bian, "Bian mau ke panti nggak?" tanya Aksa tiba-tiba.Bian menatap ayahnya bingung, "Ngapain, Pa?""Main sama temen-temennya Kak Era.""Nggak. Besok Bian sekolah, nanti kecapekan nangis," ucap Bu Ratna menolak keras."Sekali-kali, Ma." Aksa menatap ibunya tenang, lebih tepatnya mencoba untuk tenang."Ngg
Usia 17 tahun adalah usia di mana manusia harus bisa mengambil keputusannya sendiri. Namun itu tidak berlaku untuk Aksa. Pemuda itu masih diam dengan rahang yang mengeras. Telinganya masih aktif mendengar ucapan keluarga besarnya yang seolah bisa mengatur apasajayangharusialakukan. Berkumpul bersama keluarga besar menjadi kegiatan rutin dan sering kali dilakukan. Pantai adalah destinasi utama keluarga Kusuma. Aksa senang bisa bermain dengan saudaranya,tapi dia juga bencisaatsemua orang mulai mengatur apa yang harus ia lakukan. Seperti saat ini, Aksa kembali dipaksa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aksa tidak mau karena setelah lulus dia ingin kuliah di negaranya sendiri. Omongan-omongan itu yang membuat orang tuanya mulai ikut memaksa. Mereka ingin Aksa yang melanjutkan perusahaan farmasi merekasuatuhari nanti. Sebagai penerus keluarga, orang tuanya hanya ingin yang terbaik. Apa yang b
Suasana kelas terasa begitu mencengkam. Ezra sedari tadi tidak berhenti untuk menggerutu. Bahkan meja yang tidak bersalah pun ikut ia tendang karena rasa kesalnya pada Aksa. Ezra memang pendiam saat baru pertama kali masuk sekolah, tapi siapa sangka jika pria itu juga memiliki sisi nakal sama seperti remaja lainnya."Kena kan lo? Lagian sok jago sih nantang Pak Aksa." Aldo duduk di meja sambil menikmati pentolnya."Kalo liat dia bawaannya kesel mulu.""Salah apa Pak Aksa sama lo?" Kali ini Era yang bertanya."Kesel aja, sok berkuasa banget."Lala mendengkus, "Dia emang berkuasa kali, Zra. Dia yang punya sekolah. Bego lu.""Kok lo betah sih deket sama Pak Aksa?" tanya Ezra pada Era."Bian yang bikin betah. Kalo Pak Aksa sih emang galak tapi nggak papa, suka kasih duit bensin soalnya." Era menyeringai."Cuma duit bensin, Ra."Era berdecak, "Udah dibilang gue utang budi sama keluarga Pak Wijaya.""Tetep aja dia