Hasrat Bukan Menantu Idaman

Hasrat Bukan Menantu Idaman

last updateLast Updated : 2025-04-09
By:  NDRA IRAWANOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
0 ratings. 0 reviews
50Chapters
1.0Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Hasrat Bukan Menantu Idaman Jovan bukanlah menantu yang diidamkan oleh keluarga istrinya. Sejak awal pernikahan, ia dihina, direndahkan, dan dianggap tak pantas berdampingan dengan Nayla. Namun, waktu mengubah segalanya. Tiga tahun berlalu, Jovan kembali—bukan sebagai pria terpuruk yang mereka usir, melainkan sebagai sosok yang berkuasa, dihormati, dan memikat. Bu Intan, yang dulu menolaknya mentah-mentah, kini tak bisa mengalihkan pandangannya. Ada daya tarik yang tak terbantahkan dalam diri Jovan—lelaki yang pernah ia hina, kini berdiri sejajar dengan orang-orang terpandang, dengan sorot mata penuh rahasia dan senyum yang mengundang bahaya. Apakah ini kesempatan Jovan untuk membalas dendam? Ataukah ia justru akan terjerat dalam permainan hasrat yang lebih berbahaya? Saat dendam dan godaan bertaut, batas antara balas sakit hati dan hasrat terlarang semakin kabur. Siapa yang akan jatuh lebih dalam—Jovan atau mereka yang dulu menganggapnya rendah?

View More

Chapter 1

1) Pergilah Mas

Denting garpu dan sendok beradu di atas piring porselen, menciptakan irama yang seharusnya menenangkan. Namun bagi Jovan, suasana di meja makan ini lebih menyerupai ruang interogasi daripada jamuan keluarga.

"Sudah lima tahun menikah, gajimu sebulan cuma segini?" Suara Bu Intan tajam, menusuk langsung ke dada.

Wanita paruh baya itu menatap lembaran slip gaji yang diletakkan begitu saja di meja, seolah itu hanya selembar kertas tak berharga.

Jovan mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terbiasa dengan sikap sinis ibu mertuanya, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih menyakitkan—rasa muak yang nyaris tak bisa ia bendung.

"Alhamdulillah, cukup untuk hidup layak, Bu," jawabnya, berusaha tetap tenang.

Bu Intan tertawa kecil, penuh ejekan. "Hidup layak untuk siapa? Untuk anak pejabat seperti putriku? Atau untuk dirimu sendiri?"

Wanita itu menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di depan dada, lalu menggeleng pelan.

"Kamu tahu kan, Jovan? Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pernikahan ini. Dan sekarang, kamu justru membuktikan bahwa kekhawatiranku benar."

"Bu—"

"Jangan menyela!"

Bentakan itu membuat ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin.

Jovan menahan napas. Dari sudut matanya, ia bisa melihat istrinya, Tania, duduk diam dengan wajah tertunduk. Jemari wanita itu menggenggam ujung serbet di pangkuannya—kebiasaannya saat gelisah. Namun, tetap saja, mulutnya terkunci rapat

“Kamu gak malu sama Kenzi, adiknya Tania?" lanjut Bu Intan. "Dia lelaki bertanggung jawab, baru dua tahun kerja sudah memiliki segalanya. Mobil, rumah, tabungan. Bulan madunya dengan Nayla bahkan ke Raja Ampat.”

Jovan mengeratkan rahangnya. Rasanya ingin tertawa. Perbandingan ini sudah terlalu sering ia dengar, dan tetap saja, setiap kali disebutkan, selalu menampar harga dirinya dengan cara yang berbeda.

"Hidup itu bukan cuma soal cukup," lanjut Bu Intan. "Putriku terbiasa dengan kemewahan, dalam standar hidup yang tinggi. Kamu pikir hanya dengan gaji karyawan BUMN, kamu bisa memenuhi semua itu?"

Hening.

Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela besar ruang makan. Atmosfer semakin berat.

Jovan menatap slip gaji yang masih tergeletak di meja, lalu mengangkat kepalanya. Tatapan matanya tak lagi setenang tadi. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya.

Ia menyandarkan tubuh, menatap langsung ke mata Bu Intan, lalu berkata dengan suara pelan, namun dingin.

"Maaf, Bu. Saya menikahi Tania, bukan rekeningnya."

Ruangan itu terasa membeku setelah kata-kata Jovan meluncur dari bibirnya.

