Share

4) Rumah Kebun

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2025-03-14 19:25:29

Bu Intan sudah membayangkan perjalanan ini akan berakhir dengan lebih dari sekadar obrolan basa-basi di dalam mobil. Ia sudah mengatur ritme, menciptakan atmosfer, dan kini Jovan begitu saja menyerahkannya pada seorang sopir?

“Jovan…” Bu Intan mengerjap, nada suaranya tetap anggun, meski ada tekanan halus di dalamnya.

Jovan tersenyum—terlalu manis, terlalu sopan, tapi juga terlalu tajam.

“Ini sudah larut,” ujarnya lembut. “Aku tidak ingin kamu kelelahan.”

Sebuah pukulan halus.

Bu Intan bisa merasakan pandangan beberapa orang yang masih berdiri di sekeliling mereka. Seolah menunggu bagaimana ia akan merespons.

Sekian detik, ia menatap Jovan, mencoba mencari celah. Tapi pria itu sudah terlalu jauh dari genggaman yang ia kira masih bisa ia kendalikan.

Lalu, dengan anggun—seperti seorang ratu yang memilih menerima permainan ini—Bu Intan tersenyum kecil dan mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu,” katanya, sebelum melangkah menuju mobil dengan percaya diri, seolah semua masih berada dalam kendalinya.

Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal.

Jovan bukan lagi pria yang bisa ia perlakukan sesuka hatinya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah megahnya, Bu Intan turun dengan gerakan anggun seperti biasanya.

Sebelum Rizal sempat berpamitan, Bu Intan menoleh dan dengan suara lembut namun tegas, berkata, “Rizal, boleh saya minta nomormu?”

Rizal agak terkejut, tapi tetap menjaga sikap. “Oh, tentu, Bu.” Dia segera menyebutkan nomornya, dan Bu Intan mencatatnya dengan tenang di ponselnya.

“Siapa tahu saya butuh bantuan,” katanya sambil tersenyum tipis.

Rizal hanya mengangguk sopan. “Siap, Bu. Kalau ada yang bisa saya bantu, tinggal hubungi aja.”

Bu Intan melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah yang tetap anggun, tapi pikirannya berantakan. Begitu tiba di kamarnya yang luas dan mewah, dia melepas perhiasannya satu per satu di depan cermin.

Pantulan dirinya menatap balik—seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan pesona, tapi hatinya entah kenapa terasa kosong.

Dia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang masih terbuka di kontak Rizal. Napasnya berat. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Untuk apa meminta nomor sopir travel itu? Untuk apa? Mau pesan mobil?

Bu Intan menyandarkan kepalanya ke bantal, menutup mata. Tapi bukan kantuk yang datang, melainkan perasaan getir yang menggigit. Malam ini dia merasa seperti bukan dirinya sendiri—atau justru, dia mulai menemukan sisi lain yang selama ini dia tekan dalam-dalam.

Begitu Rizal kembali dan duduk di kursi kemudi, Jovan langsung masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, suasana di dalam langsung berubah.

“Gimana, Bro? Lancar?” tanya Jovan sambil melonggarkan dasinya dan melepas jas mahalnya.

Rizal melirik lewat kaca spion tengah, terkekeh kecil. “Lancar, Bang. Tapi kayaknya Bu Intan masih nggak puas.”

Jovan mengangkat alis, lalu tertawa. “Udah gue tebak, orang kayak dia mana mau kehilangan momen.”

Mobil pun mulai melaju, meninggalkan gemerlap pesta di belakang mereka.

Jovan menyandarkan kepala ke sandaran kursi, tangannya dengan santai menepuk dashboard. “Serius gila juga Bu Intan itu.”

“Emang dia siapa sih, Bang?” tanya Rizal dengan nada bercanda.

Jovan mendengus sambil menggeleng. “Hanya tamu undangan yang cari tumpangan.”

Rizal tertawa pendek. “Saya aja sampe nahan ngakak, waktu dia gandeng abang, matanya kelihatan kayak menang lotre.”

Jovan ikut tertawa, kali ini lebih lepas. Di luar, ia bisa tampil anggun, penuh wibawa. Tapi di dalam mobil ini, dengan Rizal yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, dia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

“Ya udah, Gas! Laper gue. Cari makan dulu, dah,” ujar Jovan sambil membuka kancing kerahnya.

