"Dave apa benar ka—kamu tidak suka perempuan?" Dengan sangat hati-hati Amber bertanya.
"Itu lagi yang kamu tanyakan? Apa kamu masih meragukanku Amber?" Kemarahan makin terlihat di wajah tampan Dave. "Bu—bukan maksudku begitu." Tubuh Amber gemetar ketakutan saat Dave kembali mendekat. Cup. Satu kecupan kasar Amber rasakan di bibirnya. Dave menjarah bibirnya dengan rakus. Tak ada kelembutan di sana. Amber terpaku. Tak berani melawan. Hanya kedua tangannya yang berusaha menahan dada bidang Dave. Bibir Amber sudah terasa kebas dan bengkak saat akhirnya Dave melepaskan tautannya. Amber tertunduk. Dave begitu mengerikan. Apakah ia akan sanggup bertahan hidup dengan pria seperti dia? "Apa itu masih membuatmu ragu, Amber? Kalau memang kamu masih ragu, aku akan melakukan hal yang lebih gila lagi padamu." Dave menyeringai tipis tapi begitu mengerikan di mata Amber. "Tidak... tidak... aku percaya Dave." Amber menggeleng dengan cepat. Raut ketakutan masih tergambar jelas di matanya. Dave tersenyum tipis dan berlalu pergi dari kamarnya. Amber terjatuh luruh di lantai yang dingin. Ia memegangi bibirnya yang bengkak. "Dave sialan!" umpatnya kesal. * * Siang itu Amber keluar dari rumah Dave. Ia ada janji untuk bertemu dengan Clara, sahabatnya yang tidak pernah meninggalkannya meskipun dia sedang terpuruk seperti sekarang. "Hai, bagaimana kabarmu Sayang?" Clara menyambut kedatangan Amber siang itu di cafe and resto yang ada di sekitar Kensington kota London. "Baik Cla." Amber duduk di depan Clara. Rasanya sudah lama sekali ia tidak berkumpul dengan gadis cerewet dan ceria itu. "Amber kenapa kamu mengajakku ketemuan di sini. Bukankah daerah ini cukup jauh dari rumahmu?" Clara mengerutkan keningnya. Ya, Kensington memang menjadi salah satu daerah yang menjadi tempat orang kaya tinggal di kota London. Dan Dave salah satu orang kaya yang tinggal di daerah itu. "Aku... kebetulan sedang ada disekitar sini. Jadi sekalian saja mengajakmu bertemu di sini." Amber mencari alasan. Tidak mungkin kalau ia cerita tentang Dave pada Clara. Clara manggut-manggut. "Oh, ya Elton juga mau ke sini, sepertinya dia masih di jalan." "Elton?!" Kedua mata Amber membulat. "Iya, Elton. Boleh kan? Kasihan dia yang merengek ingin bertemu denganmu. Sepertinya dia kangen berat padamu." Clara berseloroh. Amber tertegun. Elton adalah pemuda tampan yang memang menaruh perhatian tulus padanya sejak dulu. Dan sekarang mungkin ia telah mendengar tentang Jeff yang telah membatalkan pertunangan mereka. Karena berita tentang Jeff yang telah memutuskan pertunangan mereka pada malam itu telah menyebar di seluruh kota. "Aku malu padanya Cla." Amber terlihat sedih. "Malu kenapa? Santai saja Amber, dia ke sini justru karena ingin menghiburmu." Clara meraih tangan Amber yang ada di atas meja dan menatapnya dengan lembut. "Hallo Nona Amber." Sebuah sapaan membuyarkan pikiran Amber saat itu. Ia kira Elton yang datang tapi rupanya orang lain. Amber tidak kenal dengan pria yang kini berdiri di depannya. Dahi gadis itu berkerut. "Kenalkan namaku Freddy." Pria itu mengulurkan tangannya. "Apa aku bisa mengajakmu makan siang?" Pria bernama Freddy itu tersenyum nakal. Amber masih enggan untuk membalas jabat tangan lelaki itu, ia melirik ke arah Clara yang juga terlihat bingung. "Ayolah Amber, aku tahu kamu sedang butuh uang sekarang. Jangan sok jual mahal di depanku, Jeff telah membuangmu kan? Dan aku bisa memberimu uang asal kamu mau menemaniku." Freddy menyeringai. Tatapan merendahkan terpancar dari kedua matanya. Hati Amber sakit mendengarnya. "Amber dia adalah Freddy, putra kedua dari keluarga Winston." Clara berbisik pada Amber. Pantas saja gaya lelaki itu sangat sombong. Ternyata dia adalah lelaki yang biasa mendapatkan semuanya dengan uang. "Maaf Freddy aku rasa aku tidak tertarik dengan penawaranmu." Amber langsung menolak tawaran Freddy dan membuat lelaki di hadapannya itu marah hingga wajahnya memerah. Tangan Freddy menyambar lengan Amber dan memegangnya dengan erat. "Pelacur sialan! Kamu berani menolakku?" Freddy menatap tajam ke arah Amber yang masih tetap bersikap tenang. Berbeda dengan Clara yang terlihat panik. "Perhatikan sekelilingmu Freddy ada banyak pasang mata yang sedang melihatmu. Kamu ingin mempermalukan diri sendiri?" Amber tersenyum