LOGINPagi itu Lira terbangun dengan perasaan yang ringan, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak kebakaran studio Averi mengaburkan hari-hari mereka. Cahaya matahari menyelinap lewat sela tirai, jatuh lembut di lantai kamar. Untuk sesaat, ia hanya berbaring, mendengarkan rumah bernapas—langkah pelayan di kejauhan, denting peralatan dapur yang samar.Ketukan pelan terdengar di pintu.“Masuk,” ucap Lira.Annalise muncul dengan senyum hangat yang khas. “Selamat pagi, Nona.”“Pagi, Annalise.” Lira bangkit setengah duduk. “Ada apa?”Annalise menutup pintu perlahan, lalu mendekat. “Saya hanya ingin mengingatkan… lusa adalah ulang tahun Tuan William.”Lira terpaku sesaat. “Lusa?”Annalise mengangguk. “Beliau jarang merayakannya. Bahkan sering lupa. Tapi saya pikir… tahun ini berbeda.”Mata Lira berbinar. Beban di dadanya seolah tersingkap sedikit. “Aku ingin menyiapkan sesuatu,” katanya cepat, hampir berbisik. “Sebuah kejutan. Yang sederhana, tapi hangat.”Senyum Annalise melebar, ada kilat haru di
Televisi di ruang keluarga menyala tanpa suara, tetapi gambar-gambarnya cukup untuk menusuk siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Api menjilat dinding studio Averi. Asap hitam membumbung, merobek langit seperti luka yang tak sempat dijahit. Judul besar berlari di bagian bawah layar: STUDIO RESMI AVERI TERBAKAR — POLISI SELIDIKI PENYEBAB.William berdiri membelakangi layar, kedua tangannya menekan tepi meja kerja. Bahunya tegang, punggungnya lurus—terlalu lurus untuk seseorang yang sedang runtuh.“Belum ada kesimpulan,” suara pembawa berita terdengar samar. “Namun pihak kepolisian menduga adanya unsur kesengajaan—”Klik.William mematikan televisi.Ruangan mendadak sunyi. Sunyi yang berat, seperti ada sesuatu yang runtuh perlahan di dalam dada. Ia menunduk, napasnya tertahan, lalu dihembuskan pelan—seakan takut udara pun bisa memecahkan sesuatu yang rapuh.“Will,” suara Lira datang hati-hati dari belakang. “Kau… mau minum sesuatu?”William tidak menoleh. “Tidak.”Nada itu pendek, din
Pagi itu studio latihan dipenuhi cahaya putih yang jatuh dari jendela tinggi. Lira berdiri di tengah ruangan, menarik napas panjang, lalu melangkah. Gerakannya mantap, bahunya tegak, tatapannya tidak lagi ragu seperti beberapa bulan lalu.Ringga memperhatikannya dari sudut ruangan, tangan bersedekap.“Cukup,” katanya akhirnya. “Istirahat sepuluh menit.”Lira tersenyum kecil. Ia mengambil handuk, menyeka peluh di pelipisnya, lalu duduk di lantai kayu yang dingin. Ringga menghampiri, kali ini tanpa wajah galak yang biasanya.“Belakangan kau jauh lebih stabil,” ucapnya. “Aku bahkan tidak perlu bentak-bentak lagi.”“Itu pujian, kan?” Lira terkekeh.Ringga mendengus. Lalu, tanpa basa-basi, ia bertanya, “Kau ada hubungan apa dengan Tuan William?”Handuk di tangan Lira berhenti bergerak.Ia menoleh. Tidak ada tuduhan di wajah Ringga. Hanya pengamatan tajam."Eh... apa maksudmu?""Jangan bohong," sergah Ringga. "Seluruh orang di mansion sudah bisa menduga kau ini ada apa-apa dengan Tuan Willi
Pagi datang dengan cahaya tipis yang menyelinap di sela tirai.Lira terbangun dalam keheningan yang asing. Tubuhnya hangat, terlalu hangat untuk ukuran tidurnya sendiri. Saat ia bergerak sedikit, ia menyadari sesuatu—ia berada di dalam pelukan seseorang.William.Lengan pria itu melingkar longgar di pinggangnya, napasnya teratur, dadanya naik turun perlahan. Seprai kusut, bantal terlempar ke lantai, gaun tidur Lira tergeletak sembarangan di kursi.Kesadaran itu menghantam Lira pelan… lalu keras.Dia benar-benar melakukannya semalam... dengan William.Dadanya mengencang. Bukan karena penyesalan—melainkan karena rasa tak percaya. Ada gugup, ada malu, ada bahagia yang mengalir bersamaan dan membuat matanya panas.Ia menatap wajah William dari jarak sedekat ini. Garis rahang tegas itu terlihat lebih lembut saat tertidur. Tidak ada aura dingin, tidak ada tatapan tajam—hanya seorang pria yang kelelahan dan akhirnya menemukan tenangnya.William bergerak. Matanya terbuka perlahan.Tatapan mer
William dan Lira berbaring di ranjang yang sama.Lampu tidur menyala redup, menyisakan cahaya keemasan yang lembut. Lira menyandarkan kepala di lengan William, tubuhnya menghadap dada pria itu. William mengusap rambut Lira perlahan, gerakannya nyaris mekanis—seperti kebiasaan lama yang muncul tanpa disadari.Lira belum memejamkan mata.Di dalam dadanya, ada gelisah yang berputar-putar, tidak mau diam. Ada rasa hangat karena berada di dekat William, tapi juga perih yang tak bisa ia jelaskan. Nama Silvana masih bergema di kepalanya, seperti bayangan yang tak mau pergi.Dalam kesunyian itu, Lira akhirnya membuka suara.“Will…”“Hm?”“Maukah kau menceritakan sedikit kisahmu padaku?”William terdiam. Jarinya berhenti sesaat di rambut Lira, lalu kembali mengusap pelan.“Kisah yang mana?” tanyanya hati-hati.Lira menelan ludah. “Tentang Nyonya Silvana. Aku ingin tahu… bagaimana kalian bertemu.”Kalimat itu keluar dengan susah payah. Ada sakit yang menyelip di sela-selanya—seperti mengorek lu
Gelap menutup mata William.Tapi tidur tidak pernah benar-benar datang dengan ramah.Ia kembali berada di dalam mobil itu—malam hujan, lampu jalan berpendar buram, wiper bergerak terlalu cepat, terlalu panik. Tangannya mencengkeram setir. Di sampingnya, Silvana tampak gelisah, berbicara tentang hal-hal kecil yang tak lagi bisa ia ingat utuh.“Pelan sedikit, Will,” suara itu berkata. "Kita bisa melewatinya. Kau harus tenang.""Aku tidak...." "Will...." Mata Silvana. Putus asa, seolah dia tahu sesuatu. Mobil bergerak tidak stabil dan kegelapan di luar sana mencengkeram seperti bayangan berhantu. "Will, kau tidak boleh panik. Itu hanya suara petir.""Jalanan tidak terlihat, Silvana—kita harus menepi....""Will, sebaiknya kita—"Lalu semuanya terjadi terlalu cepat.Cahaya menyilaukan. Suara rem menjerit. Benturan keras yang membuat dunia terbalik.“WILLIAM—!”Dalam kegelapan, bunti dengih mesin dan aroma besi menguar kuat. William membuka mata perlahan dan menoleh ke samping....Silvana







