“Selamat pagi, menantu Mama yang cantik. Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?” Salma yang sedang sibuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, menyambut kedatangan Falisha di ruang makan dengan hangat.
“Mama ini gimana, sih? Falisha sama Arka baru kemarin menikah, mana mungkin malam pertama mereka tidur dengan nyenyak? Pastinya kan yaaa ... Mama tahu sendiri, lah. Kayak enggak pernah muda aja,” timpal Wilis yang duduk di salah satu kursi meja makan dengan koran terbuka lebar di tangan.
Salma cekikikan. “Papa betul juga. Mama lupa.”
“Yaaah, namanya juga orang tua. Gimana enggak pelupa?” timpal Wilis dengan kacamata sedikit melorot.
Falisha hanya menanggapi dengan senyum simpul. Bagaimanapun, dia masih teringat betul akan kalimat yang diucapkan Arka kemarin, saat belum lama tiba di rumah yang kini menjadi tempatnya bernaung.
“Yang penting kan Mama enggak pernah lupa kalau Papa itu suami tercintanya Mama.” Salma terkekeh seraya mendekati Falisha dan menariknya menuju meja makan. “Karena pagi ini adalah hari pertama kamu di sini, enggak apa-apa, kamu duduk aja dulu. Besok-besok, kamu baru belajar jadi istri yang baik untuk Arka pas Mama sama Papa keluar kota. Kamu bisa tanya-tanya sama Bi Atik dan Nia tentang kebiasaan Arka, apa makanan kesukaannya dan lain-lain.”
Usai Salma mengucap kalimat panjang, terlihat Arsya muncul di ruang makan dan mengambil posisi duduk di dekat Wilis.
“Nah, kamu juga bisa tanya-tanya Arsya, tentang kebiasaan-kebiasaan Arka. Lama-lama kamu akan hafal dengan sendirinya kalau udah terbiasa melayani suami kamu.” Salma menambahkan sambil melempar pandang ke arah anak keduanya.
“Kebiasaan-kebiasaanku enggak ditanya?” celetuk Arsya dengan asal.
“Heh, kamu! Kan ada Bi Atik sama Nia yang melayani kamu. Awas, ya, kalau kamu berani macem-macem sama kakak ipar kamu, Mama sentil nanti telinga kamu!” Salma mengancam.
Arsya terkekeh kecil. “Tenang aja, Ma. Enggak akan macem-macem, cukup satu macem aja, kok.”
Wilis mendecak sembari menggeleng. “Jangan heran sama kelakuan Arsya, ya. Dia memang suka bercanda. Kalau kamu lagi suntuk, bolehlah ngobrol sama dia, anggap aja adik kamu sendiri.”
“Bener kata Papa.” Salma mengangguk-angguk. “Arsya anaknya juga asyik, loh.”
Mendengar basa-basi di sekitar hanya membuat Falisha mengulas senyum tipis. Bagaimanapun, tinggal di kediaman keluarga Arka adalah tantangan terbesar baginya. Tidak ada yang Falisha pikirkan saat ini, selain bagaimana caranya mengambil hati Arka, menaklukkan lelaki pujaan hatinya tersebut supaya bisa membalas cintanya dengan sepenuh hati dan tidak lagi memperlakukannya dengan sikap dingin dan angkuh. Apakah Falisha bisa?
Alih-alih melanjutkan membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, Salma justru menarik kursi di samping Falisha dan mendudukinya.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu enggak, kenapa Mama-Papa tiba-tiba datang melamar kamu dan minta kamu untuk menikah dengan Arka?”
Falisha menggeleng saat mendengar pertanyaan Salma, karena memang, dia tidak tahu apa alasannya. Awalnya, ketika menyambut kedatangan kedua orang tua Arka, Falisha merasa hidupnya diliputi kebahagiaan. Dia yang menaruh hati kepada Arka sejak lama, tetapi tidak pernah bertukar kabar, mendadak dilamar oleh Wilis dan Salma yang Falisha tahu, mereka adalah teman dekat mendiang kedua orang tuanya yang sudah tiada.