tipis. "Sial!" Freddy terpaksa melepaskan tangan Amber. Untuk ukuran pria seperti Freddy, Amber tahu persis kalau pria itu tak akan mau menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak hanya demi seorang wanita. "Lain kali aku akan membalas semua kelakuanmu padaku." Freddy menatap tajam ke arah Amber. Sementara itu Amber merasakan pergelangan tangannya perih dan panas akibat ulah Freddy. "Tidak ada lain kali Tuan Freddy. Amber tidak akan butuh lelaki sepertimu." Tiba-tiba Amber mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Ya, itu suara Dave. Bagaimana bisa lelaki itu tahu kalau dia ada di tempat ini. "Tuan Dave?!" Freddy terbengong melihat ke arah Dave yang berdiri tegak di belakangnya. "Jangan pernah mengganggu lagi wanita ini kalau tidak mau perusahaanmu hancur." Dave mengancam dan membuat wajah Freddy seketika memucat. "Ma—maaf Tuan Dave, saya tidak berani lagi. Kalau begitu saya permisi dulu." Freddy langsung keluar dari restoran tersebut dengan wajah ketakutan. Amber terbengong, begitu juga dengan Clara yang baru melihat wajah Dave secara langsung. Selama ini ia hanya nama besar Dave saja yang ia tahu dan belum pernah sekalipun bertemu dengan pria itu. "Pulang sekarang juga Amber!" Dave dengan wajah dinginnya memberi perintah pada Amber yang masih mematung. "Pulang?" gumam Clara dengan wajah bingung. Ia menatap ke arah Amber seperti ingin menanyakan sesuatu pada gadis itu. Tapi sepertinya Amber belum bisa menjawab rasa ingin tahu Clara saat itu. Gadis itu berdiri dan segera mengikuti langkah Dave. Ia menoleh ke belakang dan memberi isyarat pada Clara kalau ia akan segera menelponnya. Tiba di dalam mobil. Dave mendorong tubuh Amber hingga terhempas di atas jok mobil. "Berani kamu bermain-main dengan lelaki lain Amber? Berapa lagi lelaki yang akan kamu goda?" Dave bertanya dengan penuh intimidasi. "Aku tidak menggodanya. Demi Tuhan Dave aku tidak pernah menggoda lelaki lain." Amber meringis saat tangan Dave mencengkram rahangnya dengan keras. "Kamu bohong Amber. Sikapmu ini adalah sikap wanita penggoda." Dave menatap netra coklat terang itu dengan tajam. Wajahnya begitu dengan dengan Amber. Hingga gadis itu bisa merasakan embusan napas hangat Dave. Amber mengerutkan alisnya, sikapnya yang mana yang menurut Dave sikap penggoda? Ia rasa Ia hanya melakukan pembelaan untuk mempertahankan harga dirinya. Dave mulai melonggarkan cengkraman tangannya dan berubah menjadi cubitan kecil di dagu Amber. Amber mengerjapkan matanya, dan merasakan jantungnya berdebar hebat saat jemari Dave menyapu bibirnya dengan lembut. "Kamu milikku Amber, tidak boleh ada pria lain yang menyentuh barang milikku." Tatapan mata Dave menggelap. Ia semakin mendekatkan wajahnya ke arah Amber dan bibir mereka mulai saling bersentuhan dengan lembut. Amber merasakan bibir Dave terasa dingin dan kenyal membuat tubuhnya meremang. Apalagi saat tangan Dave menarik pinggangnya dan membuat tubuh mereka melekat semakin erat. Dave melahap bibirnya dengan rakus. Namun setelah sekian detik berlalu Dave tiba-tiba menggigit bibirnya dan terasa sangat sakit. "Dave kamu menyakitiku." Amber mendorong tubuh Dave menjauh. Dia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. Pria gila ini benar-benar, tidak bisa di tebak. "Itu akibatnya kalau kamu berani bermain-main denganku Amber. Ingat ini di dalam kepalamu, kamu hanya milikku, atau aku akan menarik uangku kembali jika kamu berani menghianatiku."Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di pantai, Dave dan Amber memutuskan untuk kembali. Perjalanan pulang terasa sunyi, namun hangat. Ethan tertidur di jok belakang, sementara Amber duduk di depan di samping Dave yang menyetir.Sesekali mencuri pandang ke arah istrinya itu. Amber menangkap pandangan itu dan tersenyum tipis, lalu kembali menatap keluar jendela, membiarkan angin sore mengayun rambutnya yang tergerai."Aku senang sekali Sayang. Akhirnya kita bisa bersama lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Kita bahkan seperti sepasang pengantin baru lagi. Apa kamu juga senang, Sayang?" tanya Dave sambil melirik ke arah Amber yang tersipu. "Apa masih perlu aku jawab? Kau tidak melihat ekspresiku? Kau juga tidak menyadari kalau selama liburan ini aku selalu patuh padamu dan melakukan apapun maumu termasuk menyerahkan diriku sepenuhnya padamu Dave?" Amber balik bertanya. "Hei, jangan terlalu banyak pertanyaannya. Aku jadi pusing, Sayang." Dave terkekeh pelan. Ia menatap gemas lalu
