LOGINTidak terasa, lima hari sudah terlewati semenjak Lira mendapat PR khusus untuk memperbaiki postur dan cara berjalannya di runway.
Setiap harinya, jadwal Lira sangat padat. Pagi pukul lima dia sudah terbangun karena Ringga menggebrak-gebrak pintu kamarnya dengan heboh demi mengajaknya olahraga di gym atau berenang di kolam mansion. Katanya olahraga ini wajib dilakukan agar Lira belajar tertib waktu sekaligus menaikkan massa ototnya.
“Walaupun kau kurus seperti papan, kau harus tetap olahraga. Berenang dan angkat beban cocok untuk membentuk lekuk tubuhmu!”
‘Nyenyenyenye, mulutnya mengoceh saja seperti monyet!’ Lira membatin kesal.
Belakangan dia sudah belajar untuk tidak sedikit-sedikit protes terang-terangan karena Ringga sekarang punya cara licik untuk membuat Lira kapok; yaitu memberinya hukuman angkat beban berlebih di gymnasium. Kalau tidak mau berakhir ngos-ngosan dan nyaris pingsan, Lira harus menuruti semua perintah Ringga.
Pagi pukul delapan, setelah sarapan penuh protein, Lira akan mulai belajar di runway sampai sore hari. Pada sesi ini, William biasanya pergi keluar untuk melakukan suatu urusan, sementara Lira terjebak di studio bersama Ringga.
“Perhatikan jalanmu, Lira! Seorang model tidak berjalan mengangkang seperti ini!” Ringga menepuk paha Lira agak keras, membuat gadis itu mengaduh kesakitan. “Satu tungkaimu harus berada di depan tungkai lainnya. Ikuti aku!”
“Hei, pandanganmu jangan turun! Memangnya kau ini mencari koin jatuh di jalan?”
“Tanganmu, astaga! Jangan diayun-ayunkan seperti robot! Biarkan dia jatuh dengan natural di sisi tubuhmu!”
“Dadamu harus sedikit terbuka! Jangan malu-malu seperti itu, memangnya sebesar apa payudaramu, hah? Kau membusung saja sudah pasti tidak kelihatan!”
Sialaaaannnn! Lira sudah kehilangan kesabaran, tetapi makian itu masih ditahan-tahan karena dia tidak mau merasakan neraka yang lebih parah lagi.
Pada malam harinya, saat tubuhnya sudah lelah, William yang baru pulang dari tempat antah berantah langsung menagih laporan tentang apa saja yang Lira pelajari siang tadi. Rasanya, seluruh otak Lira diperas dan tidak dibiarkan istirahat. Padahal mulanya dia bertekad menyusun strategi kabur, tetapi sekarang … rencana itu terlupakan begitu saja.
Lira tidak kuat bila harus hidup seperti ini, apalagi dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dia suka!
Keesokan harinya bahkan lebih parah. William tiba-tiba berkata bahwa hari ini dia akan melihat hasil latihan Lira. Kabar buruknya, sekarang perasaan William tampak tidak baik. Sejak turun dari tangga untuk sarapan, pria itu terlihat uring-uringan, persis seperti bos keji yang hendak mencari mangsa baru untuk ditindas.
Lira tidak berani untuk protes apa-apa. Malah sebenarnya dia merasa gelisah, sebab sejak beberapa hari lalu, latihannya dengan Ringga tidak berjalan mulus.
“Memang belum satu minggu, tapi aku ingin tahu sudah sebesar apa perubahan bocah ini di tanganmu,” William berkata pada Ringga saat mereka bertiga sudah ada di studio.
Ringga terlihat panik, tetapi berusaha tenang. Dia menatap Lira sejenak dan segera menyuruh gadis itu berjalan di panggung seperti biasa.
Dan, seperti yang sudah diduga, penampilan Lira tidak cukup membuat William puas. Masih ada terlalu banyak hal yang harus diperbaiki, terutama dari ekspresi dan postur yang masih terlihat kaku. William bahkan menyebut penampilan Lira tidak ada bedanya dengan saat pertama kali dia berjalan di runway.
Namun, bukannya menyemprot Lira seperti biasa, kali ini William melimpahkan semua kesalahan kepada Ringga.
“Tujuh hari,” desis William, “Aku memberimu tujuh hari untuk melatih anak kecil itu, tapi di hari kelima, dia masih juga belum menunjukkan peningkatan sedikit pun. Apa kau ini bodoh?”
“Ma-maaf, Tuan.” Ringga menunduk. Suara bergetar panik. “Ma-masih ada dua hari lagi, bukan? Saya janji akan membuat Lira lebih baik lagi!”
“Cukup,” cetus William. “Aku sudah terlalu banyak memberimu kesempatan, dan kau tetap saja menyia-nyiakannya, dasar bajingan tidak tahu diri. Kalau bukan karena aku yang menyelamatkanmu sepuluh tahun lalu, kau dan keluargamu itu masih jadi gelandangan yang mengorek makanan di tempat sampah.”