Untuk pertama kalinya, Bu Intan terdiam. Sejenak saja, tapi cukup bagi Jovan untuk menikmati keterkejutan di wajah wanita itu.

Sial. Seharusnya dia tidak berkata seperti itu. Seharusnya dia tetap menjaga kepalanya tetap dingin. Tapi setelah bertahun-tahun menerima penghinaan yang sama, entah kenapa malam ini ada sesuatu yang membuatnya tak bisa lagi menelan semuanya bulat-bulat.

Tania akhirnya mengangkat wajahnya, tapi tatapan yang diberikan istrinya itu kosong—seolah ia baru menyadari bahwa suaminya juga memiliki batas kesabaran.

Bu Intan terkekeh pelan. Tapi kali ini, bukan tawa meremehkan seperti tadi. Ada sesuatu yang lebih tajam, lebih beracun.

"Astaga…" Suaranya lirih, berdenyut dengan kemarahan yang tertahan. "Jadi kamu sekarang berani bicara seperti ini, ya?"

Jovan tetap diam.

Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu tahu, Jovan? Kalau bukan karena cucu yang kamu berikan padaku, aku bahkan tak sudi melihatmu duduk di meja ini."

Tania tersentak, kedua tangannya langsung mengepal di atas pangkuan.

Jovan tidak bergerak, tetapi matanya berubah gelap.

"Kamu pikir, menikahi Tania itu cuma soal cinta? Hah?" Bu Intan semakin mendekat. "Dengar baik-baik, anak muda. Keluarga ini punya standar. Dan kalau kamu masih ingin bertahan di dalamnya, kamu harus tahu tempatmu."

Jovan menelan ludahnya. Darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Ia tahu, kalau ia membalas lebih jauh, ini bukan hanya pertengkaran antara dia dan ibu mertuanya. Ini bisa menghancurkan semuanya.

Ia melirik ke arah Tania, berharap istrinya akan berkata sesuatu. Apa pun.

Tapi yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.

Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca jendela. Di dalam ruangan ini, kehangatan terasa lebih mustahil daripada sebelumnya.

Dengan napas panjang, Jovan akhirnya berdiri. Kursinya bergeser sedikit ke belakang, menciptakan bunyi gesekan yang mengisi keheningan di meja makan.

"Terima kasih makan malamnya, Bu," katanya singkat. Suaranya datar.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik menatap Tania. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang pecah.

Dan yang paling menyakitkan bukanlah hinaan ibu mertuanya—tapi diamnya Tania.

Dada Jovan bergemuruh. “Tania?” Suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia maksudkan.

Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sendu, tapi bibirnya tetap terkunci rapat. Seperti ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tetapi akhirnya hanya tersangkut di tenggorokan. Balas menatap wajah suaminya dengan sorot yang sulit dijelaskan.

Bu Intan tersenyum miring, penuh kemenangan. “Lihat? Bahkan anakku pun mulai menyadari bahwa dia berhak mendapatkan yang lebih baik.”

Jovan menelan ludah. Ada bagian dari dirinya yang ingin membanting gelas di depannya, ingin berteriak bahwa ia lebih dari cukup, bahwa ia mampu memberi Tania kehidupan yang layak. Tapi ada bagian lain yang tahu bahwa ini bukan soal uang atau status.

Ini soal harga diri.

Dan malam ini, harga dirinya diinjak-injak di hadapan istrinya sendiri.

Dengan gerakan perlahan, Jovan meraih gelasnya, menyesap air putihnya dengan tenang. Ketika ia meletakkannya kembali ke meja, ia tersenyum tipis. Bukan senyum yang ramah, bukan pula senyum yang kalah.

Senyum itu—dingin, penuh arti.

“Terima kasih atas sarannya, Bu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang seharusnya. “Tapi aku pikir, aku akan tetap di sini. Dan kita lihat saja nanti… siapa yang akan menyesali keputusannya.”

Bu Intan menyipitkan mata, tampak tidak menyukai ketenangan Jovan.

Tapi Jovan tidak peduli. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu kembali menatap Tania dan berbisik, “Kalau kamu ingin aku pergi, katakan, Tania. Bukan ibumu.”

Tania tetap diam.

Jovan tersenyum kecil.

Baiklah, kalau begitu. Aku akan membuat kalian menyesal.

Jovan melangkah keluar. Suara hujan di luar semakin deras. Jantungnya berdentam keras di dada. Ia berdiri di ambang pintu dan sekali lagi berbalik. Menggeser pandangannya ke arah Tania, berharap sekali lagi.

