LOGINLira mematut wajah lesunya di kaca kamar mandi sambil membuang napas berat. Disentuhnya luka goresan di pipi kirinya yang diakibatkan dari tamparan William beberapa menit lalu, selagi bertanya-tanya apa yang telah merasuki pria itu. Sikapnya berbeda. Bila di hari biasa dia selalu kasar dan bermulut tajam, tadi pagi dia malah seperti hilang akal.
Apakah jangan-jangan pria satu ini memang psikopat?
Ah, sudahlah. Apa pun yang terjadi pada William, itu bukan urusan Lira.
Diilhami keyakinan itu, Lira memutuskan untuk kembali tegar menghadapi nasib. Dia memutar keran untuk mencuci tangan, kemudian keluar dari kamar mandi studio. Langkahnya mendadak terhenti karena Ringga berdiri memblokir jalannya.
“Hei,” kata Ringga, terdengar lebih lembut, tidak seperti biasanya. “Coba sini lihat wajahmu.”
Ringga mencondong sebentar pada Lira untuk memeriksa luka gores di pipinya.
“Selain badan, wajah juga merupakan aset utama bagi seorang model. Kau tidak boleh terluka, bahkan goresan sekecil ini saja dilarang.”
“Aku tidak berniat melukai diriku sendiri. Kau kan tahu siapa yang melakukannya.”
Ringga menjauhkan sentuhannya di wajah Lira. Ekspresinya mengatakan bahwa dia sudah tahu dan bisa menebak asal-usul semua kekacauan ini. Lira pikir, kali ini Ringga akan kembali memarahinya karena telah bersikap lancang di hadapan William. Akan tetapi, pemuda satu itu malah membuang napas dan mengendurkan bahunya.
“Kita obati dulu luka di pipimu. Ayo ikut.”
Aneh. Lira mulanya menganggap Ringga sebagai musuh ketiga dalam hidupnya setelah ayahnya sendiri dan juga William. Namun ternyata dugaan itu pupus tatkala Ringga mengajak Lira duduk di tepi air mancur taman, menyuruhnya diam sebentar sementara Ringga membubuhi luka Lira dengan salep.
“Untung aku bawa salep ini setiap hari. Ini ampuh untuk menyembuhkan dan memulihkan luka di kulit,” kata Ringga.
“Kau bawa itu untuk jaga-jaga kalau suatu saat Tuan William memukul wajahmu, ya?”
Ringga tertawa. “Tidak juga. Ini memang kebiasaanku sejak dulu.”
Lira tersenyum tipis. Ringga kemudian berceletuk lagi, “Omong-omong, terima kasih.”
“Untuk?”
“Karena sudah membelaku di hadapan Tuan William.” Kali ini ketulusan Ringga terpancar jelas di wajahnya yang biasanya cemberut. Lira yang menyadari hal itu ikut nyengir, tidak menyangka bahwa Ringga bisa juga mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Aku tidak membelamu. Aku hanya sebal saja dengan sikapnya yang seenaknya itu,” ujar Lira.
“Tapi kau sungguh berani, tahu tidak? Selama ini belum ada orang yang nekat menyembur Tuan William seperti itu. Kau satu-satunya!”
Lira tertawa. “Masa sih? Dia pasti pernah dibentak orang tua sendiri. Tidak mungkin dia bersikap kasar kalau sendirinya tidak pernah dikasari.”
“Oh, ya? Kau bicara seolah-olah kau sendiri punya pengalaman sama!”
Lira tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, dia mengiyakan komentar Ringga.
“Omong-omong,” kata Ringga, “lain kali jangan terlalu mencari gara-gara di hadapan Tuan William. Kalau suatu ketika dia kelepasan lagi, bukan mustahil kau dapat luka yang lebih parah.”
Lira mengembuskan napas. “Melihat sifat iblisnya, kurasa aku punya julukan yang tepat untuknya.”
Ringga menaikkan alis penasaran. “Apa?”
Kemudian Lira mencondong di telinga Ringga dan membisikkan pikirannya, “Anjing gila.”
Ringga tergelak sampai melempar kepalanya ke belakang. Lira juga tertawa tak kalah heboh. Mendadak saja, mereka berdua melupakan hubungan permusuhan yang sebelum ini bergelora.
“Astaga, harus kuakui, julukan itu cocok juga. Kau anjing liar, dan dia anjing gila.”
“Yang benar saja? Aku tidak suka dipanggil anjing liar, tahu!”
Ringga tertawa selagi memutar tutup salep di tangganya. Baru saja dia ingin melemparkan candaan lain kepada Lira, tiba-tiba dia mematung, lalu dengan cepat berdiri.