Malam perlahan turun. Lampu-lampu di resort menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara rindangnya pepohonan dan semilir angin laut. Ethan sudah tertidur pulas setelah puas bermain seharian, sementara Amber duduk di sofa balkon dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Dave datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di sebelahnya. Dia tidak langsung bicara, hanya memandangi wajah Amber yang tampak lelah, namun jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. “Terima kasih,” ucap Amber lirih, menerima cangkir dari tangan Dave. Dave mengangguk, “Terima kasih karena sudah mau ikut ke sini.” Amber menatap lautan di depan mereka. “Kau tahu, aku takut. Takut kalau semua ini hanya akan mengulang luka yang sama.” Dave memutar tubuhnya sedikit agar bisa memandangi Amber lebih jelas. “Aku paham, Amber. Dan aku tak menuntut jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kau dan Ethan.” Amber menggigit bibirnya, menahan gempu
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah di pinggir pantai. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan. Amber turun dari mobil dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, sementara Dave membantu membawakan barang-barang kecil mereka."Tempat ini..." Amber bergumam begitu matanya menangkap pemandangan yang akrab.Dave tersenyum hangat, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu dicintainya. "Masih ingat? Ini tempat kita bulan madu kita dulu."Amber menoleh padanya, matanya membulat sedikit. Tentu saja ia masih ingat. Ini adalah tempat di mana mereka berdua dulu tertawa, bercanda, dan bermimpi akan membangun keluarga kecil yang bahagia. Amber sempat berpikir tempat ini sudah terkubur bersama semua kenangan pahit mereka. Tapi kini, Dave membawanya kembali ke sini, seolah menghidupkan kembali semua kenangan itu."Aku sudah lama ingin membawamu ke sini," kata Dave pelan, mengambil tas dari tangan Amber. "Aku ingin kau ingat, betapa dulu kita pernah berjanji menjadikan tempat ini seb
Amber baru saja selesai mengantarkan pesanan ke meja pelanggan saat pintu restoran berdenting. Ia menoleh tanpa banyak pikir, dan jantungnya sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk.Dave.Dengan setelan santai namun tetap memancarkan kharisma, pria itu melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Amber. Ketika pandangan mereka bertemu, Amber seketika merasa seluruh dunia mengecil, hanya menyisakan dia dan Dave.Amber buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk membereskan meja. Ia berharap Dave akan pergi. Tapi langkah berat Dave justru mendekat, dan sebelum Amber sempat menghindar, Dave sudah berdiri tepat di depannya."Amber," suara itu terdengar penuh emosi. "Kita perlu bicara."Beberapa karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan mereka, bisik-bisik kecil terdengar di sekeliling. Amber merasa wajahnya mulai memanas. Ia menggeleng dengan cepat."Aku sedang bekerja, Dave. Pergilah," bisiknya ketus.Namun Dave tidak bergeming. Ia justru melakukan se
Dave menghela napas panjang di dalam mobilnya, tangannya mengepal erat di atas setir. Suasana di dalam kendaraan itu terasa sesak, seolah-olah udara tidak cukup untuk menahan beban di dadanya. Kilasan wajah Amber yang marah dan penuh luka terbayang terus di benaknya. Dave memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa frustrasinya.Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Amber berjuang sendirian menghadapi tuntutan konyol dari ayahnya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethan dari Amber, anak yang bahkan baru saja diakuinya sebagai darah dagingnya.Telepon genggamnya bergetar di saku jaket. Dengan cepat, Dave mengangkatnya. Di layar tertera nama Julian."Dave, aku sudah mencari tahu," suara Julian terdengar tergesa. "Ayahmu sudah menyiapkan pengacara terbaik di kota ini untuk memenangkan kasus hak asuh Ethan."Dave mengumpat pelan. "Aku harus bertemu denganmu sekarang."Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Begitu Julian duduk, Dave langsung mengutar
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h