"Gak senang kenapa lagi, Bu? Soal si Mila itu biar dia tahu rasa akibat ulahnya sendiri!" kata Bapak.Sejak memergoki pertengkaran Mas Dasep dan Ibu Mertua di puskesmas kemarin, Bapak jadi mempercayai omongan Mas Dasep tentang kelakuan Mila selama ini. Dan sekarang, Bapak masih tak mau bertegur sapa dengan Mila karena merasa telah dibohongi dan dikecewakan."Kok, Bapak lebih membela Murni daripada Mila, anak kita sendiri?" balas Ibu.Mereka berdua berdebat, dan kami hanya bisa mendengarkan dengan perasaan tak nyaman."Ekhm."Bibi berdehem untuk memecah suasana. Sebagai pengganti orangtuaku, Bibi merasa harus melindungiku.Kami masih duduk berkumpul dalam satu karpet yang sama, dengan berbagai macam makan
Mataku tak sengaja tertuju pada Bibi yang mulai emosi. Dia menurunkan risoles yang dipegangnya dan tak jadi memakannya, lalu berkata pada Ibu Mertua."Maaf ya, saya terpaksa harus ikut campur di sini. Karena memerhatikan sikap Ibu pada Murni, saya jadi berpikir kalian lebih baik memang tinggal pisah rumah saja. Kalau serumah, nanti akan sering cekcok. Gak akan sehat untuk rumah tangga Dasep dan juga Murni," kata Bibi.Bapak Mertua melerai Bibi dan Ibu yang kini bersitegang.Jujur, hatiku lelah. Selalu dinilai salah oleh Ibu Mertua. Meski kutahu memang wataknya seperti itu, tapi tak dapat kubohongi kenyataan bahwa hatiku sudah sangat lelah menghadapi ibu mertuaku sendiri.Sementara itu, Mas Dasep berpindah duduk ke sampingku, menenangkanku yang mulai meneteskan air mata.
"Mur, kamu belum berangkat ke Balai Desa?"Tiba-tiba saja Bi Siti mengagetkanku yang sedang syok dengan status WA Mila.Bi Siti berdiri di depan warungku dengan memakai dandanan rapi dan juga menenteng tas."Ada apa ke Balai Desa, Bi?" tanyaku."Lho, memangnya kamu gak dapat undangan?"Aku mengernyit dan menggelengkan kepala sebagai jawaban."Undangan untuk para pelaku usaha kecil, hari ini dipersilakan datang ke Balai Desa untuk menerima bantuan modal dari pemerintah setempat. Kemarin Pak RT nyebar undangan kok, semua warga di sini yang punya usaha diundang, mau yang usahanya kecil sampai yang sudah maju pun dapat bantuan. Aku juga dapet," jelas Bi Siti.
"Iya, Mur. Bu RT dan Pak RT orangnya amanah. Gak mungkin dia melewatkan kamu," timpal yang lain.Aku hanya menghela napas. Bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka yang pikirannya dipenuhi prasangka?Akan sangat sulit memberitahu seseorang perihal kebenaran jika di hatinya sudah tertanam prasangka yang begitu kuat.Jadi, aku memilih diam."Kalau memang benar kamu tidak didata dan tidak diundang, kamu bisa melapor ke panitia di Balai Desa, Mur. Mungkin Bu RT atau Pak RT lupa," kata Bi Idah, yang lebih bijaksana menanggapi."Nanti akan saya coba tanyakan," jawabku.Sejenak, pembahasan tentang dana bantuan terhenti. Ibu-ibu itu kini pada duduk di bangku depan warungku sambil mengipasi wajah dengan
"Astaghfirulloh, jadi dataku diganti data Ayu, Mas? Jahat bener itu orang. Pantas saja tadi pagi aku juga lihat Ayu naik ojeg dengan berpakaian rapi, pasti dia ke Balai Desa. Tapi heran, Mas, warga di sini sangat percaya sama Bu RT, mereka malah nuduh aku fitnah waktu kuceritakan kalau aku gak diundang," kataku."Ya karena Bu RT kalau sama mereka baik, Mur. Tapi sama kita memang beda, sejak kamu buka warung. Dia gak suka lihat kita kaya, dan dia memang orangnya gak suka tersaingi. Lihat warungmu laris, dia takut kamu akan menyaingi kekayaannya."Mas Dasep bicara seolah itu bukan dirinya, baru kali ini kudengar suamiku membicarakan oranglain dengan begitu kesalnya. Biasanya, Mas Dasep masih bisa tenang saat membahas orang yang telah menjahati kami, tapi kali ini lain. Memang sih, yang dilakukan Bu RT itu sangat di luar batas, aku juga merasa marah sebenarnya.&
Pak RT pulang dengan memasang wajah marah. Sementara mas Dasep tak memedulikan, dia langsung mengajakku berangkat ke rumah Pak Tisna."Mas, apa tadi tidak berlebihan? Pak RT kan tidak bersalah, yang curang itu kan Bu RT-nya. Tapi, tadi Mas terkesan menyalahkan Pak RT loh. Padahal, Pak RT datang untuk meminta maaf. Apa kita gak kelewatan memperlakukan tamu yang datang dengan niat baik ke rumah kita?"Di tengah perjalanan, kucoba berbicara dengan suamiku. Sekedar untuk mengingatkannya agar tak terlalu terbawa emosi ketika berbicara dengan orang lain."Ya memang bukan Pak RT yang melakukannya, tapi dia tetap bertanggungjawab atas kecurangan ini. Apalagi yang melakukan itu istrinya, keluarganya. Gak bisa dengan hanya meminta maaf lalu masalah selesai. Tetap, kita harus mengadu ke panitia, itulah yang seharusnya kita lakuka
"Yang ke dua apa, Husni?"Bapak Mertua bertanya karena Husni tak melanjutkan perkataaannya. Dia malah terdiam seperti tengah menyiapkan mental.Bapak Mertua pun tampak mulai menahan emosi karena mendengar Husni ingin menceraikan Mila."Yang ke dua ... ka—karena ... ibuku di Jakarta telah menjodohkanku dengan wanita lain," lanjut Husni dengan terbata.Berbeda dengan tadi saat menjelaskan alasan pertama, kali ini Husni terlihat ketakutan saat menjelaskan alasan yang ke dua.Tentu saja, kami semua yang mendengar tak hanya syok, tapi juga marah. Bagaimana bisa mertuanya Mila menjodohkan Husni yang masih sah menjadi suami Mila?!Bapak Mertua memukul dinding di sampingnya, sementara Mas Dasep menahan nap
"Bagaimana kalau Bibi?" usul Mas Dasep."Gak mungkin, Mas. Bibi kan jualan di terminal, dia juga sibuk."Sambil terus memikirkan siapa kira-kira orang yang bisa dipercaya untuk membantu mengurus usahaku, aku dan Mas Dasep terus mengerjakan pesanan hingga tak terasa kini semuanya sudah selesai dibungkus.Mas Dasep mencuci wadah dan membereskan dapur yang berantakan, sementara aku menyapu lantai.Di saat menyapu, aku teringat dengan masa-masa dulu saat pertama pindah ke desa ini. Waktu itu jualan orangtuaku di terminal masih sepi. Kadang untuk mendapatkan uang jajan, sebelum berangkat dan sepulang sekolah, aku selalu mampir di warung nasi Bu Aisyah untuk menyapu lantai di sana, dan aku mendapatkan upah. Dari situlah aku bisa mendapatkan uang jajan.&nb