“Siap, Bang!” Rizal langsung membelokkan mobil, meninggalkan jalan utama menuju tempat makan langganan mereka.

Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, warung pecel lele pinggir jalan itu tetap ramai. Aroma ikan goreng dan sambal terasi bercampur dengan suara kendaraan yang melintas. Jovan dan Rizal duduk di bangku kayu panjang, masing-masing dengan sepiring nasi hangat dan lele goreng berlumur sambal.

“Gokil sih, Bang.” Rizal membuka obrolan sambil meniup nasi panasnya.

“Abang bukan cuma dapat penghargaan, tapi langsung ditarik jadi duta segala. Itu mah bukan naik kelas lagi, tapi nge-cheat!”

Jovan tertawa ringan. “Dibilang cheat juga kagak, ini hasil kerja keras, bro! Tapi iya sih, gue juga kaget waktu Pak Benny ngomong gitu.”

“Terus gimana tuh? Abang harus sering ke luar kota?” tanya Rizal sebelum menyuap sepotong lele ke mulutnya.

Jovan mengangguk. “Iya, gue sama dua orang lain bakal sering diajak buat motivasi petani di berbagai daerah. Kayak duta lah, tapi nggak resmi banget. Cuma ya, waktunya fleksibel, harus siap kapan aja dipanggil.”

Rizal mendengus. “Abang sih makin sibuk. Entar saya yang sering ditinggal kelabakan ngadepin emak-emak di kebon.”

Jovan terkekeh. “Udah resiko lu, bro. Saatnya emak-emak beralih perhatiannya sama lu!”

Mereka kembali makan dalam suasana santai. Sesekali Rizal mengomentari sambal yang pedasnya "nggak kira-kira," sementara Jovan hanya nyengir dan lanjut menyantap makanannya dengan lahap.

“Eh, tadi Pak Benny juga bilang satu hal lagi,” ujar Jovan setelah meneguk teh manisnya.

“Apa tuh?” Rizal melirik penasaran.

“Gue bakal jadi contoh buat petani tingkat kabupaten, terutama bertani terong ungu.”

Rizal menelan makanannya dengan cepat. “Mampus! Jadi abang bakal jadi ‘bapak terong’ di daerah ini?”

Jovan ngakak. “Bego lu! Tapi iya sih, proyek percontohan bakal dimulai dari tempat kita, dengan permodalan dari Deptan.”

Rizal menggeleng-geleng, lalu menepuk pundak Jovan. “Bangga saya punya abang sehebat ini.”

Jovan tersenyum. Malam itu, di warung pecel lele sederhana, mereka makan sambil tertawa—dua sahabat yang saling mendukung, meski dunia di luar sana semakin berubah.

Malam makin larut saat Jovan dan Rizal meninggalkan warung pecel lele, perut kenyang dan hati senang. Mobil melaju santai di jalanan menuju rumah kebun, angin malam masuk lewat jendela yang sedikit dibuka. Lagu lawas dari radio menemani perjalanan, menambah suasana yang adem.

Jovan menyalakan sebatang rokok, lalu menoleh ke Rizal yang fokus menyetir. “Eh, tadi Bu Intan nanya apa aja sama lu?” tanyanya dengan nada santai.

Rizal nyengir sambil tetap memegang kemudi. “Biasalah, Bang. Nanyain abang. Saya sih jawabnya simple aja, ‘Kurang tahu, Bu. Saya kan sopir travel.’ Hahahaha.”

Jovan tertawa lepas. “Good! Lu masih tetap dengan prosedur yang bener.”

Rizal melirik sebentar ke Jovan, masih nyengir. “Iyalah, Bang. Saya mah profesional. Jangan sampe ketahuan kalau lebih tahu banyak dari yang seharusnya. Lagian, kalo saya banyak ngomong, bisa-bisa malah saya yang ditaksir sama Bu Intan. Ngeri, Bang!”

Jovan ngakak. “Hahaha! Mampus lu kalau sampai kejadian!”

Mereka berdua tertawa puas.

Mobil melaju melewati area persawahan yang mulai gelap, hanya diterangi lampu mobil. Rizal mengganti saluran radio, mencari musik yang lebih asik. “Bang, serius nih sama proyek terong ungu?” tanyanya sambil menguap kecil.

Jovan mengangguk. “Serius, lah. Ini kesempatan bagus. Lagian, petani kita butuh contoh nyata kalau usaha keras bisa bikin hidup lebih baik.”

