Beranda / Romansa / Hasrat Cinta Tuan William / 5. Beraninya Kau Memukul Dia

Share

5. Beraninya Kau Memukul Dia

Penulis: Dien Madaharsa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-16 17:54:59

Setelah kenyang dengan makanannya, William mengajak Lira ke studio runway yang kemarin sempat dimasukinya. Pagi ini, bukan mereka berdua saja penghuninya. Di sudut ruangan dekat panggung, ada seseorang yang sedang sibuk mengukur kain yang melekat di badan manekin.

Orang itu buru-buru berhenti bekerja dan menundukkan kepala pada William begitu mereka datang. 

“Selamat pagi, Tuan. Tampan sekali Anda pagi ini!” ujarnya sambil nyengir semangat. 

Lira mengerutkan kening melihat senyum di wajah pemuda flamboyan satu ini. Umurnya sangat muda, mungkin tidak begitu jauh dari Lira. Dibalut jas mewah dengan corak floral yang mencolok, suaranya riang dan sikapnya sangat percaya diri. Nyaris teatrikal. Dia melakukan banyak gerakan tidak penting saat berbicara, seperti menggerak-gerakkan tangan dengan berlebihan. Saat membuka mulut, lidahnya yang ditindik kelihatan. 

Belakangan baru ketahuan bahwa nama orang itu adalah Ringga. 

“Oh, siapa anak ini?” 

Ringga berpaling pada Lira. Alih-alih terkejut, ekspresi Ringga sama saja seperti para pelayan di rumah utama ketika pertama kali menatap Lira; raut bertanya-tanya, risih, seakan bingung antara ingin prihatin atau menertawakan. 

“Dia anak yang waktu itu kubicarakan,” kata William pendek, kemudian melangkah ke sisi lain ruangan, mengambil sesuatu dari dalam kabinet yang penuh dengan gulungan kain, kertas-kertas sketsa berserakan, juga peralatan jahit. 

Ringga mendelik terkejut, tetapi tidak berkata apa-apa. Sebelum Lira menanyakan apa maksud tatapan itu, William menyalurkan gaun yang kemarin kepadanya. 

“Pakai ini. Sudah kusesuaikan agar pas di tubuhmu,” katanya. 

Lira pergi ke balik tirai panggung untuk mengenakan gaun tersebut, yang kini—sesuai kata William—melekat sempurna di tubuhnya seakan sedari awal memang diciptakan untuknya. Padahal kemarin bagian dada dan pinggulnya terasa longgar, tapi entah bagaimana, hanya dalam satu malam, William sudah menyulapnya menjadi sedemikian presisi. Bila ada satu hal yang bisa Lira puji dengan tulus dari William, maka itu adalah kemampuannya. 

Saat Lira melangkah keluar dengan gaun itu, William menatap Lira tanpa memberikan komentar apa-apa. Sementara Ringga, hanya manggut-manggut sambil menggosok dagu. Tidak ketahuan apakah mereka berdua puas atau tidak. 

“Cobalah berjalan mengitari panggung ini,” William memerintah lagi, kemudian Lira melakukannya meski hatinya menjerit jengkel. 

Langkah Lira terasa canggung dan kaku. Tidak sekali dua kali dia hampir tersandung gaunnya sendiri. Ketidaknyamanannya terpancar dari gerakan tangannya yang mengayun terlalu lebar dan ekspresi wajahnya yang tegang. William menyuruhnya berhenti dan langsung mengkritik Lira habis-habisan. 

Gadis itu menahan diri untuk tidak mengutuk. Sebagai gantinya, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Lira kira penderitaannya akan usai sebentar lagi, tetapi ternyata setelah kritik dari William, si asisten bernama Ringga itu malah ikut-ikut ambil bagian. 

“Oh, astaga! Sekadar jalan saja kau berantakan. Bahkan robot pun punya langkah yang lebih bagus darimu!” Tidak sampai sana, Ringga menghampiri Lira seraya menatapnya sengit dari atas sampai bawah. “Benar-benar kampungan. Aku heran kenapa dari sekian banyak gadis muda di luar sana, Tuan William malah memungut anak yang seperti anjing liar ini.” 

Tidak tahan lagi, Lira akhirnya membalas hinaan itu, “Lebih baik menjadi anjing liar yang berkeliaran bebas dibanding jadi anjing rumahan yang cuma bisa menjilat di hadapan tuannya.” Lalu Lira menekankan kalimat akhir, “Dasar kau banci.”

Ringga menatap Lira seakan tidak habis pikir. “A-apa kau bilang?”

“Satu lagi, ternyata selain jadi banci penjilat, kau juga tuli.”

Amarah Ringga naik sampai ubun-ubun. Ditelan kalap, pemuda itu langsung mengayunkan tamparan pada Lira. Gadis itu memejamkan mata, tidak sempat mengelak. Dia pikir dia akan merasakan sengatan perih di pipinya, tetapi setelah ditunggu beberapa lama, rasa sakit itu tidak muncul. 

Lira membuka mata dan mendapati William menahan pukulan Ringga. 

“Beraninya kau mau memukul anak ini,” kata William. Rautnya menggelap beberapa tingkat, seakan sudah siap menerkam. “Selain jadi anjing penjilat yang tuli, kau mau menambah gelar sebagai perundung menyebalkan, ya?” 

Ringga melongo ketakutan mendengar hal itu. Begitu William melepas tangannya, Ringga langsung membungkuk sambil gemetaran. 

“Ma-maaf, Tuan! Saya tidak bermaksud kasar! Tadi saya hampir khilaf saja!”

Lira hanya bisa menatap pemandangan itu dengan berlapis perasaan campur aduk. Puas karena menurutnya Ringga berhak mendapatkan hukuman itu, dan senang karena William setuju dengan pendapatnya mengenai anjing penjilat. Meskipun itu tidak mengurangi kebencian Lira pada William, setidaknya untuk momen singkat tadi dia merasa seperti dipedulikan. 

“Kau, anak kecil,” William tiba-tiba berceletuk. “PR-mu masih banyak. Bila dalam satu minggu kedepan kau tidak menunjukkan perubahan berarti dalam langkah dan sikapmu di panggung, aku juga akan memberimu hukuman yang pantas.”

Lira megap-megap tak tahu harus bicara apa. Mengapa dia juga terseret? 

“Dan kau, Ringga.” William menuding Ringga dengan telunjuknya. “Kuberi kau tanggung jawab untuk melatihnya sampai dia layak berjalan di runway. Kalau sampai menyeleweng dari tugas ini, akan kupastikan kau menyesal sudah menghabiskan 10 tahun hidupmu menjadi bawahanku.”

Rasanya Ringga seperti terkena serangan jantung. Dia menatap Lira dengan raut pucat, perlahan-lahan menunjukkan rasa bencinya berkali lipat dari sebelumnya. Lira yang menangkap ekspresi itu tidak mengatakan apa-apa selain balas menatapnya dengan dingin. 

Mulai detik ini, Lira tahu dia memiliki musuh baru untuk ditaklukkan.[] 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Cinta Tuan William   73. Tawa di Dalam Kamar Rumah Sakit

    Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…

  • Hasrat Cinta Tuan William   72. Berikan Aku Seorang Cucu

    Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis

  • Hasrat Cinta Tuan William   71. Berjuang Kembali Hidup

    Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar

  • Hasrat Cinta Tuan William   70. Gelap Menelan Semuanya

    Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup

  • Hasrat Cinta Tuan William   69. Lebih Baik Kau Mati

    "Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu

  • Hasrat Cinta Tuan William   68. Kita Temukan Bajingan Itu

    Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status