“Tania, kalau kamu masih punya sedikit saja hati… jawab aku. Aku ini suamimu atau bukan?”

Kali ini, Tania menatapnya. Matanya basah, tapi bibirnya bergerak membentuk satu kata yang menghancurkan segalanya.

“Pergilah, Mas.”

Jovan menutup matanya sesaat.

Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Kata-kata Tania—pendek, datar, tapi mematikan—menghantamnya lebih keras dari seribu hinaan Bu Intan.

‘Pergilah, Mas.’

Jadi, begini akhirnya?

Lima tahun berjuang, lima tahun menelan setiap sindiran dan hinaan, lima tahun mengorbankan segalanya demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Semua itu ternyata tidak lebih dari satu kalimat singkat yang mengusirnya pergi.

Jovan menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin pecah di dalam dadanya. Hatinya terasa diremas, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya kuat-kuat, meremukkan setiap harapan yang tersisa.

Bukan karena hinaan mertuanya. Bukan karena dibanding-bandingkan dengan adik iparnya. Tapi karena perempuan yang selama ini ia cintai, yang seharusnya menjadi tempatnya pulang, memilih untuk tetap diam saat harga dirinya diinjak-injak.

Ia ingin tertawa. Ironis sekali. Ia pikir, di balik semua tekanan yang diberikan keluarga Tania, ada satu hal yang bisa ia pegang—cinta istrinya. Tapi ternyata, ia salah.

Tania tidak membelanya. Tidak menarik tangannya, tidak menentang ibunya, bahkan tidak sekadar berkata, "Jangan pergi."

Tidak ada.

Yang ada hanya satu kalimat singkat yang menamatkan segalanya.

Jovan menarik napas panjang, menatap mata istrinya untuk terakhir kali. Mencari sesuatu di sana—keraguan, penyesalan, keinginan untuk menarik kembali kata-kata yang telah terlanjur keluar.

Tapi tidak ada apa-apa di sana.

Hanya kesedihan yang samar. Dan itu tidak cukup.

Jovan menegakkan punggungnya. Rasa sakit masih mengguncangnya, mengalir seperti racun di dalam darahnya. Tapi ia menelannya bulat-bulat.

Baiklah, Tania. Jika itu maumu. Jika selama ini aku hanya beban. Jika aku tidak cukup baik untukmu. Maka aku akan pergi.

Setelah Jovan pergi, Tania tetap duduk di kursinya. Tangannya masih menggenggam serbet di pangkuan, tetapi kini jari-jarinya bergetar. Ia menatap piring di depannya, tapi makanan di sana terasa seperti benda asing—dingin, hambar, tak lagi menggugah selera.

Di dalam hatinya, ada sesuatu yang mencengkeram kuat, menciptakan perasaan hampa yang menyakitkan. Ia bisa merasakan tatapan ibunya yang penuh kemenangan, tetapi bukannya merasa lega, dadanya justru semakin sesak.

Tania menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang meluap-luap. Ia tahu bahwa keputusannya tadi telah memecahkan sesuatu—bukan hanya hati Jovan, tapi juga ikatan di antara mereka. Ia yang membiarkan itu terjadi. Ia yang membiarkan Jovan pergi dengan luka yang lebih dalam daripada yang seharusnya.

"Sudahlah, Tan. Lebih cepat kamu sadar, lebih baik," suara Bu Intan terdengar lembut, nyaris menenangkan.

Tania mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang berkilat karena air mata yang tertahan. "Apa Ibu bahagia sekarang?"

Bu Intan mendengus pelan. "Ini bukan soal bahagia atau tidak. Ini soal masa depanmu."

Masa depan. Kata itu terasa kosong bagi Tania saat ini. Bagaimana bisa ia memikirkan masa depan, ketika hatinya tertinggal di ambang pintu bersama pria yang baru saja pergi?

Tiba-tiba, dadanya terasa begitu penuh. Ia bangkit dengan cepat, hampir menjatuhkan kursinya, lalu melangkah keluar dari ruang makan. Ia tidak ingin ibunya melihat air mata yang akhirnya jatuh, tidak ingin siapa pun tahu bahwa dirinya sedang gemetar hebat.

Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di sana, tangannya menutupi mulutnya untuk meredam isakan yang akhirnya pecah.

Ia ingin memanggil Jovan. Ingin berlari menyusulnya.

Tapi semuanya sudah terlambat, bukan?

Dialah yang menyuruhnya pergi.

^*^

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
50 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status