“Jadi, dulu Mama sama Papa pernah berhutang budi sama kedua orang tua kamu. Waktu itu perusahaan kami hampir bangkrut, kami di ambang kehancuran, tapi orang tua kamu membantu kami sampai ... yah, kamu bisa lihat sendiri sekarang.” Salma menjelaskan, sementara Wilis mengangguk-angguk.
“Jasa mendiang orang tua kamu begitu besar untuk keluarga kami,” tambah Wilis.
“Dan sebelum mereka meninggal, kami udah janji ke mereka, kalau kami akan menjaga kamu dan menyayangi kamu seperti anak kami sendiri. Itulah kenapa, Mama sama Papa memutuskan melamar kamu untuk Arka.” Salma terlihat berwibawa.
Falisha bahagia, tetapi hatinya tetap saja sudah terluka oleh pengakuan Arka yang begitu jujur.
“Tapi, Mama sama Papa tahu sendiri kalau ... orang tua Fal, perusahaan kami udah ....” Kalimat Falisha terhenti. Dia tidak mampu melanjutkan kata-kata yang juga membuatnya terpukul.
Selain kedua orang tuanya tiada, perusahaan yang mereka bangun pun mendadak gulung tikar dan Falisha tidak tahu apa sebabnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena berkecimpung dalam dunia bisnis bukanlah passion-nya.
Suasana mendadak melow dan Salma mengusap lembut lengan Falisha.
“Maaf, ya. Mama enggak bermaksud mengingatkan kamu tentang hal itu,” sesal Salma, kemudian berdiri dan mendekati Falisha, membawa anak menantunya ke dalam dekapan.
Falisha memang sedih karena harus kembali teringat akan mendiang kedua orang tuanya. Namun, dia adalah perempuan tegar yang bisa menghalau kesedihan. Dia justru tidak enak hati, karena keluarga Wilis masih mau menerima dirinya yang tidak lagi memiliki apa-apa selain tanah perkebunan sebagai warisan dari kedua orang tua.
“Nah, ini makanan kesukaan Falisha udah mateng nih, Ma. Tapi di mana Arka? Kenapa belum turun juga? Biasanya pagi-pagi udah rapi dia?”
Salma mengurai dekapan begitu mendengar ucapan Wilis. Dilihatnya Atik membawa semangkuk sayur capcay ekstra udang yang memang Falisha suka.
“Iya, Arka mana? Dia udah mandi, kan? Memangnya semalem kalian sampai jam berapa? Arka sampai betah gitu di kamar?” timpal Salma.
Lagi-lagi, Falisha tidak tahu harus menjawab apa. Dia sedang memikirkan jawaban yang tepat, tetapi Wilis sudah lebih dulu berujar.
“Coba Arsya, susulin kakak kamu ke kamarnya. Bilang sarapannya udah siap. Lama banget enggak turun-turun,” titah Wilis.
Tanpa menunggu aba-aba, Arsya bangkit dari tempat duduk. Namun, Falisha segera mencegahnya.
“Tunggu ... Arsya. Maaf, tapi biar Fal aja yang panggil Mas Arka. Arsya bisa duduk lagi.” Falisha berujar dengan menyembunyikan rasa gugup yang ada. “Sebentar ya, Ma, Pa,” pamitnya, kemudian segera berlalu menuju kamar.
Jemari Falisha baru hendak menyentuh handle pintu ketika mendengar suara Arka dari dalam. Perempuan itu pun membuka pintu kamar perlahan dan berjalan pelan mendekati sumber suara.
“Enggak, Sayang. Kamu tenang aja, ya. Pernikahanku sama Falisha itu cuma hitam di atas putih. Aku enggak cinta sama dia dan aku bisa pastiin kalau di hati aku cuma ada kamu. Jangan pernah berpikir aku akan ninggalin kamu. Itu enggak akan pernah terjadi. Jadi tolong, kamu sabar dulu, ya. Aku sayang sama kamu.”
Matahari belum tampak sepenuhnya, tetapi Falisha harus sudah mendengar kalimat penenang yang diucapkan sang suami untuk kekasihnya. Hati perempuan mana yang tidak sakit jika mengetahui laki-laki yang dicintai, justru menaruh hati kepada perempuan lain?
Falisha mulai terisak. Bulir bening hangat luruh begitu saja dari kedua sudut mata.
“Sayang, nanti aku telepon lagi, ya. Mama udah manggil, aku harus keluar. Bye, Sayang.”