“Tu-tuan William!”
Panggilan itu membuat Lira ikut membeku, lalu dengan cepat menoleh. Dia terkejut saat mendapati ekspresi William sangat gelap dan … seakan begitu marah.
Gawat … apa jangan-jangan pria itu mendengar perbincangannya tadi bersama Ringga?
Tapi kemudian, ekspresi Lira berubah kecut. Jelas-jelas dia yang terkena tamparan, kenapa dia harus takut kepada William? Pria itu memang anjing gila, ‘kan!?
Di saat ini, Ringga menyadari sikap Lira yang terkesan menantang. Dengan frustrasi, Ringga mengulurkan tangannya ke puncak kepala Lira lalu memaksa gadis itu agar ikut menunduk.
“Ma-maaf, Tuan! Kami tidak bermaksud―”
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?”
“Eh?”
Ringga mendongak lagi, menyelidiki raut wajah William yang sekarang berubah datar. Rupanya, tuan besar satu ini tidak mendengar obrolan barusan.
“Ka-kami hanya mengobrol saja, Tuan.”
“Pergi.”
“Hah? Bagaimana Tuan?” Jantung Ringga berdegup. Apa dia dipecat?
Kemudian William menghardik tanpa ampun, “Kalau kau masih mau menikmati bekerja sebagai asisten, turuti perintahku sekarang juga; pergi dari rumah ini. Sekarang!”
“B-BAIK, TUAN!” Kalang-kabut, Ringga menyingkir dari air mancur taman. Saking paniknya dia tidak sempat mengucapkan pamit kepada Lira di sampingnya.
Setelah kepergian Ringga, kini tinggal Lira dan William saja.
Kebenciannya terhadap sang tuan besar masih membengkak, sehingga gadis itu tidak repot-repot menyembunyikan raut penyesalan dan pemujaan seperti yang dilakukan Ringga tadi. Sebagai gantinya, Lira memberikan tampang provokatif seakan hendak mengajak perang.
“Kemari kau,” perintah William.
Harusnya Lira mengabaikan perintahnya. Harusnya begitu. Tapi―sialan, kenapa kakinya malah maju dengan sendirinya?
Lira bertanya dengan nada lirih. “Ada apa?”
“Kau tidak berhak melakukan itu di hadapanku.”
Kening Lira mengernyit. “Apa maksud Tuan?”
Nyaris seketika, William mencengkeram lengan kanannya dengan erat sampai-sampai Lira menjerit kesakitan.
“Le-lepaskan!”
“Aku mengharapkan kau merenungi perbuatanmu karena kesalahan di studio tadi, tapi apa yang kau lakukan? Bermain mata dan cekikikan girang dengan asisten tidak tahu diri itu? Sudah berani menjadi jalang penggoda, rupanya?”
“Apa? Saya tidak bermaksud seperti itu―aakhh! Lepaskan dulu, Tuan! Sakit!”
“Kau harus mengerti posisimu. Apakah kau lupa siapa tuan di rumah ini?”
Mengabaikan seruan kesakitan Lira, William menyeret gadis itu ke sebuah rumah kaca yang terletak tidak jauh dari air mancur taman. Lira berusaha melepaskan cengkeramannya, tetapi tenaga William terlampau kuat. Gadis itu memekik saat William membanting tubuhnya ke dinding kaca.
“Makhluk kecil kurang ajar,” William menahan kedua pundak Lira di dinding. Suaranya sedingin lautan yang membeku. “Apa kau tidak ingat apa yang sering kukatakan kepadamu berulang-ulang?”
Jantung Lira berdegup karena rasa takut yang meradang. Dia menatap William dan berbicara lirih, “Tuan, ini salah paham … saya tidak bermaksud seperti itu!”
Kemudian William mencengkeram leher Lira, setengah mencekiknya. Gadis itu tersentak, berusaha memberontak, tetapi William malah semakin menahan lehernya.
“Jangan tampakkan senyummu itu kepada orang selain aku.”
Lira merengek sambil menggeleng.
“Sakit, Tuan … tolong lepas ….”
“Kau milikku, sekali lagi kukatakan padamu,” kata William, menekan telinga Lira dengan bibirnya. “Sekarang akan kuberitahu apa artinya menjadi milikku.”
Kemudian Lira merasakan jarak di antara mereka terpangkas sepenuhnya. Aroma parfum William dan hangat napasnya berbaur dalam mulut Lira yang dipaksa membuka.[]
Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…
Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis
Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar
Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup
"Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu
Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m