Rizal mengangguk setuju. “Yah, semoga aja sukses, Bang. Saya siap backup kalau butuh bantuan.”

Jovan menepuk bahu Rizal. “Mantap! Makanya, jangan cuma jadi sopir travel doang, lu harus naik level juga, hahahahaha.”

Rizal ikut ngakak, ingat Bu Intan yang dibohongi.

Malam semakin larut, tapi obrolan mereka masih asik. Perjalanan pulang ini bukan sekadar perjalanan biasa—ini perjalanan menuju kehidupan baru bagi Jovan, dan mungkin, bagi orang-orang di sekitarnya juga.

Mobil terus melaju, angin malam berhembus masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Jovan menghembuskan asap rokoknya ke luar, matanya menerawang ke jalanan sepi di depan.

“Oh iya, Zal. Besok lu cari pegawai lagi, buat ngegarap lahan yang lain,” katanya tiba-tiba. “Buat percontohan terong. Yang udah ada kita biarin aja, hanya butuh lebih diperhatikan. Tapi kita juga mesti buat yang mulai dari penyemaian, pembibitan, dan sebagainya.”

Rizal mengangguk mantap. “Siap, Bos! Saya besok langsung gerak. Mau cari yang model gimana, Bang? Anak-anak muda kampung kita atau yang udah pengalaman?”

Jovan berpikir sejenak, lalu menjawab, “Ambil yang campur. Yang muda biar belajar, yang senior buat ngebimbing.”

Rizal menyeringai. “Wih, cakep! Sekalian ngajarin anak muda buat cinta pertanian, ya?”

Jovan menepuk bahu Rizal dengan tawa kecil. “Ya, hitung-hitung kita bikin regenerasi. Nggak selamanya kita yang megang cangkul, Zal.”

Rizal tertawa. “Iya, Bang. Tapi jujur, saya masih nggak nyangka aja. Abang yang dulu sempat terpuruk entah karena apa, sekarang jadi orang penting di dunia pertanian. Keren, Bang.”

Jovan tersenyum samar, menatap jalanan dengan tatapan tajam. “Dunia itu berputar, Zal. Yang dulu di bawah bisa naik ke atas. Yang penting kita nggak lupa daratan.”

Rizal mengangguk, lalu memutar volume radio sedikit lebih keras. “Kalau gitu, besok kita mulai kerja lebih gila lagi, Bang!”

Jovan tertawa. “Mantap! Gaspol!”

Malam semakin larut, tapi semangat mereka justru semakin membara.

Rumah kebun Jovan berdiri anggun di perbukitan terpencil, menawarkan ketenangan dan kenyamanan. Udara sejuk berpadu dengan aroma tanah basah dan dedaunan hijau, menciptakan suasana asri yang menenangkan.

Bergaya tradisional dua lantai, rumah ini memadukan nuansa klasik dan modern. Dinding kayu jati kokoh dengan ukiran sederhana berpadu dengan atap genteng tanah liat yang hangat. Beranda luas mengelilingi lantai satu, tempat sempurna menikmati hamparan hijau sejauh mata memandang.

Di sekelilingnya, kebun sayur tumbuh subur, didominasi terong ungu, cabai merah, tomat, dan sawi hijau. Jalur batu alam menghubungkan rumah dengan petak kebun herbal, seperti kemangi dan daun bawang. Tak jauh dari sana, beberapa kolam ikan berisi lele, nila, dan ikan emas menjadi daya tarik tersendiri, dengan gemericik air pancuran kecil yang menambah ketenangan.

Meski alami, rumah ini tetap modern dengan WiFi cepat, CCTV, dan perabotan ergonomis. Balkon lantai dua menghadap ke bukit, menjadi tempat favorit Jovan untuk menulis dan merenung.

Saat malam tiba, cahaya lampu temaram berpadu dengan suara jangkrik dan kodok dari tepi kolam, menciptakan suasana damai yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sini, Jovan menemukan kebebasan untuk bermimpi dan membangun kembali hidupnya.

^*^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   50) Perubahan Besar (7)

    “Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   49) Perubahan Besar (6)

    “Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   48) Perubahan Besar (5)

    Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   47) Perubahan Besar (4)

    Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   46) Perubahan Besar (3)

    Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   45) Perubahan Besar (2)

    Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status