Ringga membungkuk begitu rendah sambil memohon. Apa yang dibicarakan William memang benar, dan kini dia merasa sangat malu dan tidak berguna.
“Tuan, maafkan saya. Saya janji akan bekerja lebih keras lagi.”
“Pergi dari sini, dan jangan pernah menunjukkan mukamu di hadapanku.”
“Ti-tidak! Tuan, saya mohon, jangan pecat saya! Saya punya keluarga yang harus diberi makan dan adik yang harus disekolahkan!”
Namun William tidak membalas apa pun. Dia menegakkan punggung, lalu berputar membelakangi asistennya. Langkahnya yang mantap bergerak mendekati pintu keluar studio.
Entah bagaimana, Lira tidak tega melihat situasi tersebut. Menurutnya, Ringga tidak harus dipermalukan sampai separah ini. Walaupun dia guru yang menyebalkan, setidaknya dia berusaha sebaik mungkin untuk mengajarnya. Lira-lah yang memang kurang becus dalam menerima latihan.
“Berhenti,” Tiba-tiba Lira berceletuk. Dia tidak tahu mengapa dirinya begitu berani menyelak di tengah situasi berapi-api begini. “Saya rasa Anda sudah keterlaluan.”
William, yang sejak pagi tadi suasana hatinya sudah buruk, kini menunjukkan ekspresi lebih ganas lagi. Dia berputar lagi kepada Lira, lalu mendekat sampai jaraknya dengan gadis itu hanya terpaut tiga puluh senti saja.
“Kau berani menegurku?” William menyeringai tipis. “Memang siapa kau?”
Lira tengadah pada William, memberanikan diri menatap mata kelabunya yang menjeritkan ancaman.
“Saya menegur karena merasa Anda sudah keterlaluan. Bukannya kita semua tahu intinya? Saya harus belajar lebih keras lagi supaya bisa memenuhi level kemampuan yang Anda inginkan, begitu kan? Tapi sedari tadi Anda hanya menindas asisten Anda dengan kata-kata kejam seperti itu. Bukankah ini sudah membuang banyak waktu yang harusnya saya pakai untuk belajar?”
“Kau….” William menyipitkan mata pada Lira. “Lancang sekali.”
Jantung Lira berdegup kencang. Menatap William sedekat ini, rasanya seperti berhadapan dengan badai yang siap berguncang. Harusnya dia membungkuk minta maaf dan langsung undur diri, tetapi gengsinya terlalu tinggi bila menyerah secepat ini. Dia tetap mendongak tertantang pada William, bahkan tergoda untuk melakukan lebih.
“Bukankah anjing liar memang sepatutnya seperti ini? Lancang, kasar, dan berani memberontak pada tuannya.” Suara Lira pecah dan gemetar di akhir, tetapi dia berusaha bersikap tenang.
“Kau sudah menganggap dirimu anjing liar, kalau begitu?” William mendengkus, tampak geli sekaligus jengkel.
Lira menelan ludah gugup, menahan amarah.
“Anjing liar tidak terlalu buruk. Mau tahu apa lagi yang bisa dilakukan anjing liar selain membantah perintah tuannya? Dia bisa berbalik menyerang dan menghabisi tuannya sampai hancur.”
Mendadak saja, kata-kata Lira membuat William terlempar ke masa lalu.
Tangan pria itu terkepal erat di sisi tubuh, sementara sulur-sulur kelam menyergapnya bagai petir; Kemarahan. Jeritan dan erangan. Lolongan tangis. Cipratan darah. Kematian.
Pria itu memejamkan mata dan langsung melengos dari Lira, secara kasar membentak gadis itu agar menyingkir;
“Pergi kalian berdua! CEPAT!”
Ringga terkesiap dan segera kabur dari tempat itu, sementara Lira justru menyadari ada sesuatu yang aneh terjadi pada pria ini.
“Anda kenapa?”
Punggung William gemetar seperti menahan emosi. Begitu tangan Lira menyentuh bahu William, pria itu menepisnya kelewat kasar.
Lira tersentak, namun tidak sampai sana, William tanpa aba-aba langsung berputar untuk menampar pipinya;
“KUBILANG PERGI DARI SINI!”
Tamparan itu begitu keras hingga Lira tersungkur ke lantai.
Dengan wajah terguncang, gadis itu mendongak pada William, yang kini menunjukkan ekspresi syok seolah-olah tidak menyangka dengan apa yang dilakukannya barusan.
Namun, semua sudah terlambat. Lira berdiri bangkit, bersamaan dengan desis gemetar yang lolos dari bibirnya;
“Aku sungguh membencimu!”
Dengan air mata menggenang di pelupuk, gadis itu berlari keluar dari studio.
Sementara William … hanya bisa mengepalkan tangan dan memaki, “Sial ….”[]
Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…
Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis
Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar
Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup
"Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu
Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m