Usai mengakhiri panggilan, Arka yang mengetahui keberadaan Falisha pun mendekati sang istri.
“Sejak kapan kamu di situ? Kamu sengaja nguping? Awas, ya, kalau sampai kamu berani ngadu ke Mama sama Papa!” Arka mengancam sembari menudingkan jari telunjuk ke wajah Falisha.
Laki-laki itu hendak keluar, tetapi langkahnya terhenti saat Falisha membuka suara.
“Mas, tapi apa enggak bisa, kita memulai selayaknya suami-istri pada umumnya? Kita udah resmi menikah, Mas.” Falisha memberanikan diri, tetapi Arka melanjutkan langkah tanpa memedulikannya.
Apa Fal salah, udah menerima pinangan dari Mama-Papa Mas Arka?
Cahaya putih dari lampu ruangan sedikir menyilaukan ketika Falisha perlahan membuka mata. Bau antiseptik menyengat, dan sensasi dingin dari infus yang menempel di pergelangan tangan membuat Falisha tersadar di mana dirinya berada sekarang.Falisha mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke sisi tempat tidur.Arsya. Laki-laki itu tengah tertidur di sisi brankar, dengan kepala bersandar pada lengannya sendiri, sementara tangannya tidak melepas genggamannya pada jemari Falisha.Falisha memperhatikan wajah Arsya yang lebam-lebam, juga luka di sudut bibir yang belum sepenuhnya mengering.Seketika, Falisha teringat dengan pengakuan Arsya beberapa saat sebelum dirinya terbaring di rumah sakit. Benarkah bahwa perempuan yang selama ini dicintai Arsya adalah dirinya? Apa karena itu, Arsya selalu bersikap baik dan penuh perhatian terhadapnya?Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata Falisha. Secinta itukah Arsya kepadanya sehingga dia rela dihajar Arka habis-habisan? Dan benarkah ap
“Positif?” Falisha ternganga melihat testpack dengan garis dua yang berada dalam genggaman.Perempuan itu tidak menyangka, pernikahannya dengan Arka baru menginjak dua bulan, tetapi Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepadanya. Namun, entah kenapa Falisha merasa ada yang kurang.“Bude ... Fal hamil, Bude. Kalau aja Bude masih ada, Bude pasti bahagia, kan?” gumam Falisha lirih.Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata. Dia baru saja membahas tentang perpisahan dengan Arka, tetapi kenyataan bahwa dirinya sedang berbadan dua membuat Falisha gamang.Apakah itu sebuah pertanda, bahwa Falisha masih harus menjadi istri Arka? Apakah dengan kehamilannya, Arka lantas bisa menerima Falisha sepenuhnya dan merelakan hubungannya dengan Sabrina?Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Falisha. Perempuan itu cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajah dan segera membuka pintu.“Mana hasilnya?”Falisha sedikit heran melihat raut Arka yang jauh dari kata bahagia. A
“Biar aku yang bawa.” Arsya mengambil koper Falisha tanpa persetujuan pemiliknya.“Tapi, Arsya—““Suami Kakak itu emang enggak gentle. Kenapa masih dibelain terus?” Arsya memperhatikan Falisha dengan menatap kedua netranya secara intens. Sementara di hadapannya, Falisha hanya diam tanpa berkutik.Beberapa jam sebelum tiba di Jakarta, Falisha memang dengan sengaja membela Arka di depan Thalita. Perempuan itu menampik kata-kata Thalita yang sebetulnya benar terjadi.“Arsya, Kakak cuma enggak mau Kak Thalita kepikiran. Arsya tahu sendiri kalau keadaan di sana sedang berkabung. Kakak enggak tega kalau sampai Kak Thalita tahu yang sebenernya. Kakak enggak mau nambahin beban pikiran Kak Thalita.”“Tapi gimana dengan beban pikiran Kakak sendiri?” Satu pertanyaan Arsya membuat Falisha menghela napas panjang. “Kapan Kakak bisa mikir jernih? Bilanglah yang sebenernya ke Kak Thalita biar dia protes ke Mama sama Papa. Biar mereka tahu kalau Kak Arka enggak pernah memperlakukan Kakak dengan baik.”
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil